Prolog

168 9 2
                                    

Binar

Ada banyak hal yang berada di luar kendali manusia, seperti ketika mas-mas langganan bakso malang yang sakit padahal hari itu kamu sedang ngidam bakso, atau bagian belakang mobil yang penyok ditabrak orang padahal kamu sudah hati-hati di jalan. Sore ini keterbatasanku sebagai manusia berupa melepas Sada ke Selandia Baru. Mau ternak domba, katanya. Aku nggak bisa ikut.

"Abis kalo gue ngomong mau S2, gue kayak menabur garam di luka lo, Nar," kata Sada sebulan yang lalu. Nggak salah, sih, tapi nggak bener juga.

Sada ini selayaknya pria idaman para wanita. Kalau kehebatannya dihitung pakai jari kayaknya butuh lima orang. Dua tahun yang lalu Sada lulus dengan gelar Mahasiswa Berprestasi satu fakultas, ditambah lagi jadi wisudawan yang menyampaikan pidato di hari kelulusan di Sabuga. Belum, belum selesai. Sada juga baiiiiiiik banget orangnya. Bertanggungjawab, padahal belum pernah menghamili anak orang. Pokoknya apapun yang bisa ditanggungjawabi, dia tanggungjawabi.

Di lingkaran pertemanan kami, Sada ini semacam leader of the pack. Tapi kasihan juga, sih, apa-apa larinya ke dia. Termasuk waktu kucing kostnya Haikal hilang seminggu, Sada yang repot kesana kemari. Padahal itu kucing memang Haikal titip di rumahnya sendiri. Heran, Sada stok kesabarannya beli dimana, ya.

Ngomong-ngomong 'leader of the pack', lingkaran pertemanan kami berisi tujuh orang dan punya nama 'Serigala Macan Tutul'. Keren banget, 'kan. Padahal nama sangar itu cuma kamuflase anak-anak bobrok yang kalau bercanda kadang-kadang otaknya nggak dibawa. Isinya ada Sada, Haikal, Yohan, Sém, Arin, Dimy, dan aku.

"Ya udah nggak usah balik lagi, sih, Dim!"

"Kal, nggak bisa! Ntar kalo gue nangis liat Sada naik pesawat siapa yang mau nutupin mata bengkak gue!" Dimy dan Haikal masih memperdebatkan kacamata hitam Dimy yang ketinggalan di hotel sejak setengah jam yang lalu. Dimy kekeuh mau kembali lagi ke hotel, tapi kakinya masih saja berjalan mengikuti anak-anak lain yang jalan duluan, "Lagian itu Chanel, Kal. Lo gak paham kan?"

"Sém, lo bawain tas Sada yang isinya obat-obatan kan?" Suara Arin yang seringnya cemas nggak beralasan terdengar juga sampai barisan depan. Di depan Haikal dan Dimy yang masih repot tapi pasrah, ada Arin, Yohan, dan Sém. Ketiganya begadang tadi malam, memastikan barang-barang Sada sudah terbawa semua.

Kami bertujuh jalan berbaris melewati kepadatan Bandara Internasional Ngurah Rai. Sebenarnya bisa saja Sada pergi dari Bandara Soekarno Hatta di Tangerang, tapi katanya kalau dari Bali bisa lebih efisien tanpa transit. Sekalian liburan bertujuh.

"Lo kalo makan jangan sembarangan ya, Sa,"

Sada tertawa, "Sembarangan gimana deh, Nar. Mau sengaja sembarangan juga nggak bisa lah, nggak ada tukang cilok juga di sana."

"Maksud gue—"

"Cari yang halal. Iya, iya, Binar-ku yang cantik," kata Sada sambil menarik kepangan rambutku. "Lo juga jangan lupa pakai jaket kalau pergi-pergian. Nggak usah sok sehat, udah renta."

"Bang Sad, kalo pulang bilang yak. Hehehe," Yohan muncul dari kiri Sada, "Mau buka jastip gue. Hehehe."

"Oh iya, Sa. Sumpah, gue nitip Lush, ya, jangan lupa." Tambah Arin.

"Iya, iya. Bilang ke si Sém, tuh. Dia janji mau nengokin gue, 'kan."

Sém yang sedari tadi sibuk dengan smartphonenya mendelik ke arah Sada, "Dih, gue mau nengokin neng-neng New Zealand. Bukan lo."

"Di NZ banyakan dombanya kali daripada neng-nengnya. Ngaco lo," kata Dimy sambil mendorong punggung Sém.

Sebelum boarding, Sada masih sempat memberi wejangan-wejangan recehan, "Han, kurang-kurangin lemes lutut kalo kaget," dan, "Sém, lo udah nggak PHP-in anak orang lagi, 'kan?" dan, "Pastiin kostan dikunci ya, Rin, kalau mau tidur siang," dan, "Gue gak bisa bantuin lagi kalo kucing lo ilang, Kal, jagain lah. Di-KB sekalian kalo bisa," dan, "Dimy, kurang-kurangin emosian sama abang gojek, ya."

SemestaWhere stories live. Discover now