7

3.3K 167 4
                                    

"RP, Retinitis Pigmentosa, penglihatanku sangat buram dan menyempit seperti memakai teropong."

Renjun menelepon Rea menggunakan telepon rumah di tempat les musik. Merasa bersalah dengan kejadian kemarin. Ia rasa harus cepat-cepat memberi kabar pada Rea, takut gadis itu khawatir. Dan, benar saja.

"Penglihatanku tambah parah saat malam. Semuanya menjadi gelap. Makanya, kemarin aku tidak datang kesana. Maaf."

Entah apa yang membuat Renjun harus berbohong. Jelas-jelas kemarin ia datang ke tempat janjian.

"Kemarin, aku ke rumah sakit hanya untuk mengantarkan korban. Katanya, dia anak buah preman di sekitar situ. Tidak ada yang mau menjadi walinya, akhirnya aku saja. Aku mengurus semuanya, jadi lama."

Jelas Renjun panjang lebar agar Rea tidak marah karena kemarin tidak tepat janji. Ia juga menjelaskan ponselnya yang rusak karena ulah anak itu.

Sedari tadi, Rea hanya diam mendengar Renjun bicara. Tidak ada sepatah katapun dari mulutnya.

Renjun terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang. "Omong-omong, kemarin ... kamu tidak menunggu lama, kan?"

Rea menghentikan aktivitasnya mengelap etalase toko. "Tidak, kok. Aku langsung pulang saat mendapat telepon dari eomma."

Rea juga berbohong. Kemarin, menunggu sampai pukul 8 malam. Sial, ia menunggu seseorang yang sama sekali tidak datang ke tempat janji.

Sepertinya kedua orang itu sama-sama berbohong. Membohongi diri sendiri.

🍁🍁

Perkumpulan amal yang Rea ikuti, kini sedang berjalan-jalan di taman kota. Mereka sedang merayakan keberhasilan penjualan lukisan dan fotografi yang untung besar. Rencananya, sebagian uangnya akan mereka sumbangkan pada rumah sakit anak.

Semua orang berpencar mencari spot terbaik untuk memotret dan juga melukis. Ya, walaupun mereka memiliki kekurangan, tapi keterampilan mereka tidak usah diragukan lagi.

Ibu Kim, suaminya dan Amy sedang asik memotret pemandangan.

Amy mengarahkan Bu Kim untuk menggeser kameranya ke kanan.

"Sedikit lagi." Ujar Amy berada di samping Bu Kim.

Bu Kim mengikuti arahan itu. Sementara, pak Han menjadi modelnya. Beliau bergaya melipat kedua tangannya di dada.

"Ayo!" Kata Amy.

Cekrek

"Apa bagus?" Pak Han berjalan menghampiri Amy dan istrinya.

"Ah, bapak sangat tampan disini. Bagus sekali." Puji Amy bertepuk tangan.

"Benarkah? Hahaha aku memang tampan sejak dulu."

"Aih, kamu selalu begitu." Bu Kim memukul lengan suaminya pelan.

Rany sedang melukis pemandangan di depannya. Sebuah kursi taman dengan ibunya sebagai model yang duduk di kursi itu.

"Apa sudah?" Tanya ibu dari kejauhan.

"Sebentar lagi ibu." Rany terus saja mencampur beberapa cat dan mengaplikasikannya pada kanvas.

"Cantik sekali." Puji Minwoo, salah satu sukarelawan seperti Amy.

"Terimakasih, kak."

Sementara, Rea sedang mengamati bunga dandelion. Matanya mendekat pada bunga itu.

"Cantiknya." Gumam Rea senang. Ia meraba bunga lembut itu.

Tanpa sepengetahuan gadis itu, sedari tadi Renjun berdiri di belakangnya.

Renjun tampak berbeda. Ia tidak memakai duffle coat yang selama ini dipakainya. Kini, ia hanya memakai sweater menutupi leher berwarna coklat muda. Tas selempang, kini diganti dengan ransel hitam. Yang tidak ganti hanya gaya rambutnya saja.

Rea menegakkan tubuhnya. Ia terdiam sejenak. "Jun, kenapa diam disitu?"

Renjun tersentak. "Ah, aku hanya sedang mengamati."

Rea berbalik. "Hahaha, apa?"

"I-itu, pohon." Renjun menunjuk bayangan pohon yang terlihat dalam pandangannya. Pohon sudah menyelamatkannya kini.

Rea manggut-manggut. "Apa pekerjaanmu?" Ia berjalan mendekati Renjun yang masih diam ditempat.

"Aku mengajar musik."

"Ditempat ayah Kay? Sudah berapa lama?"

"Iya, aku baru mengetahui anak pak Seo adalah Kay. Padahal sudah lebih dari 5 tahun disana."

Rea hanya manggut-manggut mendengarnya. Ia bisa mencium wangi parfum Renjun dari dekat sekarang. Wangi, batinnya. Rea berdiri tepat di depan Renjun, tinggi gadis itu hanya sedada Renjun.

Renjun merasa gatal dengan rambut yang menghalangi matanya. Ia menyingkirkan rambut itu dan menurunkan tangannya lagi, tapi malah mengenai kepala Rea.

"Akh." Rea mengusap kepalanya.

"Rea, ka-kamu gak apa-apa? Maaf." Raut wajahnya terlihat khawatir. Tangannya hendak mengusap kepala Rea, tapi tidak sampai karena kepala gadis itu tepat dibawah tangan Renjun yang hanya menggapai angin.

"Haha iya gak apa-apa." Rea mendongak menyipitkan matanya berusaha melihat bayangan Renjun. Buram. "Renjun."

"Hm?"

"Sebenarnya, aku ... bisa melihat."

"Apa?!" Tanya Renjun tidak percaya.

Rea tersenyum. "Aku bisa sedikit melihat bayanganmu dari sini." Rea tertawa.

Raut wajah Renjun yang awalnya terkejut, kini berubah. Datar. Rahangnya mengeras mendengar suara Rea tertawa.

"Jun, hey." Rea menggapai tangan Renjun.

Renjun menepisnya. "Andrea, ini tidak lucu," katanya pelan.

Rea tertegun. Ia bingung harus mengatakan apa. "A-aku, aku hanya bercanda."

"Sepertinya kamu sudah menerima kenyataan kalau kamu buta, ya. Kekanakkan." Terlihat raut kekesalan dari wajah Renjun.

"Jun, Rea, ayo kita makan." Minwoo menghampiri Renjun dan Rea. Ia melihat Renjun dengan tatapan tanda tanya.

Minwoo meraih tangan Rea. Ia hendak meraih tangan Renjun juga agar bisa berjalan bersama, tapi Renjun sudah jalan duluan.

"Hey, Renjun!"

Rea hanya diam mendengar suara langkah kaki Renjun menjauh.

🍁🍁

TBC




Salah satu chapter lebay pas aku baca ulang lagi:v

[NCT 00'L] Sunshine🍁 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang