Senja sudah mulai turun di pelataran Merlion Park. Lampu-lampu mulai menyala, turut menyemarakkan suasana malam di sepanjang Sungai Singapura seperti biasa. Di sebelah kiri, Gedung The Esplanade Theater terlihat megah dengan kubah duriannya, seolah menantang kegarangan sang Merlion, simbol abadi Singapura yang masih selalu setia memancarkan air dari moncongnya. Lampu pada mata Merlion juga telah dinyalakan, seolah menunjukkan dia tetap sang ‘penguasa’ di antara belantara gedung pencakar langit di negara ini.
Di tangga samping patung Merlion, terlihat dua sosok yang tengah duduk memandang ke arah sungai yang berkilauan ditimpa cahaya lampu yang memantul.
“Masih ingat malam itu saat kita duduk di sini?” tanya si pria sambil menatap lembut gadis di sampingnya.
Si gadis mengangguk sambil tersenyum penuh cinta kepadanya.
“Aku tidak akan lupa betapa galaunya perasaanku karena mengira kau tengah bermesraan dengan dia,” ujar si gadis. “Tapi aku sangat lega ketika kau akhirnya datang kemari dan memilih untuk duduk bersamaku.”
“Asal kau tahu, aku tidak kalah khawatirnya sewaktu menyadari kau sudah tidak ada lagi di depan kafe. Rasanya aku mau mati saja kalau malam itu tidak bertemu denganmu,” balas si pria, kali ini sambil tertawa kecil.
Sekarang tangan si gadis merangkul erat pinggang kekasihnya sambil menyadarkan kepala perlahan di bahunya.
“Kenapa kau memilihku?” tanyanya tiba-tiba.
“Kau begitu unik, Sayang. Kau mungkin tidak sempurna tapi kau edisi terbatas. Cuma satu-satunya di dunia.” Si pria tertawa kemudian mengaduh kesakitan karena cubitan kecil di pinggangnya.
“Aku serius, Nate. Aku masih belum percaya pada akhirnya kita menikah dan sekarang kembali ke sini dengan status berbeda dibandingkan sebelumnya.”
Si gadis teringat tiga hari yang lalu saat keduanya selesai melaksanakan ijab kabul di Jakarta yang dilanjutkan dengan resepsi pada hari yang sama. Sekarang mereka berada di sini untuk mempersiapkan resepsi dua hari lagi sesuai permintaan keluarga besar si pria.
“Apa tidak cukup kalau aku bilang aku mencintaimu? Aku tidak tahu kalau ada alasan lain yang lebih benar dari itu,” jawab si pria lagi.
Si gadis menyerah dan kembali menyandarkan kepala di bahu suaminya.
“Nate?”
“Ya?”
“Terima kasih karena kau mau membiayai program master-ku ke Amerika. Walaupun sebenarnya aku masih menginginkan Fulbright,” ujar si gadis sambil tersenyum.
“Tidak perlu berterima kasih. Sudah kewajibanku sebagai suami dan lagipula aku memang tertarik untuk kuliah lagi di bidang jurnalistik.”
“Kau tidak akan berhenti menulis, kan?”
“Tentu tidak. Tapi, aku mungkin akan merintis sebuah usaha di bidang media. Apa kau siap memulai hidup dari nol bersamaku di Amerika?”
“Tentu saja, Nate. Asalkan kau selalu bersamaku.” Si gadis tersenyum hangat sambil menggenggam erat tangan suaminya.
“Nate?”
“Hmm?”
“Kau tahu? Dulu aku paling malas diajak kemari.” Dia tersenyum sambil mengenang saat-saat itu.
“Oh, ya? Kenapa?”
“Aku bosan terlalu sering kemari.”
“Ada-ada saja. Aku saja yang warga Singapura tidak pernah merasa seperti itu.” Si pria tertawa kecil sambil mengacak rambut istrinya penuh kasih sayang.
YOU ARE READING
Merlion, I'm in Love
RomanceDemi menyelesaikan tesisnya tentang TKW, Diandra nekat menjalani profesi tersebut ke Singapura. Bagaimana kalau ternyata majikannya adalah pria tampan, lajang, dan kesepian? Benarkah sang majikan ada hubungannya dengan kematian salah satu rekan Dian...