CHAPTER 5

8.8K 983 137
                                    

Nb : chapter ini cukup panjang ya...








Johnny Seo selalu menyempatkan diri untuk menelepon setiap bulan dan berkunjung setiap tiga bulan. Namun tak sekalipun Haechan pernah berbicara apalagi menemui ayahnya. Bila ia yang kebetulan mengangkat telepon, mendengar suara ayahnya, telepon itu serta-merta dibantingnya. Bila ayahnya datang menengok, hanya Mark yang ke luar kamar untuk menyambut. Kalau Mark tak ada, dibiarkannya ayahnya menggedor-gedor pintu kamarnya sampai akhirnya bosan sendiri.

Tak tahu diri. Sudah jelas-jelas tidak disukai, masih saja datang. Tidak seperti orang tua Mark yang mengerti suasana dan karenanya tak pernah berkunjung.

Sudah sebulan itu Mark tak lagi pulang pukul satu pagi. Mula-mula ia pulang sekitar pukul tiga, lalu pukul empat, pukul lima, kadang-kadang malah tak pulang sama sekali.

Uang keperluan rumah tangga dan lain-lain tidak lagi disisipkannya ke kamar Haechan secara berkala setiap minggu. Kini semua kebutuhan dalam sebulan dimasukkannya sekaligus dalam satu amplop tanpa dibubuhi keterangan untuk membayar apa dan apa.

Mark mulai tidak perdulian, keluh Haechan. Akhir- akhir ini ia selalu tampak murung. Kebiasaan buruknya, melarutkan cabai dalam makanan Haechan, sudah lama dihentikannya. Padahal Haechan baru saja berhasil membongkar misteri itu dan berniat mengadakan serangan balasan.

Kuliah sambil mencari uang mungkin memang tak mudah. Mungkin ada baiknya bila Haechan turut meringankan beban pengeluarannya dengan misalnya menghemat pemakaian listrik dan telepon. Mungkin ada baiknya pula bila Haechan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Supaya ia tidak merasa terlalu tertekan. Nanti kalau ia pulang awal, biar Haechan saja yang membukakan pintu mendahului si bibi.

Harapan Haechan terkabul. Kali ini Mark pulang sebelum pukul dua pagi.

"Biar saya yang buka, Bibi!" teriak Haechan sambil bergegas menuju pintu ruang tamu.

"Tumben pulang jam segini," sambutnya disertai sedikit senyum.

Mark terkejut melihat Haechan. "Kenapa belum tidur?" dengan nada yang sama sekali tak bersahabat. Lalu tanpa memperhatikan Haechan ia mengajak masuk seorang wanita berwajah warna-warni.

"Siapa ini?" tanya wanita itu menunjuk pada Haechan.

"Oh, adik sepupu saya," jawab Mark pura-pura tak acuh. "

"Yuk, kita ke dalam bikin minuman sendiri."

Haechan memandang wanita itu dari atas sampai ke bawah sambil menggigit bibir. Rendah sekali selera Mark. Perempuan macam itu dibawa pulang.

Huuu! la pun kembali ke kamarnya. Tak lupa membanting pintu keras-keras.

Dalam setahun itu berganti-ganti teman wanita yang dibawa pulang oleh Mark. Dan semua punya ciri-ciri yang sama, Haechan memperhatikan. Mukanya berwarna-warni. Pakaiannya seperti pohon Natal. Dan suaranya seperti dua potong seng yang saling digesek.

Tapi itu semua masih tidak apa-apa, renung Haechan, asalkan mereka tidak menganggap rumah ini sebagai rumah sendiri dan menganggap Haechan yang
nyonya rumah sebagai anak ingusan yang mengganggu mata.

"Haloo, Adik kecil. Apa kabaar?" sapa yang terakhir ini setiap kali berpapasan muka denganku, dimana saja. Di dapur. Di ruang tamu. Di ruang makan. Di setiap sudut rumah. Maksudnya mungkin mau ramah. Tapi caranya itu Iho. Betul-betul menyebalkan. Sialnya lagi, setiap kali aku hendak menghidupkan TV di ruang tamu, wanita itu tak pernah absen menyindir,

"Kok belum tidur Non? Nggak baik lho anak sekolah tidur begini malam."

Terakhir kali, karena sudah tak tahan lagi, Haechan menyahut balik dengan ketus,

SI PENGANTIN KECIL (MARKHYUCK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang