Chapter 2: Malam Terakhir

31 11 0
                                    

Dari ufuk timur, cahaya matahari terbit memunculkan cahayanya dan menyoroti seluruh wilayah yang menjadi bagian sorotan cahaya terang nan hangat itu.

Menandakan mulainya hari yang baru. Menjalani berbagai aktivitas seperti biasa sambil menikmati hari itu yang begitu cerah.

Berbagai sapa dan canda tawa mewarnai pagi itu, dengan senyuman dan lambaian tangan dari berbagai keluarga kecil yang pergi untuk mencari nafkah dan menimba ilmu.

Cahaya matahari itu bersinar semakin terang seakan ikut bahagia melihat orang-orang dibawahnya begitu antusias beraktivitas.

Tapi ketika sorotan cahaya itu menyinari rumah kumuh di pinggiran kali, cahayanya perlahan mulai meredup tertutup awan. Menyisakan sedikit bias cahaya yang terfokus pada satu sorotan jendela kamar dimana ada Syaqilla yang melamun dengan tatapan mata kosong bersandar di dinding keropos kamarnya.

Wajahnya begitu pucat dan bibirnya mengering kekurangan cairan. Tampilan Syaqilla begitu lusuh dan seakan terlihat tidak memiliki niat untuk hidup.

Orang diluar sana tengah bahagia-bahagianya menikmati hidup, Syaqilla justru ingin sekali mati.

Kejadian semalam meruntuhkan segala rasa antusiasnya untuk hidup. Dan jika dia mengingat kejadian itu lagi, rasa sesak di dadanya terus menyakitinya dan mentalnya yang down pun membuatnya menjerit, memekik, menangis sampai air matanya habis. Terus berulang-ulang sampai pagi tiba.

Matanya yang bengkak menandakan matanya sudah tidak mampu mengeluarkan air lagi, kini dirinya hanya bisa meringis sambil menahan matanya yang semakin lama kian sakit.

Tok...Tok!

"Kak?"

Panggilan Ayu dari balik pintu menyadarkan Syaqilla dari lamunannya. Ia berusaha membersihkan sisa-sisa air mata di pipinya, ia tidak mau membuat adiknya khawatir dengan kondisinya yang sangat kacau.

Syaqilla berusaha tersenyum menyembunyikan wajah aslinya didepan adiknya yang kini membuka pintu lusuh kamarnya.

Syaqilla pura-pura sibuk membereskan buku-buku bekasnya yang berserakan di meja kumuh miliknya.

"Kok tumben kamu bangun pagi-pagi gini yu?"

Syaqilla membuka suara, berusaha melontarkan nada ceria yang seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi masih dengan memunggungi adiknya, dia masih belum siap menghadapi adiknya dengan wajahnya yang masih belum cukup meyakinkan.

"Aku...nggak bisa tidur kak."

"Kenapa? kamu mimpi buruk?"

"Bukan...Aku..., kakak nggak apa-apa 'kan?"

Deg!

Syaqilla tertegun oleh pertanyaan yang Ayu lontarkan. Tangannya gemetaran dan seluruh tubuhnya rasanya lemas dan kebas. Hatinya juga mencelos dan tanpa ia sadari air mata sebesar biji jagung menetes mengaliri pipinya lagi.

Padahal sebelumnya ia tak mampu menangis lagi, tapi mengapa hanya karena sebuah pertanyaan Ayu yang menanyakan keadaannya membuatnya kembali menangis? apa dia membutuhkan sandaran?

'Nggak!' Syaqilla mengurungkan niatnya dan berusaha pura-pura kuat didepan adiknya. Syaqilla tidak mau adiknya khawatir, dan Ayu terlalu kecil untuk mengetahui kejadian yang dia alami ini.

Syaqilla tidak punya tempat atau teman untuk menyandar dan berkeluh kesah, yang dia punya hanya Ayu dan teman abadinya selama ini yaitu buku dan meja belajarnya.

Jika memang dia ditakdirkan untuk memendam kepedihan ini sendiri, biarkan saja dia memendamnya. Dan menjadi kotak pandoranya, merusak mentalnya setiap kali mengingat kenangan itu.

BIOLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang