3. Robby: Pupus

4 0 0
                                    

Setelah pulang dari Amerika aku belum sempat menemui sahabatku dari kecil. Sahabat yang selalu aku rindukan ketika aku berada jauh di negeri orang. Aku terpisah dengan dia ketika kami menyelesaikan sekolah SMA.

Aku memutuskan kuliah di luar karena permintaan Papa. Papa ingin aku meneruskan usahanya kelak, dan aku dipaksa belajar di luar mengenai dunia bisnis.

Jujur aku berat berpisah dengan sahabatku ini. Entah kenapa aku sudah menaruh perasaan sama dia, mungkin semenjak aku SMP dulu. Tapi aku menahan perasaanku, karena aku sadar aku belum pantas untuk dia waktu itu. Berbeda dengan sekarang. Sekarang aku sudah bekerja, dan sudah mandiri dengan usahaku. Walaupun hanya meneruskan usaha dari Papa.

Belum sempat aku menemuinya, dia melihatku terlebih dahulu. Kuyakin saat itu dia baru selesai melakukan lari pagi. Ternyata kebiasaanya masih sama. Sama seperti dulu. Apakah sekarang dia masih cerewet? Masih manja? Suka teriak-teriak nggak jelas? Entahlah. Aku rindu. Aku merindukan itu semua. Semua yang ada pada dirinya.

“Ehem, hy By,” dia menyapaku. Saat ini aku membelakanginya karena lagi mencuci mobil. Aku kaget ketika membalikkan badan. Ternyata dia, orang yang sangat aku rindukan selama ini ada di belakangku. Dia adalah penyemangatku ketika aku memutuskan untuk mengejar impianku.

Aku hanya diam terpaku, menatap sosok yang ada di depanku. Dia terlihat benar-benar berubah dari terakhir kali aku melihatnya dulu. Mungkin lima tahun yang lalu. Ternyata dalam waktu lima tahun itu dia bisa berubah sangat jauh seperti ini. Tambah cantik, tambah tinggi, bahkan sekarang badannya sedikit berisi dan memiliki pipi yang sedikit chuby. Rambutnya panjang terawat yang saat ini diikat kuncir kuda. Bahkan aku sempat ragu kalau yang di depanku ini bukanlah dia. Tapi pada akhirnya aku percaya bahwa dia adalah sahabat yang sangat aku rindukan ketika aku merasakan ada tangan yang menjitak kepalaku sedikit keras. Aku mengaduh karena merasakan sedikit sakit di kepala. Ternyata dia masih ingat kebiasaan buruknya dulu.

Setiap kali aku bengong dan fikiranku kemana-mana dia selalu menjitak kepalaku. Katanya biar aku kembali normal. Emangnya aku gila apa? Entahlah. Sahabatku ini memang sesuatu sekali.

Aku mengikuti Felly menuju rumahnya. Entah kenapa aku merasa kengen sekali dengan sahabatku yang satu ini. Sudah kubilang kan, kalau aku kangen semua yang ada pada dirinya. Setelah menyapa Mamanya terlebih dahulu, aku mengikutinya masuk ke dalam kamar, tentunya kamar Felly.

Dia sempat mengusirku dan menyuruhku untuk keluar. Aku tidak peduli dengan apa yang dia bicarakan, dan langsung merebahkan diri di atas kasurnya yang empuk ini.

Kamarnya masih sama seperti terakhir aku ke sini. Dari wanginya, dan di dindingnya masih terpajang foto-foto kami waktu kecil dulu. Aku kembali teringat masa-masa kami masih bocah, dan polos-polos itu. Aku juga melihat koleksi novelnya yang bertambah banyak itu. Hanya saja sekarang ini dinding kamarnya dipenuhi oleh poster-poster artis Korea yang tidak aku ketahui siapa mereka.

Yang jelas aku melihat ada tulisan EXO di beberapa gambar. Ternyata temanku ini telah banyak berubah dan belum juga dewasa tentunya. Masih kekanak-kanakan. Aku hanya bisa tersenyum melihat hobi barunya tersebut.

Awalnya aku merasa senang dengan kepulanganku kali ini. Bisa kembali menemui sahabatku. Bukan hanya itu, tapi sudah ada terniat untuk melakukan suatu hal yang lebih. Ya, aku berniat untuk melamar sahabatku itu dan menjalin hubungan yang lebih serius lagi dengannya. Tapi nyatanya, rasa bahagia itu seketika hilang, harapanku pupus. Ketika aku mendengar kabar bahwa dia, orang yang aku kagumi secara diam-diam itu sudah dijodohkan.

Semangatku yang menggebu-gebu itu runtuh seketika. Aku merasa duniaku sudah berakhir. Aku tidak bisa lagi meraihnya. Aku sudah kehilangan kesempatan. Bahkan aku belum memulai, tapi sudah gagal. Sepertinya tidak ada lagi celah sedikitpun untukku masuk. Semuanya sudah berakhir.

Aku tidak tahu, apakah aku yang terlalu pengecut untuk mengungkapkan semua perasaanku sehingga orang lain yang mendahuluiku? atau apa. Yang jelas sekarang ini aku berusaha menyembunyikan perasaanku kepadanya. Aku selalu berusaha untuk ada setiap kali dia membutuhkanku, dan selalu menjadi teman baginya. Ya, hanya sebatas teman tidak lebih. Meskipun aku sakit setiap kali bersamanya jika mengingat kalau suatu saat nanti dia akan menjadi milik seseorang, dan seseorang itu bukan aku tapi orang lain.

Aku tahu dia tidak menyukai perjodohan ini. Sepertinya dia kehilangan semangat hidup dan juga rapuh. Kemana Felly yang dulu aku kenal? Kemana Felly yang dulu ceria? Aku rindu. Aku berusaha untuk membangkitkan semangatnya dan menemaninya ke manapun dia ingin pergi. Aku berusaha selalu ada untuk dirinya dan juga sedikit beharap jika dia akan membatalkan perjodohan ini, bagaimanapun caranya. Egois memang, tapi aku nggak kuat melihat dia seperti ini.

Sekarang hari-hariku kulalui bersamanya. Jujur aku merasakan bahagia sekaligus sedih secara bersamaan. Aku bahagia dia tidak melupakanku, dan sedihnya adalah suatu saat nanti aku akan kehilang dirinya dan harus merelakan dirinya untuk orang lain.

Kenapa harus dengan orang lain dia dijodohkan, kenapa tidak denganku saja? Terkadang aku meratapi nasibku kepada Tuhan. Tapi apa boleh buat, aku tidak bisa merubah apapun dan hanya bisa menerima apa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan.

“Itu semua keputusan kamu Fell. Kamu menerima atau tidaknya perjodohan itu” untuk kesekian kalinya dia menanyakan hal yang sama padaku. Boleh jujur, aku maunya kamu menolak Fell. Batinku.

“Aku tidak bisa menolak By. Kamu tau sendirikan Papa iu orangnya gimana? Tapi hatiku juga ngak bisa nerima” lagi-lagi dia menangis dalam dekapanku. Mungkin ini akan jadi dekapan untuk terakhir kalinya, sebelum dekapan ini digantikan oleh orang lain.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menua BersamamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang