CHAPTER 4

9.4K 1K 52
                                    


Sampai keesokan harinya pikiran Haechan bekerja terus. Di sekolah tak sepotong pelajaran pun masuk di kepalanya. la ingin hari cepat berganti sore. Ia ingin cepat-cepat menemukan bukti yang dapat dilaporkannya pada ayahnya. Ia ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya yang lama, di rumahnya yang lama.

Pulang sekolah ia segera menelpon agen taxi. Minta dikirim taxi pukul setengah sembilan nanti. Alamat yang diberikan adalah alamat rumah sebelah yang tak berpenghuni itu. Ia berpesan agar sopir taxi menunggu saja di depan rumah tanpa membunyikan klakson atau memencet bel. "Yang mau pakai taxi pesannya begitu" tambahnya cepat. Kuatir dikira anak kecil yang sedang iseng.

Mendekati pukul delapan hatinya mulai berdebar-debar tak keruan. Nafsu makan telah hilang. la hanya duduk memainkan sumpitnya di atas piring yang dibawanya ke kamar. Dari balik dinding kamar itu ia dapat mendengar jelas Mark telah selesai makan dan si mbok mulai membereskan meja.

Arloji di tangan menunjukkan pukul delapan lewat seperempat. Biasanya setengah sembilan tepat Mark baru berangkat. Apakah taxi sudah menunggu di luar? Bagaimana bila taxi itu tak datang? Atau datang tapi kembali pulang karena mengira ditipu?

Pukul setengah sembilan tepat Haechan telah siap di belakang pintu. Lengkap dengan celana panjang dan jaketnya.

"Bibi!" lerdengar teriak Mark dari ruang tamu. "Kunci pintunya ya! Saya mau pergi."

Haechan menghitung sampai sepuluh, menarik napas dalam-dalam tiga kali, lalu berhambur ke luar. Si bibi baru saja hendak menutup pagar besi di depan ketika Haechan tiba-tiba muncul dan menahannya.

"Jangan ditutup dulu. Saya juga mau pergi."

"Aah-uuh,'' tanya bibi ketakutan.

"E, itu dia taxinya. Jaga rumah yang baik, ya Bibi."

Sebelum sopir taxi sempal mengamat-amatinya, Haechan buru-buru melompat ke dalam. Sengaja duduk di depan agar wajahnya tak dapat diperhatikan lewat kaca spion.

"Ikuti motor itu, Pak. Tapi jangan terlalu dekat." Haechan bersyukur karen sejak beberapa hari yang lalu suaranya menjadi serak dan parau entah karena apa. Mudah-mudahan supir taxi itu tak dapat menduga bahwa dia masih kecil, doanya dalam hati. Lupa bahwa ukuran tubuhnya tak mungkin diajak berbohong soal usia.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Haechan bepergian seorang diri di malam hari. Mendadak ia merasa dirinya amat tak berdaya. Bisa berbuat apa dia kalau sopir taxi ini seenaknya putar haluan dan melarikan taxinya ke tempat gelap, seperti dalam film akhir pekan minggu lalu? Atau tiba-tiba menurunkan Haechan di tengah jalan karena tak yakin dia mampu membayar?

Untuk meyakinkan diri Haechan merogoh saku jaketnya. Ya ampun, dompetku ketinggalan! Dompet yang sudah kuisi dengan uang belanja Bibi minggu ini. Tapi biarlah. Nanti sesampainya aku di tempat Mark berhenti, akan kuminta taxi ini menunggu dan mengantarkan aku kembali. Mudah-mudahan ia tidak memaksaku membayar di tengah jalan karena ia tak mau disuruh menunggu. Dan setelah mengetahui aku tak bawa uang menyerahkan aku ke kantor polisi.

Kepalanya berdenyut-denyut seiring dengan denyut jantungnya. Di luar malam gelap sekali. Seluruh nasibku berada di tangan sopir taxi ini, pikirnya. Secara tak sadar ia beringsut perlahan-lahan merapatkan dirinya ke pintu dan menyandarkan lengannya dekat tarikan pembuka. "Kalau tak dapat menangkis bahaya, jangan diam saja, lari!" demikian nasihat instruktur karatenya ketika ia
masih ikut latihan dahulu.

Sopir taxi yang bertubuh hitam besar dan berkumis lebat itu tanpa berkomentar apa-apa menuruti perintah penumpangnya. Mark yang dibuntuti akhirnya berhenti di depan sebuah bar kecil yang gelap gulita. Haechan menyuruh sopir taxinya parkir di seberang bar, meteran berjalan terus tatkala Haechan menunggu Mark yang dikiranya hanya akan masuk sebentar untuk memanggil teman-temannya lalu pergi entah kemana.

SI PENGANTIN KECIL (MARKHYUCK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang