Bab 7

87 5 2
                                    

Vio menyeret kakinya agar terus berlari, satu putaran lagi hukumannya akan selesai. Vio bersyukur karena cuaca pagi ini mendung, hal itu membuat dirinya tidak terlalu lelah.

Vio membungkuk, ia mengatur nafas. Dengan langkah pelan ia memilih duduk di pinggir lapangan, hukumannya telah selesai.

Kening Vio berkerut, ia baru sadar bahwa di sampingnya duduk ada sebotol air mineral beserta secarik kertas.

Diminum ya.

Vio melirik sekitar setelah membaca tulisan di kertas itu, tidak ada siapa-siapa di sini. Jam pelajaran belum berakhir tidak ada satu siswa pun yang berkeliaran di saat jam pelajaran berlangsung. Lalu siapa yang memberinya minuman ini?

"Minumannya aman kan ya?" Vio memerhatikan botol dalam genggamannya.

Kemasannya belum di buka, Vio yakin minuman ini aman. Karena haus akhirnya Vio memilih meminumnya.

Vio tersentak, ia mendongak. Minumannya di rampas begitu saja. "Main ambil aja, nggak sopan lo Kak!"

Kevan meneguk minuman itu sampai habis, lalu ia duduk di depan Vio.

"Gue haus, abis dihukum bersihin gudang." Cerita Kevan tanpa diminta.

"Lo telat juga Kak?" tanya Vio.

Kevan mengangguk, lalu meremas botol air mineral dalam genggamannya. "Lo telat juga? pasti bangun kesiangan, kan?"

"Nggak telat, tapi ketiduran di kelas." Vio tersenyum kikuk.

Kevan berdeham. "Gue boleh tanya sesuatu nggak sama lo?" Cowok itu mengalihkan pembicaraan.

Vio mengangguk pelan.

"Sejak kapan lo punya phobia aneh itu?" Kevan menyilang kakinya, duduk bersila.

Vio membetulkan letak kaca matanya sebelum menjawab. "Apa perlu lo tahu?"

Kevan mengedikkan bahu. "Nggak perlu-perlu amat sih, gue penasaran aja. Kalau lo keberatan cerita, nggak usah."

Vio menghela nafas. "Phobia itu ada semenjak gue liat sendiri Kakak gue jadi korban kekerasan."

Kening Kevan berkerut. "Kekerasan?"

"Kekerasan fisik dan seksual, bahkan gue juga jadi korban." Nada suara Vio melemah. Bayangan kejadian itu kembali berputar diingatan.

Vio mundur beberapa langkah ketika dua orang pria itu menghampiri dirinya dan membiarkan Aura tergelatak lemah tak berdaya.

"JANGAN MENDEKAT!" Vio berteriak, tangannya terangkat ke udara.

Dua pria itu terkekeh bersamaan, menyeramkan.

"Kamu tak kalah cantik dari Kakakmu," puji salah satu pria diiringi seriangain.

Vio memekik ketika kedua tangannya di tangkap. "BRENGKSEK LEPASIN GUE!" Vio memberontak, ia meludah tepat mengenai wajah pria yang berusaha menarik bajunya.

Wajah pria itu berubah murka, tangannya melayang menampar pipi Vio. "Ternyata kamu sama saja seperti Ayahmu," katanya penuh penekanan.

Vio menangis, pipinya terasa panas juga kebas akibat tamparan keras pria itu. Kedua tangannya di tahan dari belakang, satu pria itu masih mencoba melepas pakaian yang Vio kenakan. Sekuat tenaga Vio memberontak, ia menendang brutal pria di hadapannya sampai terjatuh.

Kevan menyimak cerita Vio dengan serius, raut wajahnya tampak berubah-ubah sewaktu menyimak kata demi kata yang terlontar dari mulut Vio. Hal itu tak luput dari perhatian Vio, sambil bercerita Vio sesekali menatap wajah Kevan. Aneh, cowok itu sepertinya benar-benar tidak tahu dengan kejadian itu.

"Untung aja, waktu itu ada cowok yang nolongin gue Kak. Gue nggak tahu dia siapa, yang jelas dia udah nyelamatin nyawa Kakak dan udah nolongin gue dari dua pria brengsek itu." Vio mengakhiri ceritanya, dadanya terasa sesak ketika menceritakan kembali kejadian itu.

"Jadi, lo trauma?" tanya Kevan.

Vio mengangguk.

"Sekarang Kakak lo gimana?"

"Beberapa hari setelah kejadian itu Kakak gue meninggal," lirih Vio.

Kevan tampak bersalah, ia bertanya terlalu jauh. "Maaf Vi."

Vio tersenyum tipis. "Nggak papa Kak."

"Hujan." Vio menadahkan tangannya.

Kevan melakukan hal yang sama. "Iya."

Kevan berdiri, Vio juga.

"Lo gerah nggak Vi?" tanya Kevan.

"Iya, emangnya kenapa Kak?"

"Mandi hujan yuk." Kevan menaik turunkan alisnya.

Vio tertawa. "Nggak ah kayak bocah, lagian ini di sekolah. Abis ini harus masuk kelas." Vio mengayunkan kakinya ke sisi lapangan yang tak terkena hujan.

Kevan mengekori Vio. "Kita bolos aja abis ini, mumpung masih jam pelajaran nggak ada yang liat kalau kita hujan-hujanan."

Vio tampak berpikir, ajakan Kevan menarik. Akhirnya Vio mengangguk.

Kevan tersenyum, ia mengulurkan tangannya ke arah Vio. "Gue nggak bakal nyakitin lo."

Vio menatap ragu uluran tangan Kevan, lantas ia menggeleng tegas.

Kevan mengerti, ia berlari ke tengah lapangan. "AYO VI!" teriaknya sambil melambaikan tangan ke arah Vio.

Vio menyusul Kevan, dinginnya air hujan yang menimpa tubuhnya langsung terasa. Bersama Kevan ia berlarian di bawah derasnya hujan.

"SERU NGGAK?" Kevan berteriak agar suaranya bisa di dengar Vio.

"SERU KAK!" balas Vio.

Kevan tersenyum, sekarang posisinya dan Vio berhadap-hadapan dalam keadaan basah kuyup.

Vio melepas kaca matanya, lalu mengusap wajahnya. Vio tertegun ketika Kevan menarik ikat rambutnya. Degup jantungnya berdetak tak karuan. Kini, kepang duanya sudah terlapas. Rambut panjangnya tergerai.

"Cantik."

Hanya sebuah gerakan bibir, tetapi Vio tahu apa yang baru saja di katakan oleh Kevan.

***

12 September 2019

Teka-Teki RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang