Bab 1

198 28 27
                                    

Ada begitu banyak rasa yang tersimpan rapat, tak pernah terjamah.

***

Sepasang kakinya melangkah perlahan, tanpa alas. Menyusuri lorong gelap dengan pencahayaan minim.

Suara teriakan terdenger, setelahnya disusul dengan tawa mengerikan. Bulu kuduk perempuan itu meremang, kedua kakinya berhenti di pijakan.

Dengan sisa keberanian perempuan itu melanjutkan langkah, mengendap-endap. Mengenaskan! Tepat di ujung lorong itu Kakak kandungnya diperlakukan tidak berperi kemanusiaan disiksa serta dilecehkan, tragis.

Perempuan itu memekik, takut luar biasa. Suaranya menggema bersamaan dengan itu dua orang pria berbadan kekar yang tadi menggeryangi tubuh Kakaknya menoleh seketika.

Mendekat...

Vio terduduk, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Jantung perempuan itu berdegup kencang dadanya terasa sesak seakan tidak ada lagi ruang untuk bernafas.

Sial! Mimpi itu hadir lagi.

Vio mengusap wajahnya kasar, mengatur nafasnya dengan susah payah. Perempuan itu beringsut dari kasur bersiap untuk mandi lalu berangkat ke sekolah.

Kurang lebih 20 menit Vio telah siap dengan seragam putih abu-abu miliknya. Ia menatap dirinya di pantulan cermin, bersiap merias diri.

Rambut panjangnya dikepang dua, setalahnya ia menempelkan poni palsu untuk menutupi dahinya. Tak ketinggalan Vio memakai kaca mata bulat sebagai pelengkap. Setelah siap ia menatap foto yang tergeletak di atas meja rias, mengambilnya lalu menatap foto itu lamat-lamat.

Vio tersenyum ia kembali menatap dirinya di cermin. Sempurna, pempilannya sama persis dengan Aura Aderasi, Kakaknya yang kini telah pergi dengan tenang. Aura memang pergi dengan tenang tetapi Vio belum bisa tenang sebab kepergian Kakaknya. Ada yang belum selasai, ada yang belum tuntas!

"Gue bakal ketemu, Kak sama dia." Vio mengelus foto Aura setalah itu keluar dari kamar.

"Bunda." Vio menghampiri Bundanya di meja makan.

Wanita berumur 45 tahun itu tersenyum lirih, tatapan matanya meredup. "Apa kamu harus seperti ini, sayang?"

Vio mengangguk. "Harus, Bunda harus terbiasa dengan penampilan baru Vio," kata Vio pelan.

"Kamu bikin Bunda ingat terus sama Aura."

"Maaf." Vio menunduk.

"Tidak apa-apa." Vanya-- Bunda Vio tersenyum menyakinkan. "ayo sarapan dulu," katanya berusaha biasa saja.

Vio melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kayaknya nggak sempet deh Bun, Vio minum susu aja." Vio mengambil segelas susu cokelat di atas meja, meneguknya sampai habis.

"Jangan lupa makan di sekolah," pesan Vanya yang dibalas anggukan oleh Vio. Perempuan itu mencium punggung tangan Vanya setalahnya mengecup kedua pipi wanita itu.

"Vio berangkat."

"Hati-hati."

"Iya."

Teka-Teki RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang