Dia terbangun sambil terduduk di ranjang dengan tiba-tiba.
Hah! Astaga, syukurlah itu cuma mimpi! Mimpi buruk itu lagi. Selalu saja mimpi yang sama. Apa dia benar-benar masih bergentayangan di dunia ini?
Dia menghapus keringatnya yang bercucuran di kening dan sekujur tubuh. Nafasnya masih sesak membuat dadanya naik turun. Dia butuh minum. Mimpi ini sudah sangat membuatnya lelah dan dehidrasi.
Kenapa? Kenapa pelacur itu masih terus menghantui hidupnya? Bahkan setelah kematiannya. Dasar jalang! Apa yang harus dia lakukan agar hidupnya kembali tenang seperti sebelumnya?
***
Jonathan terpekur diam di depan gelas kopinya di meja makan pagi itu Diam-diam Diandra memperhatikannya sambil tetap memotong ikan yang ada di atas talenan. Hati kecilnya tidak berhenti bertanya-tanya tentang pakaian bernoda darah kemarin, namun mengingat dia masih melancarkan 'perang dingin' dengan Jonathan, Diandra memutuskan untuk tidak bertanya sekarang. Setidaknya sampai dia sudah merasa tidak gengsi lagi untuk menegur laki-laki itu terlebih dahulu. Tapi sepertinya Jonathan juga tidak berniat menegurnya sehingga membuatnya mulai kesal lagi.
Huh! Sombong sekali kau, Nate. Kau pikir kau siapa? Pikirnya sambil bersungut-sungut.
"Kau punya rencana keluar hari ini?" tiba-tiba Jonathan bertanya padanya, membuatnya kaget sehingga menjatuhkan tutup panci yang ada di tangannya.
"Aku? Oh, ya, ya. Aku memang mau keluar. Kalau Mr. Woo mengizinkan," sahut Diandra tanpa menoleh, pura-pura tidak peduli.
Mata Jonathan menyipit mendengar kalimat terakhir Diandra.
Mr. Woo? Maksudnya, dia?Sejak kapan Diandra memanggilnya seperti itu?Hhh..baiklah, aku ikuti permainanmu, Dian.
Jonathan berdeham, lalu berusaha membuat suaranya kedengaran biasa-biasa saja.
"Kau mau pergi dengan temanmu itu, Nona Diandra?"
Sebenarnya Diandra tidak bermaksud untuk pergi kemana-mana, apalagi bersama Yudha, namun karena masih kesal segera saja ia mengangguk sambil menatap pria itu, dingin.
"Kau tidak bisa pergi. Hari ini kau lembur dan besoknya juga. Lantai harus dipel, semua jendela harus dibersihkan, tanaman harus dirapikan, dan...dan...kamar mandi harus disikat sampai benar-benar bersih."
"Kau..."
Diandra terkesiap, tidak sanggup melanjutkan kata-katanya lagi. Tidak biasanya Jonathan Woo seperti ini. Dia tidak pernah melarang Diandra pergi ke manapun! Dan apa katanya tadi? Lembur? Sejak kapan dia menggunakan kata-kata itu? Diandra tidak pernah disuruh untuk melakukan ini dan itu. Dia melakukannya karena dia menginginkannya. Tapi...astaga, kenapa laki-laki ini mulai terdengar seperti majikan sesungguhnya?
Harga dirinya terkoyak. Dia bukan babu. Dia tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia, Diandra Subagja, dan belum pernah ada satu manusiapun di planet ini yang berani menyuruh-nyuruhnya seperti itu! Sialan! Hatinya panas dan rasanya dia ingin melempar muka laki-laki sombong ini dengan potongan berbau amis yang ada di hadapannya.
"Baiklah. Kalau sudah jelas, aku mau pergi dulu. Selamat bekerja, Nona Diandra," ujar Jonathan sambil beranjak dari kursi dengan wajah tak peduli.
"Oh ya, selamat bersenang-senang, Mr. Woo. Kudoakan semoga hari ini kau bisa bertemu seseorang. Seorang putri dari, eh...Thailand, misalnya?" jawabnya sinis sambil tetap memotong-motong ikan dengan bernafsu.
Mendadak Jonathan menghentikan langkahnya. Parasnya berubah. Lalu pelan-pelan dia mendatangi Diandra yang masih berdiri membelakanginya di depan meja racik dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merlion, I'm in Love
RomanceDemi menyelesaikan tesisnya tentang TKW, Diandra nekat menjalani profesi tersebut ke Singapura. Bagaimana kalau ternyata majikannya adalah pria tampan, lajang, dan kesepian? Benarkah sang majikan ada hubungannya dengan kematian salah satu rekan Dian...