Entah sudah berapa kali Agil berubah posisi, padahal waktu baru saja berlalu sekitar 20 menit. Berbagai posisi duduk sudah lakukan. Tidak tenang, ia pun bolak balik berjalan dari sudut ke sudut lainnya di ruang tunggu. Agil resah menunggu sendirian. Doni sudah tidak tampak batang hidungnya, mungkin sudah kembali bekerja. Tentu saja lelaki itu tidak ingin dimarahi atasan mereka karena menghilang begitu saja. Sedangkan Agil? Ia sudah tidak peduli lagi. Hanya Nayya yang ada di pikirannya.
Nayya adalah seorang perawat di salah satu ruang rawat di rumah sakit yang sama dengannya. Tentu saja kedua terjebak cinta lokasi. Bertemu sekitar empat tahun lalu ketika orientasi karyawan baru, beberapa kali bertemu saat jam istirahat atau jam pulang, berpacaran beberapa bulan langsung memutuskan untuk menikah. Kini Nayya sedang hamil anak yang sudah mereka tunggu-tunggu. Seminggu yang lalu mereka baru saja melakukan syukuran tujuh bulanan usia kehamilan Nayya, berdoa agar Nayya dan si calon bayi dalam keadaan sehat-sehat saja. Tapi takdir berkata lain.
Sejam yang lalu, ketika ia sedang di ruang rapat, Agil mendapat telepon kalau Nayya terjatuh di kamar mandi dan pingsan. Istrinya di bawa ke IGD dan diketahui kalau tekanan darahnya sangat tinggi dan ada perdarahan yang cukup masif. Nayya harus dioperasi dan si calon bayi harus di lahirkan, jika ingin keduanya selamat. Mendapat telepon darurat seperti itu, ia tidak peduli bahwa ia sedang rapat bersama direktur rumah sakit. Lelaki itu segera melesat meninggalkan ruang rapat.
Agil merasakan kepalanya berdenyut. Pikirannya kalut. Ia sudah membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi, dan semuanya buruk. Ia tidak mampu untuk berpikir dengan jernih saat ini. Kembali ia meletakkan pantatnya pada salah satu kursi di ruang tunggu itu. Tangannya memijit-mijit pelipisnya, berharap denyut di kepalanya segera hilang.
Suara pintu terbuka mendapatkan perhatiannya seutuhnya. Ternyata yang masuk ialah Niko, salah satu perawat IGD yang tadi menelponnya. Sebenarnya Niko tidak hanya sekedar perawat, rekan kerja, tetapi sahabat Nayya yang juga menjadi mak comblangnya Nayya dan Agil. Untung saja hari ini Niko tidak sedang off, sehingga Niko banyak membantu dalam penanganan Nayya hari ini. Lelaki itu langsung duduk di disebelah Agil.
"Ini" Niko menyerahkan satu bungkus roti isi pada Agil. Agil hanya memandang roti isi itu dan Niko bergantian.
"Tadi Nayya sempat pesan buat beliin ini. Tau kalau suaminya pasti melewati jam makan siang. Ia pesan, enggak boleh telat makan atau gastritis lo bakal kumat" Agil masih bergeming mendengar penjelasan Niko. Ia tidak lapar, melihat roti isi itu pun tidak membuat ia selera makan.
"Gue tau, lo pasti enggak selera makan. Tapi lo harus makan. Lo enggak boleh sakit. Saat ini Nayya sedang berjuang untuk bertahan hidup demi lo dan anak kalian di dalam. Lo juga harus bertahan hidup. Jangan kayak orang mati seperti ini." Kata-kata Niko membuatnya bergerak untuk mengambil roti isi dari Niko. Tapi masih enggan untuk memakannya.
"Ya Tuhan. Apa perlu gue bukakan dan menyuapi lo? Atau lo mau ke kantin? Ayo gue temenin" kata Niko ketika Agil masih diam, tidak memakan roti isi itu. Agil menghembuskan napasnya berat.
"Bagaimana gue bisa makan dan ada selera makan dalam kondisi seperti ini, Niko? Lo enggak tahu perasaan gue. Gue tahu lo sering melihat kondisi seperti gue ini, tapi bagi gue ini baru pertama kalinya. Karena gue tahu kalau Nayya sedang bertahan hidup di dalam sana, dan gue enggak bisa melakukan apa-apa disini. Dan gue merasa.." kata-kata Agil tercekat. Matanya berkaca-kaca, tapi ia tidak ingin menangis disini.
"Lo salah. Gue tahu. Gue paham. Walaupun gue enggak di posisi lo, atau gue enggak pernah di posisi seperti lo. Tapi gue paham, Agil. Lo mau tahu apa yang bisa lo lakukan untuk melewati ini semua?" kata-kata Niko membuat perhatian Agil terarah pada lelaki itu.
"Lo berjuang juga untuk Nayya dan anak kalian. Dengan cara? Berdoa Agil. Lo kan tahu kalau doa itu adalah kekuatan yang paling besar, dan jangan ragukan itu. Kedua, bertahan Agil. Lo enggak bisa bertahan kalau lo kalut begini. Tenagin diri lo. Isi tenaga lo, makan. Istirahat. Ketiga, hilangin semua pikiran buruk lo. Gue tahu lo pasti berpikiran hal-hal yang terburuk yang mungkin terjadi. Tapi lo enggak pikirin hal-hal yang baik yang mungkin terjadi kan? Lo kan tahu siapa-siapa yang ada di dalam kan? Lo percaya kan sama mereka? Pikirin apa yang akan lo lakukan ketika mereka keluar dari ruang operasi itu. Persiapan apa yang akan lo lakukan. Lo udah menghubungi keluarga kalian? Belum kan? Do it. Keempat, cari yang bisa menghilangkan kegelisahan lo. Lo gelisah disini sendiri malah membuat lo semakin kalut. Kalut sendirian disini enggak akan membuat situasi semakin membaik, yang ada yang semakin memburuk, Agil. Bayangin jika Nayya mendengar didalam lo ikut di larikan ke IGD karena gastritis lo kumat. Bukan makin baik, Nayya makin khawatir didalam dan bisa memperburuk kondisinya kan?" Agil merasa seperti baru saja tertampar oleh kata-kata Niko. Niko benar. Ia terlalu tenggelam dengan pikiran buruknya. Ini tidak akan membuat semuanya semakin baik. Ia butuh untuk berpikir positif. Ia akan berusaha untuk berpikir positif. Ia akan berjuang untuk menenangkan dirinya. Ia tidak ingin memperburuk keadaan.
"Thanks, Niko" Niko hanya tersenyum. Lelaki itupun berdiri, bersiap meninggalkan Agil.
"Semangat Agil. Gue tahu kalian bisa melewati semua ini. Gue cabut dulu, masih banyak pasien di bawah." Niko menepuk punggung suami Nayya itu dan meninggalkannya disana. Agil hanya menggangguk dan menatap Niko menghilang di balik pintu.

YOU ARE READING
Bukan Akhir
RomanceMerupakan cerita pendek. Nama serta kejadian pada cerita hanya fiktif. Cerita mengenai bagaimana menghadapi berita buruk yang menimpa orang tercinta.