1. Bali

79 7 16
                                    

1. Bali

Tahun lalu. Sekitar pertengahan bulan Juni. Ya, seingatku. Yang jelas kala itu, ponselku hilang sepulang dari Pantai Kuta. Betapa gusarnya diriku mengetahui bahwa benda belayar lima inci tidak ada di dalam tas.

Aku yakin, kalian pasti tau bagaimana perasaanku. Terlebih lagi semua data, pekerjaan ada di sana, tapi, ada yang membuatku lebih gusar selain itu yaitu ponselku belum lunas. Iya! Bahkan aku belum membayar setengahnya. Alamak.

"Kau sudah mencarinya?" tanya Alvin sambil memainkan kamera.

"Sudah Vin, coba tolong ingatkan lagi, kemarin kita kemana saja?" aku sudah buntu mencarinya ke sana ke mari, menyambangi tempat yang aku kunjungi, bahkan aku sudah melaporkan hal itu kepada pihak keamanan setempat.

Alvin mengangkat bahunya sebagai jawaban. Kalian tau, kalau Alvin bukan anak dari Presiden pasti sudah ku cakar habis karena tak mau membantu.

"Kau sudah mencoba menelponnya?" tanya Alvin dengan kedua tangannya penuh dengan piring berisi sarapan.

Dulu, aku menganggap orang gila adalah orang yang terbodoh yang pernah ada. Tapi untuk kali ini aku menghapusnya dan mengganti orang terbodoh yang pernah ada adalah aku. Mungkin terlalu panik sampai lupa akan hal ini.

"Pinjam ponselmu." catatan, itu bukan sebuah kalimat untuk meminjam ponsel Alvin, melainkan, merampasnya.

Ya, sebelum Alvin menjawab, tanganku dengan cepat menekan nomor ponselku. Kalau kalian ada di posisiku apa yang kalian rasakan? Jantung berdegub kencang? Kalau iya, berarti aku manusia normal yang berharap banyak agar ponselku kembali.

Tepat pukul 09.47 Waktu Indonesia Tengah jantungku berdegub lebih cepat, sampai sesak rasanya. Ah, aku tau kalian pasti akan berkomentar bahwa aku ini terlalu berlebihan. Ku akui itu memang sedikit berlebihan. Sedikit ya, sedikit berlebihan bukan berlebihan. Jadi hanya sedikit.

"Woy! Balikin kagak lu hp aku."

Oh, aku mengerti mengapa ada perubahan detak jantung kala itu, ya karena emosi. Aku benar-bebar marah.

Kata Alvin, suaraku menggelegar di kafetaria hotel, seluruh tamu yang sedang sarapan memandangiku, bahkan sampai menggebrak maja saking kesalnya, jujur, untuk yang itu aku sama sekali tidak mengingatnya. Ku rasa Alvin saja yang mengomentari kemarahanku dengan berlebihan. Camkan baik-baik, itu baru berlebihan, Alvin yang berlebihan.

Aku tidak akan menceritakan bagaimana kemarahanku selanjutnya. Yang jelas, hari itu juga, jam sebelas siang, Aku melangkahkan kaki menuju kawasan Pantai Kuta, berbekal ponsel milik Alvin. Kalian tau 'kan bagaimana teriknya matahari di sana?

Aku menggunakan ojek online untuk mencapainya. Kuta, sudah ramai di siang itu. Pengunjungnya bercampur baik lokal dan non lokal. Cukup lama aku memperhatikan setiap wisatawan yang lewat di hadapanku. Yang membuat Aku tambah kesal adalah ponselku sempat tidak bisa dihubungi.

Seharusnya aku mengikuti insting dan naluri sebagai manusia tanpa penuh harapan. Catatan lagi, kala itu aku sangat berharap ponsel yang belum lunas kembali ketanganku. Baiklah, aku akan bertanya kepada kalian, apa yang akan kalian lakukan jika menemukan ponsel keluaran terbaru tergeletak mengenaskan tanpa pemiliknya?

Tolong jawab jujur!

Naluri memasukan ponsel itu pada saku celana munculkan? Hayo! Lalu menjadikan ponsel yang malang itu sebagai hak milik. Iya 'kan? Ayolah, kalau aku mendapatkan kesempatan emas itu, mungkin aku akan melakuka hal yang sama. Begitu pula dengan Si Bule sialan itu.

Seharusnya aku paham! Mana mungkin Si Bule yang mengangkat teleponku dan mengembalikannya. Ah.

Satu jam sudah aku mengamati keadaan sekitar, menunggu Bule itu di tempat perjanjian. Di bawah pohon rindang, aku memutuskan untuk meninggalkan lokasi setelah Alvin menelepon, dan menyuruhku untuk merelakan ponselku.

Yes, he is JohnnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang