🎗1//Prolog

25 8 2
                                    

"Kamu mau bawa aku kemana lagi, Surya?"ucap gadis manis itu masih terus mengikuti genggaman tangannya dibawa.

Langit telah mengeluarkan semburat garis jingga di antara gumpulan awan. Matahari sudah berancang untuk beranjak dari tempatnya. Dari balik tebing, terdengar suara khas deburan ombak yang menabrakkan diri ke bebatuan di pinggiran pantai.

Hembusan angin membuat gazebo beratap tepas yang mereka tempati saat ini berbunyi-bunyi pelan. Gadis ini ingin sekali ngomel pada lelaki di sebelahnya kalau saja tidak terpaku dengan tatapan itu.

"Su..." Ucapannya terputus karena lelaki ini menempatkan telunjuknya di depan bibir.
"Diam saja, ya. Aku hanya ingin menikmati ciptaan Tuhan yang indah ini."ujar lelaki itu setelah beberapa menit tidak bersuara.

Cukup lama ia menatap gadis berlesung pipi di hadapannya dengan tatapan yang tak dapat diartikan. Wajahnya menampakkan senyum simpul namun dengan tatapan sendu.

"Eng..., pemandangannya 'kan di sana. Kenapa masih lihat ke aku?"kata gadis itu sambil menunjuk ke arah pantai yang menelan mentari.

"Siapa bilang aku mau menikmati pemandangan laut."

"Lalu, senja?" Ia mencoba menerka.

"Kamu."ujar lelaki itu singkat diiringi senyum yang semakin melebar.

Gadis itu tampak tidak mengerti dengan apa yang diucapkan lelaki berambut gondrong itu. Alisnya mengernyit menandakan ia penuh kebingungan.

"Iya, kamu. Kamu adalah ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan. Bahkan senja pun segan untuk bersaing denganmu."jelasnya dengan tetap menatap mata hitam milik gadis di depannya.

Garis lengkung perlahan terbentuk di bibir gadis yang menakjubkan itu. Matanya kian mengecil seiring senyuman yang semakin melebar. Perasaan hangat menyelimuti hatinya.

Gulungan ombak yang berlomba-lomba mencapai bibir pantai menjadi perhatian kedua insan itu, seperti bila memalingkan pandang semua air disana akan hilang.

Hening. Keduanya bungkam dengan pikiran masing-masing. Si lelaki dengan degup jantung yang sulit dinetralkan. Sedangkan Sang perempuan masih terus berusaha menahan senyum.

"Emm..." Mereka mengeluarkan suara bersamaan.

"Yaudah kamu dulu aja, deh."

"Enggak, kamu aja duluan. Yang cowok ngalah hehe."

"Yaudah aku duluan ya."ujar gadis berambut curly hitam itu.

"Ehh enggak jadi deh. Aku duluan aja."

"Ah dasar gak jelas banget sih."

Untuk sesaat hanya terdengar hembusan angin yang menelisik di telinga. Tarikan dan hembusan napas menjadi awalan untuk memulai inti dari pertemuan ini.

"Ya', bagaimana denganmu kalau suatu saat surya menghilang?"tanyanya tanpa menatap lawan bicaranya.

"Lho, bukan bagaimana denganku, tapi harusnya 'bagaimana dengan dunia'."

"Bukan surya itu yang aku maksud. Aku, Surya yang ada di dekatmu saat ini. Bagaimana kalau tiba-tiba aku menghilang dari kehidupanmu, Taya?"jelasnya masih dengan tatapan lurus ke arah laut.

"Hahaha menghilang gimana? Hilang ditelan bumi gitu? Atau hilang diculik alien? Oh...oh... atau hilang disedot segitiga bermuda?"jawabnya seloroh diiringi kekehan.

"Hilang ditelan ujung barat."jawab Surya singkat dan dingin.

"Biar berasa kayak senja, ya? Biar sedikit romantis gitu haha..."balas Taya masih dengan tawanya yang lembut.

Mungkin, kini tawanya masih bisa lepas. Mungkin, ini tawanya yang terakhir bersama Surya miliknya. Mungkin, ia benar-benar tidak dapat menduga 'hilang' seperti apa yang dimaksud.

Mungkin ia akan menyesal telah menertawakan detik-detik salam perpisahan ini.

¤
¤
¤

Halooo semua!!
Ini adalah karya pertama yang aku tulis dengan segenap jiwa dan raga serta dengan keikhlasan *(plak.

Semoga kalian semua menikmati :)
Ikuti terus perkembangan cerita ini.

Jangan lupa vote, comment, dan tambahkan ke library kalian ya :)

//dcp//

Langit SuryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang