“Seperti biasa, Rajiv. Double espresso and no sugar. Oh ya, jangan lupa donat dengan topping keju, satu kotak,” pinta Azwan pada salah satu office boy begitu dia tiba di kantor pagi ini.
Hhh...Rasanya aku lapar sekali sampai bisa makan seekor kuda, keluhnya, teringat semalam ia melewatkan makan malam begitu saja.
Sambil bersiul-siul, dia membuka pintu ruang kerjanya dan terkesiap kaget begitu menemukan seseorang tengah duduk di balik meja kerjanya.
“Nate? Apa yang kau lakukan sepagi ini di kantor?” Dia sedikit berteriak karena tidak menyangka akan mendapat kunjungan dari teman baiknya itu.
Kenapa muka Nate kusut? Apa dia mabuk semalam? pikirnya.
“Ceritakan padaku, Azwan. Tentang sepupumu yang kautitipkan selama sebulan padaku,” Geraman rendah yang muncul dari bibir Jonathan membuat Azwan menyadari apa yang tengah terjadi.
Bagus, dia sudah tahu dan aku terjebak di sini tanpa Diandra!
***
“Baiklah, saya akan menunggu Anda nanti sore di klinik saya,” tukasnya pada seseorang di ponselnya sebelum mengakhiri pembicaraan.
“Mami, what took her so long?” Seorang gadis kecil berumur empat tahun bertanya padanya sambil menggelembungkan kedua pipi.
“Mami rasa sebentar lagi. Be patient, Sweety,” jawabnya sambil tersenyum lantas mengelus rambut halus putrinya.
Benar saja. Tidak lama kemudian, si gadis kecil terlihat menunjuk ke arah seseorang sambil menarik tangan ibunya dengan gembira.
“Mami, Aunty’s coming!”
Keduanya lantas bergegas menuju seseorang yang tengah menyeret bagasinya seorang diri. Diandra.
“Zitta! Apa kabar, Sayang? Aunty kangen,” teriak Diandra begitu melihat keponakannya datang menghampiri.
“Zitta juga kangen!” Keduanya lantas berpelukan erat.
“Kau sakit, Di?” tanya Sera begitu melihat wajah lesu adiknya.
Refleks tangannya menyentuh kening dan meraba denyut nadi di pergelangan tangan Diandra. Sebuah kebiasaan yang mulai dilakukannya sejak kuliah.
“Hmm...aneh. Tidak demam dan denyut nadimu normal.” Keningnya berkerut menatap adik satu-satunya itu. “Katakan padaku, dimana sakitnya? Di sini...” Dia menunjuk pelipis Diandra, “atau di sini?” Tangannya beralih ke dada.
Diandra menghela nafas, setengah kagum dan setengah kesal pada kemampuan Sera menebak. Perlahan dia menunjuk dadanya.
“Kalau begitu aku punya waktu 3 jam sebelum kita sampai di rumah untuk mendiagnosis virus apa yang sudah menyerangmu. Virus patah hati, kurasa?”
***
Sudah seminggu sejak kepulangan Diandra ke Jakarta tapi Jonathan tetap saja merasa belum terbiasa tanpa kehadirannya di flat mungil itu. Dia biasa menemukan Diandra di dapur yang harum dengan wangi kopi sepulangnya dari ECP di pagi hari. Dua hari yang lalu, Jonathan berpapasan dengan Munah yang menanyakan kabar Diandra. Mengingatkannya kembali pada gadis itu. Caranya bicara, tertawa, berjalan, semua masih disimpan otaknya dengan sangat baik.
Suara mengeong dari makhluk berbulu itu mengagetkan Jonathan. Ginger sedang melewatinya dan berjalan pelan menuju pintu kamar yang biasa ditiduri Diandra. Kucing kecil itu pelan-pelan menggaruk pintu yang tertutup tersebut lantas berbaring di depannya. Suara mengeong itu kembali terdengar pelan dan seolah merintih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merlion, I'm in Love
RomanceDemi menyelesaikan tesisnya tentang TKW, Diandra nekat menjalani profesi tersebut ke Singapura. Bagaimana kalau ternyata majikannya adalah pria tampan, lajang, dan kesepian? Benarkah sang majikan ada hubungannya dengan kematian salah satu rekan Dian...