Numpang Makan

31 1 0
                                    

"Agam, gue minta tolong dong."

Agam menoleh, memandang teman se fakultasnya yang baru saja berbicara padanya.

"Apaan?" Tanya Agam.

"Anterin gue pulang. Kita kan searah." Jawab gadis itu.

"Iya sih Ai, searah. Tapi abis itu masuk gangnya banyak. Sama aja." Ujar Agam membuat Aina merengut.

"Udahlah Gam. Anterin bentar." Ujar Rio sembari menepuk pundak Agam.

Agam menghela nafas.

"Yaudah deh. Tapi gue langsung pulang loh Ai. Ogah mampir." Ucap Agam.

Aina tersenyum sumringah sambil mengangguk semangat.

"Yaudah, gue ke perpus dulu. Entar kalo kelas lo udah kelar, WA gue ya." Tutur Aina yang di balas anggukan oleh Agam.

Setelah Aina pergi, Agam bernafas lega. Rasanya seperti beban hidupnya sudah lenyap. Tapi kemudian dia menatap Rio kesal.

"Kenapa?" Tanya Rio heran karna tatapan Agam.

"Menurut lo?" Tanya Agam balik.

"Aelah Gam. Lo tuh peka dikit kenapa. Si Aina tuh suka sama lo." Ujar Rio santai.

"Kenapa sih lo malah menyia-nyiakan Aina yang udah jelas-jelas suka sama lo." Serobot Dika membuat Agam mendengus.

"Gue gak suka sama cewek yang terlalu bar-bar. Aina emang idaman kampus, tapi dia terlalu bar-bar dan agak kekanak-kanakan."

Setelah ucapan Agam itu, suasana diantara mereka bertiga menjadi hening.

"Jadi, lo sama sekali gak ada rasa buat Aina?" Tanya Dika memastikan dan Rio ikut mengangguk.

"Iya." Jawab Agam yakin.

Mendengar itu, Rio dan Dika saling bertukar pandang. Dengan pandangan khawatir, mereka berdua menatap Agam. Agam menaikkan satu alisnya menatap kedua sahabatnya itu.

"Lo normal kan Gam?" Tanya Rio.

Agam menahan tawanya, tapi karna tidak kuat akhirnya dia tertawa terbahak-bahak. Membuat seisi kantin menatap meja mereka. Semua menerka-nerka, apa yang sedang di bicarakan oleh tiga most wanted kampus.

"Gue normal lah gila. Gue gak suka sama Aina karna mungkin gue udah suka sama cewek lain." Ujar Agam setelah lelah tertawa.

"Cewek lain?" Tanya Dika penasaran.

"Siapa?" Tanya Rio.

"Mungkin dia." Jawab Agam sambil membayangkan wajah Lili.

"Kenalin ke kita dong Gam." Ujar Rio.

"Ogah, bisa-bisa kalian suka entar." Tukas Agam.

"Yaudah, gue ke kelas dulu." Ujar Agam dan berlalu meninggalkan teman-temannya.

Sesuai janjinya, Agam mengantar Aina terlebih dahulu. Dan tidak sesuai perjanjian, Aina memaksa Agam mampir terlebih dahulu. Agam ingin menolak, tapi ibu Aina tiba-tiba keluar dan menyuruh Agam mampir. Akhirnya, Agam pun memilih menurut.

"Mau minum apa Gam?" Tanya Aina.

"Gue capek Ai. Pingin pulang." Ujar Agam.

Aina merengut lalu pergi meninggalkan Agam dan mengambil minum untuk Agam. Agam dengan wajah kesal nya menatap Aina jengah.

"Ai, gue tuh–"

"Agam udah makan belum? Tante masak banyak nih. Makan dulu yuk." Potong Ibu Aina.

Aina tersenyum bahagia menatap Agam. Aina yang tahu kalau Agam akan menolak langsung berkata,

"Belum kok Bu. Ayo Agam." Ucap Aina riang.

"Gak usah tante. Mamah juga mau masak banyak. Saudara ada yang mau dateng soalnya. Jadi, Agam mau pamit aja tante. Udah sore malah mau malem ini." Tutur Agam.

Aina kesal. Biasanya Agam tidak seperti ini. Setelah pamit dan salim, Agam keluar di ikuti oleh Aina.

"Gam, lo tuh kenapa sih. Gak kayak biasanya." Ucap Aina kesal.

Agam mengenakan helm nya dan menoleh ke arah Aina.

"Gue pulang dulu Ai." Ujar Agam lalu pergi meninggalkan Aina.

.........

"Lili, ini obat nya udah ibu beli. Di minum ya."

Lili mengangguk dan mengambil obat yang ditinggalkan Ajeng untuknya di meja rias nya.

Lili menatap obat itu. Karna pobhia nya, dia jadi sering sakit. Dan sekarang dia didiagnosa sakit jantung. Karena kurang nya cahaya matahari. Lili ingin sembuh, tapi dia takut. Dia benci pobhia nya.

Lili mengambil bingkai foto di dekat obat tadi dan air matanya lagi-lagi turun saat menatap foto yang menampakkan dua orang laki-laki.

Yang satu dengan tubuh besar, kulit putih, dan kumis tipis yang sedikit lebat. Yang satu sedang di gendong di atas pundak pria tadi dengan senyum mengembang dan topi yang sedikit miring.

"Ayah. Kak Ricky. Lili kangen. Maaf, ini semua karna Lili. Kalau aja Lili gk minta lihat matahari, kalian gak mungkin pergi. Lili minta maaf ayah. Kak Ricky, sekarang nenek benci sama Lili. Nenek cuma sayang sama kak Ricky. Karna Lili, nenek kehilangan kak Ricky. Maaf."

Lili menangis, tapi dia menahan suaranya. Dia tidak ingin Ajeng dengar. Dia hanya akan menyimpan kesedihannya ini sendirian.

"Maaf."

Lili memeluk foto itu dan berjalan menuju sofa di pojok kamar. Dia tidur meringkuk tanpa melepas foto tersebut.

Lili yakin, matanya sudah bengkak. Dan dia akan menghindar kalau ada yang ingin menemuinya.

Dia tersenyum kecut. Siapa yang akan menemuinya selain Ajeng dan Agam?

"Aku gak boleh ketemu Agam dulu. Entar dia malah tanya-tanya aku ini kenapa." Gumam Lili.

Lili terdiam.

"Ngapain aku mikirin Agam. Dia gak mungkin nyariin aku. Geer banget kamu Lili." Lili bermonolog.

Dia bahkan tidak sadar kalau foto ayah dan kakaknya itu sudah tidak ada di tangannya lagi.

"Tapi, setiap malam Agam selalu dateng. Bisa aja nanti dia dateng lagi."

Lili menghela nafas gusar. Sebelum dia terjingkat kaget karna mendengar seseorang berbicara.

"Iya, gue dateng lagi."

Lili menoleh ke arah pintu. Dan terdapat Agam dengan senyum mengejek memandang Lili.

"Sejak kapan kamu disitu?"  Tanya Lili pelan.

"Sejak lo mikir gue bakal dateng lagi. Mungkin." Jawab Agam.

"Ayo turun. Nyokap lo nyuruh lo makan." Ajak Lili.

Lili mengangguk dan berjalan beriringan bersama Agam menuju ruang makan.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Lili.

"Numpang makan." Jawab Agam cepat.

Lili menatap Agam bingung. Lili duduk dan Agam ikut duduk di sebelahnya. Lili menyerngit bingung.

"Ibu, kok tumben masaknya banyak banget?" Tanya Lili.

"Nanti juga kamu tau." Jawab Ajeng

Sun For YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang