Chapter 2

13 2 1
                                    

Di sebuah desa dekat dengan batas kerajaan. Hiduplah seorang anak muda yang tinggal di rumah sederhana. Atap tertutup anyaman daun panjang, tembok yang terbuat dari susunan batu serta tempelan tanah liat dan rangka kayu yang di design sederhana mungkin.

Saat itu waktu sudah pagi hari, sang mentari telah mulai naik dari ufuk timur, dan ayam jantan liar pun tampak berkokok dengan semangat.

“Ahh bising, pergi kau hewan jahannam. Ganggu waktu tidur saja”

Pemuda itu keluar dari rumah sambil memeluk dirinya karena cuaca pagi yang sangat dingin dimana air tampungan hujan pun terasa sedingin air es jika diusapkan di permukaan kulit wajah, kemudian pemuda itu melempar batu yang sengaja ia sediakan buat meredakan kokokan ayam tersebut. Meskipun begitu, ia tidak ingin kembali tidur karena jika ia melakukannya maka ia akan sakit kepala karena tidur berlebihan dan itu akan buruk bagi kesehatannya.

“Hoooo… Hari yang cukup menyejukkan”

Pemuda itu mengeluarkan nafas yang panjang. Di dalam posisi berdiri, ia berpikir bagaimana persediaan hari ini serta esok.

Untuk mengisi waktu luang, pemuda itu membelah kayu bakar dengan sebuah kapak di belakang halaman rumahnya. Ayunan demi ayunan ia layangkan kebawah dengan rapi membentuk garis lurus yang membelah kayu tersebut menjadi dua potongan. Habis satu, ia ambil satu dan seterusnya ia melakukan hal itu hingga kayu sudah mencukupi kebutuhannya.

Untuk makanan ia tidak ambil pusing.

Pemuda itu memasuki kawasan hutan dan memeriksa jebakan berjenis jebakan beruang yang terbuat dari besi. Kinerja jebakan itu sangat sederhana, hewan yang menginjakkan bagian tengahnya maka otomatis jebakan tersebut akan langsung menggigitnya.

Ia mendatangi titik – titik jebakan yang ia ingat namun kebanyakan tidak menangkap satupun hewan. Mungkin hewan tersebut terlalu kecil sehingga dia berhasil menghindar dari bagian gigitan jebakan. Dia tidak lupa juga utk menaruh umpan kembali yang sudah dimakan.

Dari keseluruhan jebakan, ia menemukan sebuah jebakan berhasil menjebak seekor rusa muda. Rusa itu mati karena lehernya terkena gigitan jebakan itu.

“Lumayan buat makan hari ini”

Diperjalanan pulang, ia tidak lupa juga mengambil beberapa ranting pohon berpatahan kering di atas tanah. Ranting pohon itu masih berguna buat memasak dan lain sebagainya.

Membawa pulang hasil jebakannya, pemuda itu langsung menyalakan api dengan gesekan besi armor lengan miliknya. Sambil menunggu daging matang, ia juga mencincang bumbu berupa cabai pedas supaya rasa daging lebih nikmat.

Matahari sudah mendekati puncak di atas kepalanya serta suhu pun terasa mulai panas. Pemuda itu membuka baju lapisan keduanya yang melindunginya dari udara dingin di pagi hari.

“Sudah siang kah, mungkin aku akan membeli roti di bar nanti malam buat sarapan besok.”

Malam hari…

Saat keluar rumah, pemuda itu tidak lupa untuk menyalakan obor minyak ikan buat penerangan rumahnya serta di luar untuk menerangi jalan desa. Mengunci pintu dengan gembok besar, dan segera pergi menuju bar buat beli roti.

“Weh 15 hari bulan kah, pantesan saja malam ini terlihat cerah”

Terlihat pesona malam serta lampu lilin menerangi setiap jalanan desa. Tampak setiap rumah juga menyalakan lilin di depan rumahnya demi menerangi jalanan desa.

DInginnya udara malam dan indahnya cahaya bulan ditambah pemandangan air laut membuat pemuda yang mengenakan jaket kulit dengan aksesoris bulu – bulu yang lebat sepanjang leher merasa terelaksasi.

“Hai nak Galang, mau kemana kau malam – malam begini?”

“Yah… bu. Aku pergi ke bar buat beli roti demi mengisi persediaanku besok. Kan bosan juga tiap hari harus membakar daging dari jebakanku”

“Hati – hatilah kalau begitu, sangat disayangkan di umurmu yang muda kau harus hidup mandiri.”

“Gak apa – apa kok, lagian masih ada tetangga dan ibu yang mau menolongku bukan?”

“Apa kau gak berniat untuk masuk ke pelatihan ksatria? Sangat disayangkan mengingat kau memiliki kemampuan loh…”

“Tidak, lagian aku tidak memiliki orang dalam. Sudahlah, aku mau cepat bergegas ke bar sebelum rotinya habis ntar”

Sesampainya di bar…

“Hahaha kau lihat wajahnya memerah euy”

“Kau gila, itu dagingku goblok! Jangan kau rebut seenak jidatmu, kupecahkan pala kau disini”

“Hai mbak cantik, mau ngeue denganku malam ini. Kikuk… ah…”

Suasana bar yang terlihat ramai setiap malamnya selalu membuat keributan bukan. Tapi hal itu merupakan ciri khas dari bar itu, percuma kita lerai, percuma kita larang, gak ramai bukan bar namanya.

“Yoo Galang, besok lembu ku mau melahirkan. Mau kah kau membantuku besok?”

“Terima kasih, tapi tidak karna aku sudah ada pekerjaan besok”

“Oh iya, besok hari minggu ya. Berburulah yang banyak ya Galang”

“Semoga temanku yang seorang pemburu mau mengizinkanku ikut dengan mereka. Dah ya pak tua”

Galang memutuskan obrolannya dan melanjut melangkah mendekati meja bartender kemudian duduk di salah satu kursi lalu menyandarkan tangan lelahnya di atas meja kecil.

“Ahh lelahnya, Nisa minum!”

Seorang gadis bernama Annisa menyadari kalau Galang memanggil dirinya. Namun ia bersikap panik sendiri di meja bar dan berusaha memanggil kakaknya yang sedang mengantarkan minuman pada pelanggan lainnya.

Annisa berkali – kali melambaikan tangan yang tandanya kalau ia butuh bantuan.

Kakaknya yang bernama Clarissa merespon panggilan tersebut lalu melihat ada Galang tidak jauh dari sana. Menyadari hal itu, Clarissa mengedipkan sebelah mata dan pergi menghiraukan panggilang adiknya.

Annisa merasa kesal dan mulai salah tingkah ketika mencoba mendekati tempat duduk Galang yang berada di balik meja.

“G-Galang…?”

“Akhirnya kau datang. Susu manis 1 dan kerupuk”

“B-baiklah… akan kubilang sama ibu”

“Baiklah, setidaknya antarkan aku beberapa kerupuk. Kayaknya perutku butuh kunyahan”

“Hihi masa perut bisa ngunyah”

“Apa kau barusan tertawa? Hoi aku belum pernah melihatmu tertawa, tunjukkan padaku Annisa!”

Annisa tanpa sadar merasa malu kemudian lari mengarah belakang menuju dapur.

“Ahhh… padahal aku ingin susu buatannya kayak waktu lalu. Lagian kenapa harus ibunya, susu buatan ibunya gak enak. Masa susu bau kencur anjer”

“Mungkin dia mengaduk susumu dengan sendok yang sama saat dia mengaduk jamu?”

Merespon suara yang pernah ia dengar hari lalu, Galang menoleh ke samping kanannya dimana orang tegap yang menabraknya sedang duduk sambil menikmati hangatnya susu panas.

“Hmm? Bukankah kau ksatria yang menabrakku lusa semalam?”

“Tidak kusangka semudah ini menemukanmu, nak Galang”

The NusantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang