Sekarang hari-hari Felly sudah sedikit berwarna, bukannya dahulu kelam ya, hanya saja sedikit kabur. Apalagi sekarang sudah ada Robby, sahabat sekaligus saudara bagi Felly.
Mereka dari kecil sudah berteman, kata Mamanya sih semenjak lahir, tapi Felly sudah tidak ingat lagi. Setelah lulus SMA bersama, Robby memutuskan untuk kuliah di luar negeri dan juga bekerja di sana. Felly juga pernah punya keinginan untuk kuliah bersama dengannya, tapi Felly nggak tega ninggalin Mamanya sendirian. Itu dikarenakan sang Papa yang sering keluar kota untuk urusan pekerjaannya, bahkan keluar negeri juga. Mama tidak pernah ikut, meskipun Papa mengajaknya. Felly tau sekali alasan kenapa Mama menolak ajakan papanya tersebut, ya karena dirinya. Nggak mungkinkan Mama ninggalin Felly sendirian di rumah, meskipun Felly sudah bilang tidak apa sama Mamanya.
Felly juga berfikiran kalau kuliah di luar negeri, Mama akan bisa dengan mudahnya ikut sama Papa. Tapi itu tidak selamanya bisa terwujud, karena Mama juga memiliki pekerjaan di Jakarta. Karena itulah Felly memilih untuk kuliah di Jakarta saja, dan membiarkan Robby pergi sendirian untuk mengejar cita-citanya.
Sekarang sudah hampir lima tahun. Robby kembali pulang ke Indonesia. Menurut apa yang dia ceritakan kepada Felly, dia pulang diminta sama Papanya untuk bekerja di perusahaan yang Papanya kelola.
Keluarga Robby memang kaya, dia memiliki tiga perusahaan besar yang memiliki cabang di mana-mana. Setiap perusahaan induk dikepalai oleh keluarga besarnya sendiri. Ada satu perusahaan yang dibangun dari nol oleh Papanya Robby, dan itulah yang akan dikelola oleh Robby sekarang. Keren bukan? Tapi sayang, Felly tidak memiliki rasa apapun sama dia, selain rasa teman.
Berbeda dengan keluarga Felly. Papa Felly memang bekerja sebagai kepala direktur di salah satu perusahaan. Sayangnya, perusahaan itu adalah milik keluarga besar yang diwariskan secara turun temurun, bukan hasil jerih payah Papanya sendiri. Tapi Felly tidak merasa rendah diri, karena dia yakin Tuhan tidak bakal membiarkan hambanya kesusahan. Ini saja sudah lebih dari cukup baginya.
Sudah satu bulan semenjak kepulangan Robby. Felly selalu menikmati hari-hari dengannya, mulai dari pergi malam mingguan, pergi jalan setiap akhir pekan, dan banyak lagi. Robby sering menghabiskan waktunya di rumah Felly, mungkin hanya sekedar nonton, atau ngobrol bersama orang tua Felly.
“HUUAAAAAA. GUUUEEE NGGAK MAU DIJODOHIIIN BYYY.” teriak Felly dengan kerasnya.
Sekarang ini dia dan Robby sedang berada di atap rumahnya Robby. Dulu mereka sering duduk-duduk di sini. Yup itu dulu, sebelum Robby pergi ke luar negeri. Mungkin hanya sekedar melihat langit di malam hari dan juga belajar. Dulu, tidak jarang tugas sekolah merupakan alasan yang sering keluar dari mulut Felly jika ingin ke rumah Robby, lebih tepatnya atap rumahnya Robby. Ketika dia ditanyain sama Mama mau kemana.
“Aduuh Fell. Lu kagak usah teriak juga kali. Bisa pecah nih gendang telinga gue. Besok gue harus cek ke dokter ini. Jangan sampai gue budeg karena kebiasaan buruk lu ini" omel Robby sambil mengusap-usap telinga yang sedikit berdengung. Robby sedikit risih dengan kelakuan sahabatnya ini. Dan jangan lupakan juga dengan kenyinyiran seorang Robby yang persis seperti emak-emak itu.
Sekarang ini sudah ketiga kalinya mereka duduk di atas atap ini semenjak kepulangan Robby dari Amerika. Tapi bukan untuk melihat langit maupun bintang, tapi demi mendengarkan curahan hati sahabatnya yang sedang galau akut itu.
Robby selalu mendengarkan apa yang keluar dari mulut Felly. Dia hanya diam dan hanya bisa memberikan tisu untuk menghapus air mata yang keluar dari mata teman masa kecilnya itu. Robby berusaha menjadi pendengar yang baik, meskipun sering kesal dan mencak-mencak sendiri dengan kebiasaan buruk sahabatnya. Apalagi kalau bukan teriak-teriak nggak jelas seperti tadi.
“By, mendingan lu bantuin gue deh. Lu ajak gue kawin lari kek atau apa gitu. Gue nggak mau dijodohin By, gue belum siap melepas masa-masa muda gue. Hiks hiks" Felly jeda sejenak sambil mengusap air matanya dengan tisu yang disodorkan Robby. "Apa lagi kalau gue di jodohin sama om-om yang nggak laku atau sama duda beranak satu yang ditinggal istrinya meninggal. Atau jangan-jangan gue dijodohin sama orang jelek lagi yang kagak laku dan yang belum dapat jodoh. Hiks hiks” lanjut gadis itu meracau sambil menangis. Bahkan nafasnya sudah tersengal-sengal. Robby hanya diam dan menarik tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya.
Sebenarnya dia tidak tega juga melihat Felly yang seperti ini. Setau dirinya Felly merupakan sosok gadis yang kuat dan juga pantang menyerah. Tapi sekarang Robby tidak menemukan itu lagi dari sosok Felly. Yang ada sekarang hanyanya sosok rapuh dan putus asa. Bahkan terlintas di pikirannya mengenai yang diucapkan Felly tadi. Kawin lari? Apakah Felly yakin dengan ucapannya? Jika pun iya, Robby tidak mungkin melakukan itu. Itu sama saja dengan bunuh diri.
“Lu yakin mau kawin lari sama gue? Ntar gue jadi amukan Om Hermawan lagi. Tau-taunya ngajak anaknya kawin lari. Apa lagi bokap gue, bisa mati digantung gue Fell jika dia tau” jelas Robby, nggak kebayang olehnya gimana jadinya jika benaran dia membawa kabur anak gadis dari teman akrab Papanya tersebut. Ngeri.
“Yeee. Siapa juga yang mau kawin ama lu. Gue ralat ucapan gue tadi. Tapi gimana nasibnya suami idaman gue, jika benar gue dijodohin sama Om-om atau duda beranak satu? Kan gue nggak ridho dunia akhirat By. Hiks hiks” ternyata Felly masih menangis.
“Hmm kalau gue boleh tau emang suami idaman lu itu kayak apa sih?” mendadak Robby jadi kepo-an. Mungkin juga ini alasan Robby untuk mengalihkan pembicaraan.
“Tinggi, putih, idung mancung, cakep, dan badan ada roti sobeknya, kurang lebih seperti Sehun EXO (Idolanya si Author. Wkwkwk-) dan yang pasti bukan kayak lu. Jelek, tidak ada ganteng-gantengnya” eddah, kata-kata si Felly pedas benar. Di akhir kalimatnya Felly mencibir ke arah Robby. Apa benar dia sejelek itu? Setaunya dia, dirinya cukup populer juga kok di kalangan wanita. Termasuk di Amerika sana. Bahkan banyak juga bule-bule yang menaruh hati padanya. Bukan membanggakan diri, tapi emang itu kenyataannya.
“Ngimpi aja lu. Bangun wooy, banguuun. Mana ada yang kek gituan mau sama lu, gue aja belum tentu mau apa lagi yang kek gituan. Mendingan lu ke dokter sarap deh, biar diperiksa. Mana tau ada satu tali sarap lu yang putus. Gue ganteng gini dibilang jelek? Eddah, sekalian lu ke dokter mata gih. Biar diperiksa tu mata. Barang kali aja lu rabun” dan sekarang giliran kata-kata Robby yang sedikit pedas. Masih Ingatkan kalau Robby itu orangnya nyinyir? Ya ini contohnya. Tapi itu sudah sering terjadi di antara mereka berdua, bahkan sudah dari belasan tahun yang lalu.
“Bodo” ucap Felly sedikit ketus. Mengangkat pantatnya untuk berdiri.
“Lu mau kemana?” tanya Robby heran.
“Pulang. Ngapain lu nanya-nanya gue? Lu mau ikut gue? Jangan harap” Felly menatap Robby dengan mata melotot.
“Yaelah bocah. Lu lagi ada tamu? Ngegas mulu bawaannya. Siapa juga yang mau ikut. Ogah gue” Robby ngedumel sendiri setelah mengetahui Felly melangkah pergi. Entah kenapa dia merasa dirinya seperti bocah belasan tahun saja jika itu berhubungan dengan Felly. Sudah lama rasanya dia tidak bersikap seperti ini. Di Amerika Robby merupakan tipikal laki-laki kaku. Tidak mudah bergaul, apalagi dengan yang namanya wanita. Dirinya begitu cuek, dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Tapi berbanding terbalik jika dirinya dihadapkan dengan Felly. Sikap aslinya keluar, dan itu semua hanya berlaku ketika dia bersama Felly. Felly yang kekanak-kenakan. Menurutnya. Entah kapan gadis itu dewasanya?
“BUKAN URUSAN LU KAMPREEEET” ternyata gadis itu masih bisa mendengar dan si Robby terkejut setengah mati. Bukan karena kata-kata yang keluar dari mulut Felly, tapi teriakannya yang begitu keras. Mungkin satu kompleks bisa dengar. Tuh kan. Dasar Felly.
~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Menua Bersamamu
Random"Apa?? Dijodohkan?" pekik seorang gadis yang memekakkan telinga. "Felly nggak mau Pa, Ma. Apalagi pakai acara jodoh-jodohan begini. Pokoknya Felly nggak mau, TITIK" gadis itu pun berlari ke arah tangga, dan naik ke lantai dua. Tidak lama terdengar p...