Matanya membuka pelan-pelan. Dadanya terasa sesak sekali. Tidak tahu karena rasa panik tersebut atau air yang tak sengaja tertelan. Ia harap begitu matanya terbuka sempurna nanti, bukan malaikat kubur yang dilihatnya.
'Ya Tuhan jangan meninggal dulu... Aku belum kesampaian beli Ferrari, belum liburan ke Yunani, belum skripsi—'
"UHUK! UHUK-UHUK!"
Tiba-tiba saja punggungnya serasa dipukul dari belakang. Matanya terbuka dan hal pertama yang dilihatnya ialah pohon kelapa yang menjulang tinggi. Syukurlah. Kalau saja malaikat kubur yang dilihatnya dan menanyai dosa seumur hidup, sudah pasti 7 hari 7 malam penghakiman pun tidak akan kelar.
"Udah siuman?"
Netranya mencoba mencari asal suara tersebut. Ia lamgsung terduduk begitu mendapati sosok lelaki dengan kaos putih dan celana floral yang basah tengah berdiri di dekat kakinya. Rambutnya yang berwarna kemerahan bak tokoh animasi Ariel bersinar di bawah matahari Bintan yang begitu terik.
"H-hah? A-apa?" Bicaranya mendadak gagu saat menjawab pertanyaan tersebut. Matanya mengerjap berkali-kali.
"Kamu tadi kebawa arus, teriak minta pertolongan. Untung saya denger. Pas ditolongin pingsan."
"Oh..."
"Oh?"
"Makasih kak—"
"—Jeffrey. Saya baywatch pantai ini."
***
Entah bagaimana ceritanya, tapi kini ia dan lelaki bernama Jeffrey itu duduk di gazebo pantai yang teduh sambil menikmati air kelapa di tengah cuaca yang panas ini.
"Jadi?"
"J-jadi apa kak?"
"Nama kamu?"
"Kejora," jawab gadis itu pelan.
Jeffrey tadi sempat pergi sebentar untuk memesan kelapa dari restoran. Ternyata ia juga mengganti pakaiannya yang basah dan sekarang baru saja mendaratkan bokongnya di bantal tipis yang disediakan pihak resort di gazebo.
"Nama lengkap?" tanyanya lagi, kali ini mencoba menatap Kejora yang masih belum berani menaikkam dagunya—mungkin masih syok akan kejadian tadi.
Gadis itu mendongakkan kepalanya pelan, "Semesta Bintang Kejora."
Jeffrey tersenyum tipis, "Cantik."
"E-Eh?"
"Ayah kamu kerja di NASA?"
Kejora mengerutkan dahinya, "NASA?"
"Iya. Nama kamu kayak angkasa luar gitu. Pantes gak bisa berenang. Bumi dan langit kan gak bisa saling meraih."
'Anjir sialan,' umpat Kejora dalam hati.
"Nggak kerja di NASA kok. Tapi omku kerja di BMKG."
"Hah?"
"I-iya... Kerja di BMKG, baca prakiraan cuaca, seismograf gitu."
Batin Jeffrey tertawa geli. Perempuan yang duduk di sampingnya ini sungguh random. Tapi tidak masalah, setidaknya ia punya teman yang bisa diajak bercanda hari ini.
Lelaki itu mengangguk-angguk, "Kalo gitu, kamu bisa prediksi cuaca hari ini dong?"
"Kak, HP nya iPhone XS kan itu?"
"Iya, kenapa?"
"Buka HP-nya aja mendingan. Soalnya aku bukan aplikasi Weather."
Jeffrey tergelak. Ia lalu mendapati Kejora tengah mengeratkan handuknya ke badan.
"Kamu kedinginan? Mau aku ambilin baju?" Tawar lelaki itu yang sekarang sudah siap berdiri dan meletakkan kelapanya di samping.
Kejora membulatkan matanya, "Eh gak usah Kak, ngerepotin. Aku habis ini balik ke—"
"—Sebentar ya saya ke villa dulu. Kayaknya di lemari ada baju cewek ukuran kamu."
Gadis itu tertegun. Ia tak berkata apa-apa selain menatap Jeffrey yang tengah turun dari gazebo memakai sendalnya.
Seperti menyadari perubahan ekspresi perempuan tersebut, Jeffrey lantas tersenyum tipis, "Bajunya punya adek perempuan saya kok, umurnya sepantaran kamu kalo dia belum pergi. Kayaknya badan kalian juga seukuran."
Jantung Kejora serasa berhenti berdesir. Ia dengan cepat memberhentikan Jeffrey sebelum pergi, "Kak, gak perlu ngerepotin—"
"—Kejadian yang sama 2 tahun yang lalu, dan saya gak ada di sana waktu dia minta pertolongan," matanya menerawang jauh ke memori dulu. Terdapat penyesalan dan sakit yang disorotkan netranya.
Sungguh Kejora merasa tidak enak pada Jeffrey sekarang. Namun rentetan kalimat yang baru saja dikeluarkan lelaki itu membuat hatinya terenyuh. Demi apapun, ia tidak berniat sekalipun membuat Jeffrey merasa bersalah.
"Udah, kamu gak ngerepotin saya kok. Saya cuma ingin melakukan yang terbaik aja menolong orang," Jeffrey tersenyum teduh. Rambutnya yang kini sudah kering dikibaskan oleh angin pantai yang kencang—membuat parasnya terlihat jauh lebih tampan.
"... Tunggu di sini, ya? Saya ke villa sebentar."
"—Eh, kelapanya gimana kak?"
"Udah saya bayar di restoran, jangan khawatir," ucapnya sekali lagi sebelum tubuhnya yang tinggi semampai dan proposional bak model berjalan menjauh dari pantai.
Kejora menghembuskan nafasnya pelan.
Siapa sangka hatinya yang kini rapuh berlabuh di tanah Melayu?
***
Samudra Jefferian Jung (Jeffrey)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesisir
Fiksi PenggemarPulau Bintan, 2019. Siapa yang sangka kesepian dan patah hati mempertemukan dua insan di sebuah pesisir pantai yang terletak di Bintan, Kepulauan Riau. Berawal dari insiden tenggelamnya Kejora di pantai tersebut, Jeffrey yang kala itu bertugas sebag...