Kamu bukan tidak mampu karena keterbatasan yang kamu miliki, kamu mampu karena kemampuan yang kamu miliki - Oscar Pistorius
🍁🍁
Setelah kejadian dua Minggu lalu, keadaan kembali seperti semula.
Rea kembali menjalani aktivitasnya. Berangkat kerja pukul 7 pagi. Membersihkan toko, pukul 10 mengikuti kelas parfum. Pulang kerja pukul 5 sore. Seperti biasa, jalan kaki. Karena rumahnya dekat dengan toko.
Ia juga selalu datang ke perkumpulan setiap hari Minggu. Kini, semua orang bertanya padanya. Dimana Renjun? Kenapa tidak pernah datang? Tentu Rea bingung harus menjawab apa. Ponsel Renjun masih diperbaiki, sehingga dia tidak bisa menghubungi Renjun.
Akhir-akhir ini, Rea merasa kehilangan Renjun. Sebenarnya ia bisa menemui Renjun di tempat les musik, tetapi ia urungkan niatnya itu. Renjun mungkin butuh waktu. Itu yang dipikir Rea.
Omong-omong, Renjun juga kembali beraktivitas seperti biasanya. Membuka tempat les, mengajar pukul 1 siang. Membetulkan alat musik yang rusak. Menutup tempat les dan pulang menaiki taksi.
Sikap Renjun, tetap seperti Renjun yang biasanya. Tetap tenang, diam, jarang tersenyum dan perasa setelah kehilangan penglihatannya. Dandanannya juga kembali seperti Renjun yang biasa. Memakai duffle coat warna gelap dan tas selempang di bahu. Tetapi, sikapnya semua ini datang sejak dua tahun yang lalu, saat matanya tidak bisa melihat jelas.
Ia rindu mendatangi kelas parfum, bertemu Kay dan para ibu yang selalu menyambutnya hangat dan membantunya. Rindu berjalan tergesa sampai berkeringat karena takut telat mengajar musik. Rindu bertemu Bu Kim, pak Han, Amy, Minwoo, Rany, dan semua anggota perkumpulan yang selalu tertawa bahagia bersama.
Rindu ... Rea.
Tidak bisa dipungkiri, Renjun rindu Rea. Biasanya ia bertemu dua hari berturut-turut di kelas parfum dan satu hari di hari Minggu. Jika rindu begini, biasanya Renjun mengajak Rea mengobrol di taman kota. Tapi, kini tidak bisa.
Bukannya tidak bisa, hanya saja egonya sangat besar. Ia kesal dengan perkataan Rea waktu itu. Seperti mempermainkan ketidaksempurnaannya.
Satu lagi pernyataan Rea yang membuat Renjun enggan bertemu dengan gadis itu. Ah, tidak bisa dipungkiri kata-katanya saat itu sangat membekas.
"Aku menyukaimu."
Bisa gila jika Renjun mengingat itu lagi.
🍁🍁
Suara alunan piano terdengar dari dalam ruangan yang gelap. Itu ruangan khusus les piano.
Renjun yang tengah mengunci pintu ruang kelas, mendengarnya. Perlahan, ia berjalan mendekati ruangan itu. Pandangannya menggelap karena sebagian lampu sudah mati. Renjun terbantu dengan meraba tembok.
Tangannya meraba kenop pintu dan membukanya. Suara piano itu terdengar lebih jelas. Ia tahu instrumen apa ini.
Clair de lune by Debussy
Ketika membuka pintu, pandangan Renjun semakin gelap. Ia meraba sakelar lampu dan seketika ruangan itu terang. Pandangan Renjun kembali walau sangat buram.
Suara piano itu berhenti.
"Pak Seo?"
"Jun, sini nak." Pak Seo menepuk kursi disampingnya.
Renjun duduk disamping pak Seo. "Bapak belum pulang?"
Pak Seo tersenyum menatap Renjun. Ia meraih tangan Renjun dan mengarahkannya pada tuts. "Cobalah."
Renjun terdiam. Tangannya tetap menyentuh tuts piano. Perlahan jarinya menekan tuts itu dan bersuara. Dengan cepat, ia jauhkan tangannya. "Tidak. Aku tidak bisa."
"Renjun."
"Jangan memaksaku, tolong."
"Aku tidak memaksamu, aku hanya mengabulkan keinginanmu."
Renjun tertunduk. Benar. Ia ingin bermain piano lagi. Sudah dua tahun tangannya tidak dilatih. Ia rindu. Rindu tampil diatas panggung dan mendengar banyak tepuk tangan dari penonton. Rindu melihat cahaya panggung yang menyorot padanya. Ia rindu semua itu.
"Aku ..."
"Cobalah. Kamu harus mencoba sebelum mengeluh. Atau kamu akan menyesal nanti."
Perlahan, kedua tangan Renjun menyentuh tuts. Jarinya menekan tuts dengan sangat pelan. Walaupun pandangannya buram, ia tetap mencoba.
Pelan-pelan, Renjun bisa melakukannya. Ia memainkan instrumen G Minor Bach dengan sangat pelan.
Tiba-tiba ia berhenti bermain. Renjun memegang telapak tangan kirinya. Ia memijatnya pelan. "Sangat kaku," gumamnya pelan.
Pak Seo hanya bisa tersenyum. "Cobalah dengan lagu sederhana. Perlahan tapi pasti. Ayo, kamu pasti bisa."
Tangannya mulai menyentuh tuts kembali. Ia terasa gugup. Kalau bukan karena pak Seo, ia tidak akan melakukannya.
"Tutup matamu, kamu tak perlu melihat, rasakan."
Renjun mengikuti instruksi pak Seo.
"Gunakan panca indera yang kamu miliki sekarang. Bangunkan perasaanmu. Ingat saat kamu tampil di panggung."
Renjun mulai menekan tuts. Berhenti. Ia menghembuskan napas dalam. Pikirannya masuk saat ia berdiri di atas panggung. Terlihat, tatapan penonton mengarah padanya. Dalam ingatan itu, Ian tampak bersemangat.
Renjun mulai memainkan instrumen G Minor Bach sambil menutup matanya dalam-dalam.
Perlahan, kemudian ia mempercepat temponya.
Sontak, pak Seo terkesiap mendengarnya. Ia menatap Renjun tidak percaya. Tentu, instrumen itu membutuhkan tempo yang cepat. Dan,
Renjun melakukannya!
Pak Seo melebarkan senyumnya. "Iya! Iya! Teruskan Renjun! Gunakan pikiran dan perasaanmu."
Yang awalnya tegang, kini Renjun mulai menikmati permainannya. Terlihat senyum terukir di bibirnya.
Renjun terlihat tampan memakai tuxedo hitam sambil memainkan G Minor Bach di atas panggung. Semua mata tertuju padanya. Lampu sorot hanya mengarah padanya. Tangannya lihai menekan tuts. Didalam ingatan itu, Renjun memainkan piano sambil menutup matanya.
Seperti yang ia lakukan sekarang. Renjun begitu mendalami lagu.
Pak Seo menengok kebelakang, ia mengangkat jempolnya pada seorang pria paruh baya yang bersandar di ambang pintu. Pria itu tersenyum senang.
🍁🍁
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
[NCT 00'L] Sunshine🍁 ✓
FanfictionHighest rank: #1 cerita pendek (07-08-2019) "Dan ketulusan untuk dapat mencintai segala kekurangan, menjadikan segalanya sempurna." 🌻🌻 Bagaimana caramu melihat dunia? Bagaimana caramu melihat segala kelebihan yang membuat semua orang menjadi iri d...