Apa-apaan Geis?! Bodoh!!
Setelah ngomel di dalam toko buku tadi, Geis diam dan memilih untuk jalan lebih dulu. Geista menghampiri motor yang membawanya sampai kesini. Namun, saat berbalik ia tidak mendapati Hafiz di belakangnya.
Hafiz mengarah ke jalan raya.
Wah, Geis panik. Ia langsung berlari saja untuk mendekati dan meraih temannya yang malang itu. Buru-buru ia mengambil langkah, tak peduli lagi jika harus dimarahi orang lewat yang lain. Tujuannya hanya satu, menampar Hafiz.
Srekk... Geis sudah menarik paksa jaket kulit milik Hafiz yang membuat cowok berpostur tubuh tinggi itu berbalik ke arahnya.
Plakk...
Suara tamparan itu cukup untuk membuat mereka menjadi bahan tontonan banyak orang. Tapi bukan Geis namanya jika ia harus repot-repot menjaga image.
"Lo tuh apa-apaan sih?! Kalo punya masalah, diselesaikan. Kalo emang bosen hidup, jangan gini caranya!"sungut Geis dengan mata merah menyalak. Rasanya Geis tidak tahu lagi jalan pikiran Hafiz. Hidup berharga kok malah mau diakhiri. Bodoh dasar!
Hafiz yang dari tadi hanya terdiam sambil mengelus-elus pipi yang telah semerah tomat, kini mulai angkat bicara.
"Ada apa sih, Geis? Sakit tahu."rengek Hafiz, masih dengan mengelus pipi.
"Oh sakit? Iya, biar lo sadar dari mimpi buruk lo. Lo gila ya, gue kira lo anak baik-baik yang gak akan mau akhiri hidup dengan cara pecundang kayak gini. Parah lo, gak nyangka gue, Fiz."ujar Geis masih dengan ketidaksangkaannya dengan perbuatan Hafiz.
"Ihh apaan sih, Geis. Kamu kok aneh sih. Yang mau akhiri hidup siapa emang?"tanya Hafiz dengan mengerutkan dahi.
"Elo lah. Masa gue."
"Aku memang ngapain?"
"Pake nanya lagi. Lo ngapain coba pake mau ke jalan raya ginian. Entar lo ditabrak truk gandeng baru tahu rasa lo. Hidup aja belum dapat gandengan, kok udah mau bunuh diri."cibir Geis sambil menyilangkan tangan di dada.
Hafiz hanya nyengir untuk menanggapi kalimat terakhir yang diucapkan Geista.
"Lagian siapa juga yang mau mati muda, Geis. Kamu salah sangka. Aku memang mau nyebrang. Warung Bang Jajang 'kan di seberang, aku malas bawa-bawa motor. Jadi aku titip parkir saja disini." Hafiz menjelaskan dengan tenang disetiap kata yang terucap olehnya.Hafiz hanya sedang menikmati kebersamaan lucu ini dengan Geis. Dunia seperti milik mereka berdua. Hafiz tidak peduli dengan berbagai komentar orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.
Bahkan Hafiz tidak ambil pusing dengan anak usia SMA sedang asik merekam kejadian lucu ini. Negara +62 memang selalu update dimana pun. Cukup maklum.
"Eng...ja..jadi lo gak mau bun..."
"Enggak Geis, enggak. Yang benar saja aku bunuh diri. Aku belum mau mati, kalau aku mati siapa yang jaga kamu." Hafiz menjawab dengan penuh rasa. Matanya pun masih menatap wajah Geis yang terkena sinar mentari.| | |
Angin sore berebutan menyentuh kulit tangan Geista yang tidak tertutupi. Kembali menelisik di antara helai rambut halusnya. Menemani kebisuan yang dikelilingi riuh kemacetan kota.
Hafiz masih bungkam. Geis juga masih enggan membuka topik. Biasanya Geis paling tidak bisa membiarkan telinga Hafiz tenang tanpa mendengarkan ocehan dari mulutnya. Namun kini, Geis memberi kesempatan itu. Geista memberikan waktu untuk telinga Hafiz beristirahat.
Geis masih terlihat bingung, dan malu. Bodoh sekali dia jika mengira Hafiz akan bunuh diri cuma karena dimarahi olehnya. Hafiz bukan anak kecil yang suka ngambek. Hafiz juga bukan anak alay yang memperbesar masalah. Tapi kenapa tadi Geis bisa semarah dan khawatir seperti tadi. Duh, Geis merasa bodoh dengan tingkahnya.
Bertepatan motor berhenti di depan rumah bercat coklat, Hafiz berdeham. Tapi sampai Geis telah berdiri di depan pagar, Hafiz tidak juga mengeluarkan suara. Keduanya diam. Hafiz menatap kaca spion dan Geis menatap Hafiz yang sedikit tersenyum.
Tampaknya sehabis dimarahi, mental Hafiz sedikit terguncang, batin Geis.
"Ngapain lo senyum-senyum sendiri begitu. Buat ngeri aja." Geis bergidik melihat tingkah sahabat satu-satunya ini.
"Lucu. "jawab Hafiz ringkas dan langsung menunjuk spion yang sedari tadi ditatapnya. Geis menoleh ke arah spion dan mendapati pantulan wajahnya dengan rambut yang sedikit berantakan karena terpaan angin.Ah, dari tadi Hafiz memandang wajah Geis ternyata. Kenapa tidak menatap langsung saja coba. Kenapa harus lewat pantulan kaca spion yang sudah agak buram pula. 'Kan jadi mengurangi kadar kecantikan Geis.
Dan kenapa Geis harus repot-repot memikirkan apa alasannya. Geis menggelengkan kepala keras, jika lebih keras lagi ia menggelengkan mungkin kepalanya copot dari tempatnya.
Setelah kecanggungan tak berarti tadi, akhirnya Hafiz pulang dan Geis masih berdiri disana sampai lelaki bercelana hitam itu tidak lagi nampak di telan ujung jalan. Kebiasaan Geis yang sudah tertanam sejak mereka saling kenal. Geis akan menunggu sampai Hafiz benar-benar tak nampak lagi batang hidungnya, setelah itu baru Geis akan masuk ke rumah.
Tinggal selangkah lagi mencapai pintu berornamen bunga itu, Geis berbalik ketika mendengar suara kendaraan yang baru saja pergi. Itu Hafiz.
"Segitu banget rindu sama gue sampe harus balik lagi? Baru juga semenit tadi lo..." Ucapan Geis tercekat kala ia melihat satu buku bersampul gambar manusia dengan pecahan kepingan yang mengudara. Itu buku yang tadi tidak jadi dibeli. Dan buku itu sekarang ada di depan matanya.
Kesadaran Geis belum sepenuhnya utuh tapi Hafiz sudah angkat bicara.
"Bukan rindu. Cuma lupa ngasih ini. Tapi kalau mau dirindukan beneran juga boleh kok hehe."kata Hafiz disertai cengiran manis."Oh iya, kecantikanmu takkan berkurang hanya karena rambut yang berantakan. Kecantikan itu relatif. Dan di mataku, kamu selalu cantik, kok,"ujar Hafiz sembari menyentuh puncak kepala Geista. "Yaudah, aku pamit dulu. Assalamualaikum."sambungnya berpamitan.
Hafiz kembali ditelan ujung jalan. Menyisakan getaran disetiap pembuluh darah. Kenangan berputar di pikiran layaknya rentetan film yang siap ditonton.
Harus Hafiz?
¤
¤
¤Helloo....everybody!!!
Mon maap nih update nya kelamaan. Sempet kelupaan kalo w punya tanggung jawab yg baru aja dimulai :(Lain kali w buat alarm aja kali ya, biar ada yg ingetin.
Terus ikuti perjalanan cerita ini, ya :)
Jangan bosan lalu berpaling hati. Tetap disini.Jangan lupa klik tanda bintang di bawah, ya ^-^
//dcp//
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Surya
Teen Fiction--- Langit dan surya adalah kesatuan yang utuh dan saling mengikat. Hingga tiba saatnya ikatan itu terlepas. Hingga tiba saatnya langit kehilangan surya. Atau sebaliknya, surya kehilangan langit? Entah, tidak ada yang tahu pasti siapa yang kehilang...