Setelah beberapa menit berdebat membincangkan permintaan Anggi yang mengejutkan, akhirnya Syaqilla dengan berat hati memilih untuk mengikuti kemauan Anggi. Alasan dia memilihnya karena dia menganggap jawabannya itu dapat menjadi salah satu dari bagian pembalasan budinya ke Anggi.
Setelah hampir setengah jam mereka menyusuri jalan raya, akhirnya mereka tiba di sebuah pagar besar beralumunium yang tingginya sekitar hampir 6 meter. Syaqilla dibuat terpesona dengan ukiran indah pagar besar itu. Begitupula dengan dinding yang menghimpit pagar itu disusun mosaik dan membentuk sebuah seni dinding yang indah dipandang.
Saat memasukki luas halaman depan rumah pun Syaqilla lagi-lagi dikejutkan oleh berbagai macam bunga-bunga indah yang tertanam di seluruh penjuru pekarangan di halaman depan rumah itu, mulai dari bunga rose, sunflower, camelia, garberia, hydrangea, hester dan sebagainya. Bahkan ada juga bunga langka seperti middlemist camelia yang saat ini hanya ada di inggris.
Melihat begitu banyak varian bunga yang dilihatnya, Syaqilla jadi ber'wah' ria terus-terusan karena saking kagum dan terpesona melihat begitu banyaknya bunga cantik di sekelilingnya.
Anggi tersenyum sumringah memperhatikan Syaqilla yang terus-terusan memekik kesenangan memperhatikan bunga-bunga di sekeliling halaman depan rumahnya.
"Kamu suka bunga?"
"Suka banget. Beberapa pernah liat dibuku tapi beberapa tidak, tapi tetap indah dilihat- ah itu bunga favoritku!"
"Yang mana?"
Anggi bergeser dan duduk berdekatan dengan Syaqilla untuk melihat bunga kesukaan Syaqilla. Karena kaca mobil terlalu rendah, Anggi jadi kesulitan melihat bunga apa yang ditunjuk Syaqilla sampai akhirnya lebih memperdekat jaraknya dengan Syaqilla sampai dada Anggi tersentuh oleh punggung Syaqilla.
"Mana?"
"Itu loh!"
Syaqilla menunjuk sebuah bunga berkembang banyak berwarna merah muda.
"Oh, Hydrangea."
"Hydrangea? tapi aku baca dibuku itu namanya kembang bokor."
"Haha itu nama lain dari bunga Hydrangea. Bunga itu emang punya banyak nama. Tapi nama aslinya itu Hydrangea."
"Oh, kamu tau banyak juga soal bunga ya. Kamu suka bunga juga?"
"Nggak juga, mama dan kakek aku yang menyukainya. Itulah alasan mengapa halaman depan ini banyak sekali bunga yang ditan-"
Anggi menghentikan penuturannya saat menyadari posisi mereka sangat dekat sekali. Anggi mundur dan kembali ke posisi awalnya di mobil dengan wajah yang memerah menahan rasa malu.
Pak Radi tersenyum memperhatikan majikannya yang malu-malu dari cermin. Ini adalah kali pertama Pak Radi melihat sifat malu Anggi yang begitu menggemaskan.
"Kita sampai," seru Pak Radi seraya turun dari mobil hendak membukakan pintu belakang dimana ada Anggi dan Syaqilla.
"Yuk."
Anggi dan Syaqilla berjalan memasukki aula utama rumah itu, dan disana mereka disambut ramah oleh 5 pembantu yang menunggu mereka di aula utama tersebut.
"Den Anggi, silahkan. Nyonya, tuan dan tuan besar sudah menunggu anda."
Salah seorang pembantu lainnya muncul dari dalam ruangan sebelah kanannya, dia meminta dengan sopan kepada Anggi dan Syaqilla untuk mengikutinya menuju aula tengah. Seragam pembantu itu agak berbeda dengan pembantu-pembantu yang menyapanya tadi. Corak baju warna coklatnya lebih gelap dengan motif bunga transparan yang melapisi tiap bahan yang menyusuri seragam itu.
Pembantu itu tidak memakai celemek melainkan kain bersih sejenis sutra terikat khusus di kerahnya. Dari penampilan yang lebih mewah dari pembantu lainnya itu membuat Syaqilla termenung agak lama hingga kemudian Syaqilla mengambil kesimpulan bahwa dia adalah leader nya para pembantu.
Syaqilla awalnya gugup saat leader pembantu membuka pintu aula tengah, namun dalam sekejap dia kembali kagum saat dia memasukki sebuah ruangan luas berinterior klasik berhias perabotan-perabotan langka ala inggris. Syaqilla terpesona akan lampu hias besar diatas aula tengah ruang tamu tersebut.
Hiasan lampu itu begitu besar nan indah, terbuat dari lapisan kaca dengan sedikit pernak-pernik terpantul dari kaca dan membiaskan cahaya kuning yang menyinari ruangan itu, tidak begitu terang dan tidak begitu gelap.
Sofa yang berjejeran dalam ruangan itu berbentuk huruf 'U' terbalik dengan dua panjang sofa dari ruangan itu berseberangan dengan satu sofa kecil ditengah atas sofa panjang. Ditengahnya berdiri kokoh sebuah meja kayu jati berwarna hitam yang didalam meja itu terlapiskan sebuah kaca tebal berisi banyak ikan emas kecil yang bergoyang mengikuti aliran air yang berdesir disana. Bisa dibilang meja itu adalah meja multifungsi dimana bisa dijadikan tempat bersantai minum kopi dan bisa juga menjadi aquarium untuk menghibur diri.
Dari awal masuk rumah ini Syaqilla sudah sangat dikagumi oleh keindahan halaman depannya, dan sekarang dia kembali dibuat tercengang oleh aula tengah yang begitu indah dipandang, seakan dia berada dalam kerajaan inggris klasik yang begitu menyegarkan mata.
"Kami datang. Kakek, mamah, papah."
Anggi menyapa mereka yang duduk berbincang di sofa aula tengah tersebut. Anggi berjalan ditengah-tengah mereka dengan perlahan dan menyalimi hormat mereka satu per satu.
"Akhirnya datang juga kalian, duduklah."
Pria yang paling tua disana mempersilahkan Anggi dan Syaqilla duduk. Umur beliau sekitaran 68 tahun, kulit dan wajahnya sudah banyak yang mengerut namun tidak terlalu kontras hanya sedikit menunjukkan penuaan yang sekedarnya, yang terlihat jelas sekali beliau merawat kulitnya dengan baik di umurnya yang terbilang tua. Rambutnya yang lebat itu pun diwarnai oleh warna rambut buatan berwarna hitam. Hanya sedikit warna putih tersisa di sudut telinga dan bagian belakang rambut beliau. Dia adalah kakek Anggi. Juan Giovanni Marcell.
"Kalian sudah makan?"
Pria paruh baya yang menawarkan makan Syaqilla dan Anggi adalah pria tampan berumur 41 tahun. Matanya yang hangat terlindungi oleh kacamata berbentuk persegi panjang. Beliau juga memiliki bulu halus di dagu sampai jambangnya sehingga beliau terlihat begitu maskulin dan muda di mata Syaqilla. Beliau adalah ayah Anggi yaitu Vano Giovanni Marcell.
"Hai Syaqilla!"
Wanita paruh baya di sebelah Vano itu tersenyum saat menyapa Syaqilla. Syaqilla tidak kuat menahan wajahnya yang memerah malu karena begitu cantiknya wanita itu. Dirinya yang sebagai perempuan pun bingung bisa begitu kagumnya melihat wanita itu seakan dirinya terhipnotis oleh beliau. Bohong bila Syaqilla menyebut beliau biasa-biasa saja.
Meskipun fashion yang beliau pakai menunjukkan kisaran umurnya yaitu 37 tahun, namun di umurnya yang hampir kepala empat itu tidak terlihat sedikit pun bercak penuaan atau kerutan di sudut mata ataupun wajahnya. Kulitnya masih sangat kencang dan halus seperti kulit wanita diumur 27 tahunan, Syaqilla pun tidak percaya melihatnya. Seberapa banyak pengeluaran beliau untuk merawat kulitnya sampai sebagus itu?
Rambut beliau digerai lurus begitu saja sampai leher dengan poni yang beliau rapihkan berbentuk curly tengah, alisnya tebal seperti Anggi dan bibirnya juga merah merekah lagi-lagi mirip Anggi. Beliau adalah ibu Anggi. Fanny Giovanni Marcell.
Setelah Anggi dan Syaqilla duduk bergabung di sofa bersama mereka, leader pembantu yang menuntun mereka tadi kembali membawa dua gelas cangkir berisikan teh chamomile untuk Syaqilla dan Anggi.
"Te-terima kasih," seru Syaqilla sopan kepada leader pembantu itu.
Leader itu tersenyum hangat kepada Syaqilla dan kemudian dia beralih kepada Fanny yang memanggilnya di seberang.
"Narti, tolong nanti kalau Andra sudah pulang, langsung suruh dia ke ruang makan. Dari siang dia belum makan apa-apa. Dan kabarkan saya juga ya, saya akan menyusulnya nanti."
"Baik, bu."
Leader berjalan mundur keluar ruangan setelah dia sudah tidak diperlukan lagi, dan kini seluruh sorotan mata kembali ke Syaqilla kembali. Syaqilla sekejap membatu dan menelan ludah saat tatapan kasihan campur rasa penasaran terlihat jelas dimata mereka. Syaqilla jadi agak menyesal memilih mengikuti kemauan Anggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIOLA
Teen FictionAmazing cover by: @Avizer Kisah ini menceritakan seorang cewek bernama Syaqilla yang numpang hidup di rumah keluarga ningrat. Karena latar belakangnya yang buruk, Syaqilla merombak wajahnya (oplas) menjadi orang lain untuk menyembunyikan identitas a...