Bandung, 25 Juni 2019
20.15
Lelaki berbalut gamis dan peci itu duduk resah. Di sampingnya terdapat seorang perempuan dengan gamis berwarna biru, ia tengah fokus pada buku yang tengah di bacanya. Muhammad Kahfi Al-Fatih , lelaki itu berkali-laki menghela napasnya, dia bingung harus memulai pembicaraannya dari mana. Waktu semalam ini, ia masih bimbang dengan keputusannya, tiada kalimat yang bisa ia keluarkan, semua kalimat yang telah ia susun sepanjang hari ini tidak ada hasilnya sama sekali, ia tidak berani meninggalkan istrinya yang tengah mengandung, ia tak mau membuat istrinya merindu. Lelaki itu menghela napasnya sejenak, menikmati kegundahan hatinya.
Tepat ketika Kahfi menatap wajah menyejukkan milik istrinya, saat itu pula Khoirunnisa Azzahra atau kerap di panggil Anisa menatap kearahnya, seketika Kahfi membuang pandangannya, rasanya jantungnya berdetak tidak normal. Beruntung, Anisa tidak menyadari kegelisahan yang tengah ia rasakan sehingga ia bisa bernapas dengan lega walau hanya untuk beberapa menit ke depan. Kahfi kembali memperhatikan wajah damai Anisa, ia terlihat begitu manis saat berada dalam posisi seperti itu, tanpa di duga Anisa menoleh kearahnya dan tepat saat itu tatapan mereka bertemu, pada akhirnya Kahfi memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. Ini adalah waktu yang tepat pikirnya, ia tak bisa menyimpan pembicaraan ini terlalu lama, Anisa adalah istrinya, bagaimanapun juga Anisa harus tahu apa yang selama ini ada di dalam pikiran Kahfi, Anisa harus tahu dan harus menerima perpisahan ini.
“Hmm, Mi.” Memulai obrolan dengan ragu, membuat Kahfi harus berdeham sebelumnya. Seperti biasanya, jika Kahfi akan memulai obrolan dengan Anisa, Anisa pasti menghentikan kegiatannya dan memilih fokus dengan percakapan Kahfi.
“Iya Bi.”
Sejanak, Kahfi mengaruk belakang kepalanya, merasa bingung. “Ada yang mau Abi omongin.”
Melihat tingkah aneh yang dilakukan suaminya, Anisa malah terkekeh pelan, dia sengaja mengangkat alisnya, kemudian mengusap kedua pipi suaminya. “Abi kenapa sih lucu banget?” Anisa kembali terkekeh pelan.
Kahfi melepaskan tangan Anisa dari pipinya untuk kemudian di gengamnya, ia mengusap lembut tangan istrinya yang terasa lembut, kemudian mengecupnya cukup lama. “Maafin Abi ya Mi.”
“Maaf buat apa Bi?” Anisa bertanya dengan polos seolah ia tak mengerti dengan kalimat yang di keluarkan suaminya. Padahal, sesungguhnya ia merasa amat takut. Pasalnya, jauh-jauh hari sebelum mengenal Kahfi, Anisa pernah di tinggalkan orang yang ia sayang setelah beberapa saat mengucap kata maaf, yaitu Ayahnya. Meski kejadian itu telah berlalu beberapa tahun yang lalu, tetapi rasanya masih sama, sesak berkepanjangan itu membuat seluruh tubuhnya bergetar, dan sekarang Anisa teramat takut di tinggalkan Kahfi.
Kahfi diam, rasanya suaranya teredam. Ia menimbang-nimbang waktu yang tepat, menatap mata istrinya yang tampak terlihat berkaca-kaca. “Maafin Abi kalo selama ini Abi belum bisa jadi imam yang baik untuk Umi.”
Anisa melepaskan gengaman tangan Kahfi, matanya menerawang, mencari kejujuran di mata Kahfi, hanya saja semua orang tahu bahwa Anisa tidak akan mungkin bisa membaca pikiran Kahfi dan pada akhirnya yang dilakukan Anisa adalah menghela napas resah, serta menunggu Kahfi jujur padanya.
“Abi tahu ini terlalu mendadak untuk Umi, Abi tahu ini berat untuk Umi. Dan, Abi harap kalo Umi bakal ngerti.”
“Ada apa Bi? Jangan buat Umi berpikiran yang enggak-enggak.” Anisa menatap Kahfi dengan resah, jantungnya berdetak hebat.
Dengan satu tarikan nafas Kahfi menjawab.
“Abi ada tugas harus pergi ke Mesir soalnya Ustadz Zamaludin mau membangun sebuah Masjid dan Abi yang akan menjadi Arsiteknya”.
“Berapa lama Bi?” Jawab Anisa
“Proyeknya kira kira akan selesai dalam waktu 1 tahun lebih, tapi Abi janji akan pulang sebelum Umi melahirkan”. Jawab Kahfi dengan senyum yang tulus. Tapi tidak dengan Anisa yang menimbang nimbang jawabannya.
“Fii Amanillah yaa Zauji” Jawab Anisa dengan senyum yang dipaksakan.
“Umi ga marah kan sama Abi?”
“Buat apa Umi marah sama Abi?semua keputasan Umi serahkan sama Abi kan Abi Kepala Rumah Tangga”
“Tapi sepertinya Umi marah deh sama Abi?”
“Ngga Zauji,jadi mulai kapan keberangkatannya?”
“Lusa Mi soalnya mendadak tadi Ustadz Zamal nelponnya,Umi izinin ngga? Kalo ngga ngeizinin Abi buat pergi ke Mesir juga Nggapapa kok Mi”.
“Ohh yaudah boleh kok Bi,jadi besok ada waktu anter Umi ke dokter kandungan kan besok tepat Kahfi junior 6 Bulan”
“Okee “Jawab Kahfi dengan semangat
Tapi tidak dengan Anisa yang diam diam meresakan kegelisahan tentang khawatirnya kepergian Kahfi lusa nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Insya allah, aku ikhlas✓ [Trp Publisher] Bisa Di Baca Di Apk KBM
Spiritual[Masih PO] Ikhlas adalah yang Annisa lakukan terhadap Kahfi. "Insya Allah aku ikhlas jika ikhlas adalah satu-satunya cara agar membuat kita bahagia."