🎗4//Kenangan Surya

9 3 1
                                    

Masa lalu sering kali muncul untuk mengganggu pikiran kita. Seperti halnya yang dialami oleh Geista saat ini.

Kenangan berputar di pikiran layaknya rentetan film yang siap ditonton. Kenangan itu memaksa masuk meski sudah sekian kali di tendang.

Dan yang dapat dilakukan tokoh utama kita saat ini hanya rebahan. Iringan piano dari Yiruma-Kiss the rain menemaninya malam ini. Dan sepertinya hujan juga ingin menyaksikan gadis malang yang tertimpa masa lalu itu.

"Hei, kamu nggak mau tahu kenapa aku bahagia?"
"Enggak."
"Ishh kok gitu. Ayo tanya dong!"ucap Geis penuh paksaan.

"Aku gak peduli gimana caranya kamu bisa bahagia. Yang aku tahu, kamu harus bahagia."balas Surya sambil membersihkan sisa es krim yang menempel di sudut bibir Geis.

"Jadi kalau aku bahagianya gak sama kamu, kamu tetap gapapa?" Raut wajah Geista perlahan mulai berubah. Ia rasanya tahu apa yang akan dijawab oleh Surya.

"Jelas gak masalah dong. Toh aku juga belum tentu bisa buat kamu bahagia terus, Geis."
"Ish kok gitu."

"Dengan siapapun kamu bahagia, aku tidak akan mempermasalahkannya. Karena bahagia ku tergantung dengan bahagia mu."

Jawaban Surya benar-benar mengecewakan hati Geista. Ia benar-benar tidak menyangka Surya akan cepat berputus asa seperti itu. Padahal dia belum mencoba untuk membahagiakan dirinya. Dan padahal, Surya tidak perlu melakukan apapun untuk membuat Geista bahagia.

"Aku marah."ujar Geista dengan tangan dilipat di dada.
"Sama siapa?"
"Kamu."
"Kenapa?"
"Jahat."
"Siapa?"
"Ya kamu lah"
"Kok gitu?"
"Kamu cepat berputus asa. Dan aku gak suka itu." Kini mulut Geista sudah seperti paruh itik, maju merengut.

"Kalau aku, kamu suka gak?"tanya Surya dengan tampilan senyum termanis.
"Gak tahu deh. Kamu ngeselin. Aku mau pulang. Jangan kejar aku!"Geista ngedumel panjang dengan ekspresi yang tetap tak sedap dipandang.

Surya hanya duduk diam dan melihat langkah Geista yang semakin menjauh dari tempat duduknya. Surya terus menaikan bibirnya tipis karena melihat langkah Geista yang terlalu besar. Sangat tidak cocok untuk tubuhnya yang kecil.

Geista berhenti lalu berbalik menghadap ke arah Surya. "Kok diam saja?"
"Lalu harus apa?" Surya bingung.
"Kejar dong."kesal Geista

Surya ingin sekali tertawa kalau tidak memikirkan untuk menghargai Geista. Surya mengambil langkah untuk mendekati Geista.
"Tadi katanya nggak mau dikejar. Ini kok malah..."
"Yaudah deh. Aku pulang beneran."tukas Geis memotong kalimat Surya.
"Ehh jangan."
"Apa?"
"Nanti aku hampa."
"Garing banget sih. Udah ah." Baru ingin melangkah badan Geista sudah di tarik balik oleh Surya.
"Jangan marah. Aku nggak bakalan cepat putus asa kok. Janji."
"Jangan cepat janji. Nanti kamu cepat ingkar."
"Iya. Senyum dong."

Tidak butuh sedetik untuk membuat Geista tersenyum. Bahkan mungkin sekali berkedip, kamu akan tertinggal terbitnya senyuman itu.
"Nah gitu dong. Ini baru langitku."ucap Surya sambil menepuk puncak kepala Geis. Membelai setiap helai rambut hitam yang terurai di pundak Geis.

Suara petir menyadarkan Geista dari lamunan tentang kenangan itu. Mungkin hujan cemburu karena perhatian penikmatnya sedang teralih.

Geista bangkit dari tempat tidur dan mengambil belanjaan buku-buku yang sudah dibelinya tadi. Langsung ia masukkan ke dalam rak buku. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menikmati karya-karya penulis hebat itu. Ia berniat menulis di buku catatan merah, seperti kebiasaannya.

Bagi Geis, membaca butuh ketenangan untuk sungguh mengerti makna tulisan. Sedangkan, dengan menulis dapat memberi ketenangan untuk mengerti makna persoalan.

Dan kini, berakhirlah dengan pena yang menari di atas kertas demi menghasilkan rentetan kalimat indah.

Hei kamu,
Bagaimana bisa aku tak ingat padamu. Bagaimana bisa aku cepat meninggalkan ruang yang dulu.
Kalau bayangmu terus hadir dalam hari-hariku.

Kamu tahu?
Jogja tidak berubah. Jogja masih tetap sama, hadir atau tidaknya dirimu.
Jogja masih membahagiakan.
Anehnya, aku lupa dimana meletakkan kunci untuk menikmati surga dunia ini.
Pasti karena kuncinya kamu bawa kabur.  

Kamu tahu?
Aku punya satu makhluk Tuhan yang tak kalah darimu.
Dia menyenangkan, Surya.
Kamu belum mau cemburu karena ada yang membahagiakan aku?
Ah iya lupa. Kamu tidak pandai cemburu.

13 Agustus//Jogja tanpa Surya

Selesai. Isinya menggantung? Memang sengaja Geista buat seperti itu. Katanya, biarkan kalimat-kalimat itu menjadi perwakilan perasaan ini yang lama telah tergantungkan.

Tidak terasa, waktu merangkak cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Sudah saatnya mengistirahatkan tubuh, hati, dan pikiran. Geista membereskan meja belajar sambil berharap perasaan ini cepat beres juga. Ah, tidak masuk akal.

Selamat malam Surya. Selamat menikmati bahagia yang kau pilih.

Dasar w!
Lama banget gak update. Dasar manusia sok sibuk ih! Wkwk
Maap ya. Akutuh emang suka mageran.

Jangan lupa vote ya :)
Tulis saran dan kritik yg membangun. Aku hampa tanpa klean

//dcp//

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Langit SuryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang