5. Mana mungkin

23 4 7
                                    

5.   Mana mungkin.

Aku seperti pekerja kantoran saja, sehabis salat aku tak lagi melanjutkan tidur, melainkan harus bersiap untuk pergi ke ruko tempo hari. Mas Amat memang mewajibkan kami para Trivi untuk hadir setiap hari sesuai jam kantor untuk membahas project. Kami sangat dibebaskan untuk berpendapat dan menuangkan ide-ide kreatif, kami juga selalu berkhayal melakukan perjalanan yang mewah ala artis-artis Hollywood, tapi nyatanya tidak, kami juga harus memperhatikan biaya yang dikeluarkan. Harus berhemat kata Mas Amat. Ya, berkhayal saja tidak apa-apa, bukan?

"Jadi ini destinasi yang ingin kalian kunjungi?" tanya Mas Amat ketika membaca list dan laporan yang kami kerjakan selama beberapa hari. Mas Amat memasang wajah serius. Hatiku sedikit ciut melihat beliau yang biasanya selalu humoris dan ramah kini berubah menjadi singa lapar.

Aku hanya menganguk tak percaya diri. Begitu pula dengan Alvin dan David yang ternyata sedang meremas tangannya karena gugup.

"Lalu kenapa kamu Vi? Rata-rata destinsi yang kamu muat adalah pantai. Buat alasan yang kuat agar saya bisa mewujudkan list destinasi kamu."

Mati saja kau Vi!

Aku bernar-benar syok kala itu, bahkan mataku rasanya hampir mau keluar. Aku juga tidak tau mengapa menulis dan membuat laporan tentang itu. Kenapa pula harus aku yang pertama? Mengapa tidak yang lain? Apa karena ada pernyataan 'ladies frist' jadinya aku yang pertama? Why?

Aku sedikit mengolengkan kepala seraya berpikir, otak segera bekerja keras menyusun kata demi kata untuk membuat alasan yang kuat dan bagus.

"Vi?"

Semua menatap Mas Amat, tapi beliau mengarahkan matanya kepadaku. Mata kami bertemu, degup jantung memburu, tiba-tiba aku sakit perut.

"Ya ... karena Indonesia negara maritim." jawabku cepat.

Alvin dan Davin menahan tawa, Mas Amat memasang wajah serius.

"Hm... se-selain itu, Indonesia 'kan negara kepulauan, banyak pulau cantik di Indonesia." lanjutku dengan senyuman pasta gigi.

"Terus juga kamu Vin? Apa alasanmu memilih destinasi ini?"

"Vin ada dua." kata Alvin menunjuk dirinya sendiri dan Davin dengan bingung.

Mas Amat membaca laporan. "Rinjani, Semeru, Jaya Wijaya?"

"Oh, itu list milikmu Vin." Alvin menyikut Davin.

Mata Davin menerawang ke pelapon di atas kepala Mas Amat sebelum menjawab, "Karena Indonesia dikelilingi oleh pegunungan yang dijuluki sebagai ring of fire. Bahkan Indonesia memiliki gunung seperti Everest, Gunung Jaya Wijaya." jawabnya dengan percaya diri.

Ah, kupikir Davin akan membuat alasan yang keren, ternyata ia menyalin jawabanku.

Mas Amat hanya mengangguk kemudian matanya beralih menuju Alvin yang sejak awal sebenarnya duduk di antara aku dan Davin. "Dan Mas harap kamu punya alasan yang kuat Vin." katanya dingin.

Aku melihatnya dengan jelas, Alvin sempat menelan ludahnya, dan baru saja ia menarik nafas, telepon kantor berbunyi. Mas Amat sempat mepuk jidatnya dan kemudian ia bergegas merapihkan mejanya setelah menutup telepon sambil berkata, "Saya lupa, saya ada rapat di Kafe Tenda sambil makan siang, nanti saya nggak ke sini lagi, istri saya ngajak belanja, biasa belanja bulanan ... oh iya, ini kalian matangkan lagi, santai aja nggak usah kayak anak kecil dipanggil guru bp, santai tapi ingat juga deadline-nya ya ... besok saya mau lihat laporan yang lebih rapi!" beliau langsung pergi meinggalkan kami.

Alvin benar-benar berutung kali ini. Di keningnya masih terdapat keringat karena takut. "Alhamdulillah."

"Oh iya, saya lupa," tiba-tiba Mas Amat muncul di ambang pintu, hanya kepalanya saja. "kalian pesan makan sendiri ya, uangnya minta ke admin."

Yes, he is JohnnyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang