Dua

17K 1.7K 59
                                    

"Wajah kok kusut amat pagi-pagi. Setrikanya ibu lagi rusak ya? Sampai tuh wajah kelupaan disetrika," Faira, teman sekelas Rima menyapa saat mereka bertemu di depan gerbang kampus.

Sepuluh menit lagi jam masuk kelas di mulai. Rima yang biasanya menjemput Faira ke indekostnya akhirnya hanya menunggu Faira di depan gerbang kampus karena takut terlambat.

Faira adalah seorang mahasiswi perantauan di kota ini, indekostnya terletak tak jauh dari kampus. Hanya sekitar seratus meter saja dari gerbang pintu masuk kampus.

Rima terkadang merasa begitu iri dengan kehidupan sahabat karibnya itu. Gadis ceria yang terlahir sebagai anak tunggal yang dilimpahi kasih sayang dari orang tua utuh yang begitu Rima damba.

Belum lagi, begitu banyak orang-orang di sekitar Faira yang menyayanginya. Ada Mas Aryo, pemuda tampan nan mapan yang tergila-gila pada Faira sejak gadis itu menginjak semester tiga.

Setelah itu ada Pak Rangga, duda keren pengusaha perhotelan yang sudah resmi menyandang status sebagai kekasih Faira beberapa waktu yang lalu. Benar-benar sempurna. Itulah gambaran kehidupan Faira di mata Rima.

"Masuk aja yuk. Takut telat." Rima mengabaikan pertanyaan sahabatnya. Ia berjalan mendahului demi menghindari topik yang enggan ia bahas. Ia malu, dan merasa rendah diri jika harus membahas masalah keluarganya yang bisa dikatakan tidak seperti keluarga pada umumnya kepada orang lain.

Sejauh ini tak seorang pun teman-temannya tahu tentang keadaan keluarganya kecuali Faira. Rima hanya mengatakan bahwa ayahnya mempunyai istri lain selain ibunya. Hanya itu, tak lebih. Tentang siapa sebenarnya ayahnya, tidak ada yang tahu.

Jika ia sampai membuka mulut, bisa dipastikan semua orang pasti akan tahu sosok ayahnya. Orang-orang di kota ini mengenalnya sebagai orang nomer satu yang baik hati juga pengayom rakyat. Semua orang begitu mengagumi dan menghormatinya.

"Masih sepuluh menit lagi. Ngapain buru-buru, sih? Biasanya juga mepet-mepet masuknya." Faira enggan menuruti ajakan Rima meskipun ia tetap mengayunkan langkah di belakang gadis itu.

"Ntar biar bisa cari posisi yang enak buat nongkrongin Pak Pram. Pagi-pagi gini pasti energi langsung naik jika lihat Pak Pram dari dekat." Rima menyebut nama salah satu dosen mereka yang akan memberikan mata kuliah pagi ini. Pak Pramono adalah seorang dosen dengan wajah di atas rata-rata. Statusnya yang masih single di usianya yang baru menginjak pertengahan tiga puluh membuat hampir semua mahasiswi tidak hanya di fakultas Rima namun juga seluruh kampus begitu mengidolakannya.

Namun sayang sifatnya yang tak pernah ramah dan selalu bermulut tajam membuat sejumlah mahasiswi yang mencoba mendekatinya mundur teratur. Gadis-gadis itu masih sayang dengan jantung dan hati mereka. Dari pada mendapatkan pelototan juga kata-kata tajam. Lebih baik berhenti dan mengibarkan bendera putih saja. Masih banyak pria-pria tampan di kampus ini yang bisa mereka lirik dan dijadikan sandaran hati.

"Katanya sudah nggak pengin  memprospek si bapak lagi. Kok sekarang kumat lagi? Lupa ya, Bu?" Faira melontarkan ejekannya.

Ya Rima memang pernah mengatakan tak akan lagi tebar pesona pada dosen mereka itu. Ia kapok karena pernah mendapatkan kata-kata tajam dari pak Pramono gara-gara sengaja mengerjakan soal paling akhir di kelas.

Rima sengaja melakukan itu agar bisa berdua saja di dalam kelas dengan pak Pramono. Namun hasil yang ia dapat di luar perkiraan. Pria itu mengeluarkan amunisinya dengan mengatakan kalimat, "Kamu ini mahasiswa terbodoh yang pernah saya temui. Soal semudah ini saja tidak mampu menyelesaikan tepat waktu. Apa saja yang kamu lakukan setelah pulang kuliah? Jangan hanya bisa berdandan dan nongkrong saja."

Akhirnya Rima mundur teratur dan tak berani lagi menampakkan wajahnya di depan si dosen ganteng bermulut sekejam ibu tiri itu. Bahkan setiap mata kuliah pak Pramono, Rima selalu mencari posisi aman dengan duduk di bangku belakang.

"Si bapak kan sering banget ngomel kejam ke mahasiswanya. Jadi pasti dia sudah lupa sama wajahku." sebenarnya Rima hanya mengalihkan pembicaraan, agar Faira tak membahas wajah muramnya pagi ini. Dan hal yang paling tepat adalah melemparkan topik si dosen jutek bermulut kejam itu. Dan hasilnya, Faira sudah melupakan pertanyaan tentang wajah muram Rima. Benar-benar pintar berkelit.

"Masak sih? Otak si Bapak canggih lo, Rim. Nggak mungkin banget dia lupa sama ulah mahasiswanya meskipun cuma hal remeh kayak kejadian yang kamu alami beberapa waktu yang lalu," Faira bersikeras tak mau mengalah.

"Yah, anggap aja aku tak tahu malu. Selesai masalah. Yuk, cepat ntar kita nggak dapat kursi VIP, lo. Rugi banget kuliah bayar mahal-mahal kalau kita nggak dapat lebih. Selain dapat ilmu kita kan juga butuh piknik mata." Faira mencibir mendengar ucapan Rima yang semakin absurd.

Tak sampai lima menit mereka telah duduk manis di kelas. Beberapa mahasiswa sudah tampak menunggu dosen mereka sambil berbincang santai. Kebanyakan yang Rima lihat justru kakak-kakak tingkat mereka yang sepertinya mengulang mata kuliah pak Pramono.

Selain dikenal disiplin dan bermulut kejam. Dosen bujang itu juga terkenal pelit, begitulah sebagian besar mahasiswa menyebutnya. Jangankan mendapatkan nilai sempurna. Angka B saja sudah syukur Alhamdulillah mereka tidak perlu mengulang.

"Rim, kita ini kayaknya termasuk golongan mahasiswi unyu deh. Coba lihat. Banyak kakak tingkat yang ikut kuliah sama kita." Faira terkekeh geli sambil berbisik pelan di telinga Rima.

"Eits, jangan terlalu pe de dulu. Jangan-jangan tahun depan giliran kita." Ya, bisa jadi kan mereka gagal di mata kuliah ini dan harus mengulang di tahun berikutnya?

"Kamu aja kali, aku nggak." Faira menampik ucapan Rima. Tentu saja ia tak mau mengulang mata kuliahnya saat ini. Ia harus lulus tepat waktu. Masih banyak rencana indah yang harus segera direalisasikan. Termasuk rencananya menikah dengan sang kekasih. Ia sudah berjanji akan menerima ajakan menikah kekasihnya setelah mendapatkan gelar sarjananya. Gagal lulus tepat waktu berarti gagal menikah tepat waktu juga.

"Cie calon mempelai yang sudah kebelet. Udah ngapain aja nih sama si om? Kalau secara teori sih. Pacaran sama om-om tuh sudah pasti beda dengan pacaran sama sesama mahasiswa. Sudah pasti kamu akan diajari bersilat lidah dan beradu mulut sesering mungkin. Mereka kan expert. Itulah kelebihannya yang bisa jadi berkah. Namun jika si om dan kamu udah gak nahan, duh... Pasti bakal jadi musibah. Pelajaran tentang reproduksi di zaman putih abu-abu sepertinya harus kamu hafal di luar kepala agar tidak digantung papa kamu di rumah." Rima berkata panjang lebar berlagak bak seorang guru yang sedang menjelaskan materi yang ia ajarkan.

Tak menunggu lama, tangan Faira sudah mendarat di kening Rima. Memberikan tepukan keras berkali-kali agar temannya itu segera sadar jika mungkin saja ada jin yang merasuk ke tubuhnya.

"Nanti sore aku mau cari ustadz yang bisa merukyah kamu. Siapa tahu jin penunggu pohon besar di belakang kampus nebeng tempat di punggung kamu." Rima hanya mengerucutkan bibirnya sebal.

Belum sempat ia membalas ucapan Faira, dari arah pintu masuk kelas tampak sosok yang telah mereka tunggu akhirnya muncul juga. Tepat waktu seperti biasa dan tentu saja dengan penampilan yang membuat Rima menelan ludah juga sesak napas seketika.

"Duh Bapak... Kok rambutnya basah-basah segar gitu sih. Bikin dedek pengen remas-remas manjah, deh," ucap Rima pelan disertai desahan membuat Faira yang duduk di sebelahnya bergidik ngeri seketika.

###
Si Faira ada di lapak Part Time.
Versi cetak bisa dipesan dishopee official grassmedia atau bisa jg ke KBM Nia_Andhika.

BEAUTIFUL DISASTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang