Chapter 1: Tabu

36 12 0
                                    

Di kamarnya yang sempit, Syaqilla tengah berkutat dengan buku matematika bekas tingkat X SMA temuannya di tempat rongsokkan, dia pelan-pelan membaca masing-masing rumus-rumus yang begitu asing di matanya.

Tapi bukannya menyerah, justru Syaqilla mencoba memecahkan berbagai rumusan di buku itu.

Ya. Syaqilla adalah orang yang cepat belajar dan cepat tanggap, tidak ada yang tidak bisa dia pahami selagi mencoba belajar sesuatu.

Semua kertas kotor bertuliskan rangkaian kata yang ia tempel di seluruh kamar adalah ulah dia yang begitu semangatnya ingin membaca sekaligus menulis sejak berumur 4 tahun.

Kamarnya yang sudah kotor menjadi lebih kotor karena antusiasnya itu, tapi dia tidak ambil pusing kertas-kertas berserakan serta ditempel disana kemari. Dinding kamarnya yang sudah keropos saja tidak ia pusingkan, apalagi kertas.

Bukan berarti Syaqilla malas merapihkan kamarnya tapi rumahnya memang seharusnya sudah tidak layak huni.

Banyak dinding-dinding keropos melebihi kamarnya diluar kamar, catnya pada luntur, genting-genting rusak dan sering bocor tiap kali hujan, tiang rumah yang mulai retak termakan usia sampai lantai yang pecah dan melebur sedikit demi sedikit dan menyatu dengan tanah.

Begitulah keadaan rumah yang Syaqilla tinggali selama 15 tahun. Tapi mau bagaimana lagi? kesulitan secara ekonomis membatasi keuangan keluarga Syaqilla untuk merenovasi rumah. Makan nasi sekali sehari saja bersama keluarga sudah beruntung sekali bagi Syaqilla.

Ditambah masalah ayahnya yang pemarah dan pemabuk. Tiap pulang selalu meminta uang bukannya mencari uang. Hal itulah yang membuat Syaqilla dan adik perempuannya jengkel setengah mati pada ayahnya, dan sifat ayahnya itu juga yang membuat ibunya kabur dari rumah meninggalkan mereka.

Ayahnya tidak tahu perjuangannya dan adiknya mencari uang diluar sana seperti apa, yang dia tahu dirinya dapat uang untuk minum-minum.

Karena terlalu banyak memikirkan ayahnya, Syaqilla menjadi tidak fokus belajar.

Syaqilla menghela nafas berat dan membanting pensil patahnya begitu saja di meja belajar kumuh nan reyotnya. Lalu Syaqilla bangun dari kursi kayu reyotnya dan berjalan keluar kamar mengambil air minum.

Disana dia bertemu adik perempuannya yang meminum air lebih dulu darinya.

"Ayu, airnya masih ada nggak?"

Ayu menoleh memperhatikan Syaqilla yang berjalan menghampirinya.

"Nggak ada kak, tadi tetesan terakhir."

"Aduh! Yaudah sini kakak masak dulu. Papa bisa marah-marah kalau nggak ada air."

Syaqilla dengan sigap mengambil ceret dari pegangan adiknya dan berlari terburu-buru ke belakang.

"Syaqilla!"

"Aduh, mampus gue!" gumamnya dalam hati ketika ingin membakar kayu.

"Iya pah!"

"Sini bentar!"

"Bentar pah, Syaqilla...er...lagi masak air..."

Syaqilla mengolah rangkaian kata untuk berbohong, tapi rasa takutnya itu berhasil mengalahkan niatnya untuk berbohong dan membuatnya melontarkan apa yang seharusnya ia sembunyikan. Syaqilla mendesis dan menyumpahi dirinya sendiri.

"SYAQILLA!"

"Iya Pah! Syaqilla datang!"

Syaqilla berlari melesat ke suara sang ayah berada. Dan disana dia melihat orang lain selain ayahnya. Syaqilla menjadi semakin ketakutan dan keringat dingin pun mulai bercucuran di wajahnya.

BIOLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang