3. Terima kasih

25 6 2
                                    

3. Terima kasih

Tiga hari setelahnya, ponselku berbunyi kencang di siang hari. Ayolah, aku baru tertidur selepas solat subuh. Editan dan deadline upload video menunggu. Tolong jangan ganggu, biarkan aku terlelap. Selepas pulang dari Lombok aku langsung menyelesaikan editan video untuk stok selama satu minggu ke depan, tapi baru usai beberapa video saja, kamar masih berantakan, bahkan koper isi baju kotor pun masih bertengger cantik di pojok ruangan. Lantai berceceran sisa makanan yang menemaniku menggedit video.

"Apa Vin?" gumamku dengan mata tertutup, telingaku bahkan belum siap mendengar, masih belum fokus, terdengar jelas antara suara Alvin dan suara televisi.

Aku tak ingat betul bagaimana kalimat-kalimat yang Alvin ucapkan, yang aku ingat Alvin memintaku untuk menemuinya di restoran miliknya sekarang juga. Aku sangat letih dan sangat butuh tidur. Jiwaku saat itu menyuruhku bangun untuk segera mandi dan menemui Alvin, tapi ragaku benar-benar tak sanggup.

"Konser K-Pop semalam berlangsung sangat ramai..." ucap pembawa acara dalam tv, tanganku langsung cepat meraih remot dan langsung mematikannya. Aku benar tak sanggup, aku ingin tidur lagi paling tidak sepuluh menit saja, tanpa ada yang mengganggu.

Aku tertidur dengan sangat nyenyak selama dua jam setelah Alvin menelepon. Alvin tidak akan marah jika aku terlambat, paling Alvin hanya menjewerku dan berceramah ini dan itu. Tenang telingaku sudah kuat dan berotot, sudah kebal.

"Kalau Bapak-ku yang memintamu ke sini apa kau akan telat juga Vi?" tanya Alvin saat aku baru saja duduk di sofa restorannya.

"Ya, kalau Bapak-mu yang meminta, beda lagi ceritanya, Vin. Ada apa memangnya? Aku masih mengantuk." jawabku merebahkan punggung, bersandar pada sofa.

"Aku sudah pernah bilang 'kan, untuk urusan editing kau bisa minta bantuan Mas Yono."

"Selagi bisa mengerjakan sendiri kenapa harus meminta bantuan orang lain, Vin? Lagi pula sayang uangnya, lebih baik aku tabung."

"Tak usah bayar, tak apa aku bantu."

"Vin, kau terlalu baik, tidak apa aku masih bisa mengerjakannya sendiri. Cepat kau memintaku kemari untuk apa? Kalau hanya untuk membahas ini lebih baik aku tidur saja."

"Sebentar, aku ada menu baru, kau harus mencobanya." Alvin pergi meninggalkan aku untuk beberapa saat.

Pelayan restoran Alvin sangat ramah, mereka benar-benar mengira aku dan Alvin bersaudara. Ingin tertawa rasanya, dari wajah saja kami sangat berbeda jauh, ia berwajah kalem dan teduh sedangkan aku berantakan tak terurus, maklum anak kos, dari logat kami bicara pun berbeda, Alvin berlogat Jawa Tengah dan aku sedikit berlogat Sunda dan Betawi modern karena sudah lama tinggal di Jakarta. Mereka sepertinya tidak memperhatikan hal itu, yang mereka perhatikan hanya kedekatan kami berdua. Sering disalah artikan juga oleh beberapa wartawan baru, beberapa kali aku dan Alvin disangka berpacaran, haha, tidak, Alvin sudah memiliki pacar dan sedang kuliah di Singapure.

Ponselku bergetar, sebuah pesan masuk.

Apa kamu di Jakarta?

Pesan itu dari John. Mengapa Bule ini selalu menungguku pulang ke Jakarta? Aku takut ia akan melacak nomorku lalu datang ke kos-an dan melakukan perbuatan yang tidak baik. Seperti di film-film yang sering aku tonton bersama Alvin.

Aku harus jawab apa?

"Rice bowl salmon with sambal kecombrang." Alvin datang dengan semangkuk makanan yang masih mengepul. "Kenapa?" tanya Alvin yang menangkap wajahku yang sangat tidak mengenakan. "John lagi?"

Aku menangguk sambil menyicipi menu barunya.

"Kau diganggu?"

"Tidak."

"Lalu?"

"John selalu bertanya apa aku sudah di Jakarta atau belum." jawabku dengan mulut penuh.

Alvin memainkan ponselnya sambil berkata. "Bilang saja kau sudah di Jakarta, Vi. Apa susahnya?"

Langsung saja aku utarakan ketakutanku padanya. Aku benar-benar menganggap dia sebagai kakakku, tapi jika sudah berlagak tidak peduli dan sifat menyebalkannya sudah kambuh, ingin sekali aku mencakarnya.

"Ku pinta Mba Devi menemanimu di kos-an, ya?" aku sangat suka jika sosok kekakakaannya sudah tumbuh seperti ini.

"Ah, tidak usah, Vin. Aku tidak mau merepotkan Mba Devi."

"Yasudah." Alvin mengangguk, lalu berdiri. "Aku ada urusan ke daerah Blok-m. Kau di sini saja."

"Aku mau tidur, Vin."

"Yasudah, habiskan makannya, ya, habis itu pulang dan tidur lagi." ucapnya sambil menepuk kepalaku dua kali, sebelum pergi meninggalkan restoran.

Aku mengamati ponsel yang sudah berbunyi dua kali, John kembali meneleponku. Aku sedikit terganggu sebenarnya, atau aku blokir saja? Tapi begitu 'kah balasan kepada orang yang menemukan ponselku yang hilang? Tidak tau berterima kasih.

Kata Alvin mungkin saja John ingin berteman denganku, tapi aku sangat canggung dan sedikit takut untuk terbuka dengan orang asing.

"Hallo?"

"Vivi!" suara itu sangat sumringah. "Apa kamu sudah menonton tv hari ini?"

"Saya jarang menonton tv." jawabku santai dengan kantuk tapi tetap fokus makan. "Ada apa meneleponku?"

"Oh, iya, kamu youtuber pasti hanya menonton youtube, apa kamu sudah menonton berita di youtube?" tanyanya sedikit berbelit. Aku saja yang mendengarnya sulit mencerna apa yang dikatakan. Intinya John bertanya seperti apa yang aku ketik.

"Hari ini aku belum menonton youtube. Ada apa kamu meneleponku?"

"Oh ... saya ada di bandara, saya akan pulang. Saya pikir kita akan bisa bertemu walau sebentar." aku menangkap sedikit nada kecewa di sana.

Aku sempat melirik jam yang bertengger di tembok restoran, saat itu waktu sudah menunjukan jam setengah empat sore Waktu Indonesia Barat. "Jam berapa kamu berangkat?"

"Sebentar lagi, waktu tidak cukup Vi, kamu sangat sulit untuk dihubungi."

"Aku sibuk."

"Saya tau. Saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada kamu dan masyarakat di sini. Saya sangat berkesan mengunjungi negara ini dan saya harap kita bisa bertemu lagi. Saya senang mengenal kamu ... saya sudah dipanggil untuk masuk pesawat, saya akan menghubungimu lagi. Sampai jumpa."

Untuk kalimat panjang terakhirnya itu, John terdengar sangat tergesa-gesa. Ini kali pertamanya kami berbincang dengan cukup panjang. Walau pertemuan kami sedikit aneh menurutku, tapi dapat aku akui pertemuan itu cukup berkesan juga. Mungkin benar kata Alvin, John hanya ingin berteman denganku, aku-nya saja yang terlalu menutup diri.

Kata ucapan terima kasih darinya belum aku balas. Berarti ke depannya aku bisa saja menghubungi dirinya untuk mengucapkan hal yang sama. Tunggu sebentar, bukankah dia sibuk?

Yes, he is JohnnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang