2. Rumah

105 10 2
                                    

Semesta

Pukul 7 malam, gue dan anak-anak curut sudah sampai di Bandung. Perjalanan dari Bali ke Bandung seperti jumlah waktu tidur siang gue, malah lebih sedikit kayaknya. Di rumah, mami ternyata sudah masak makan malam, jadi kami nggak diperbolehkan mampir sana-sini dulu. Padahal di pesawat gue sudah membayangkan lelehan cokelat roti gempol, dicampur kacang, ditambah keju, tapi oke, masakan mami harus paling utama.

"Mam, tuh, Bang Semesta matanya kemana-mana waktu di Kuta," ujar Yohan dari depan televisi. Matanya masih melekat ke arah layar, menonton Persib. Tangannya sibuk menyolek-nyolek nasi di atas sambal terasi.

"Biarin, Han. Asal otaknya masih di tempat aja," balas mami sambil mengeluarkan isi tas gue, mencari oleh-oleh. "Abang, mana lagi?"

"Lah, cuma itu tadi. Kain bali." Gue cekikikan.

"Arin bawa, mam!" Suara tersebut berasal dari arah tangga. Arin turun sudah dengan baju tidur dan rambutnya yang terbalut handuk. Gue, sih, nggak mikir apa-apa, ya. Cuma gue yakin kayaknya banyak banget cowok yang mau tukeran tempat sama gue, yang malah bikin gue mau marah karena pasti pada mikir yang enggak-enggak. Waktu kuliah, gue sering banget mengalaminya setiap kali gue menunggu Arin selesai kelas. Rasanya ingin gue colok mata cowok itu, satu-satu.

Sementara para wanita dengan berisiknya ngobrolin skincare yang tadi Arin bawa buat mami, Haikal dan Yohan tetap asyik di depan televisi. Sebetulnya gue ingin banget ikut nonton, tapi gue tahan-tahan. Gue nggak bisa nonton Persib, coy. Darah Persija gue mengalir dari ubun-ubun sampai ke ujung kuku kaki. Di saat-saat seperti ini, gue rindu Sada. Biasanya dia nemenin gue leyeh-leyeh di lantai atas, ngobrol ngalor-ngidul. Sekarang mungkin para domba di Selandia Baru lagi nyiapin rencana untuk menyambut Sada, gembala baru mereka.

"Masa kacamata Chanel Dimy ketinggalan di hotel, mam." Buset, masih aja, si Dimy.

"Ya ampun, belum juga sehari ditinggal sama Sada. Kok bisa?" tanya mami. Sekarang doi sedang mencoba-coba daster oleh-oleh dari Dimy. Ya Allah, centil banget.

"Karena SESEORANG."

Gue tertawa melihat gelagat Dimy yang sedang duduk di kursi makan. Pokoknya susah lah kalau berurusan dengan Dimy. Mau lo yang bener juga, ujung-ujungnya tetap lo yang salah.

"Ih, kan gue udah minta maaf, Dim," Haikal mengalihkan matanya dari televisi.

"Eh, gue nggak nyebut nama, ya."

Haikal menghela nafas kencang, "Bodo amat, dah. Nenek sihir."

"Hah, apa lo bilang?"

"Dimy cantik banget kalau dilihat dari sini, itu kata si Haikal," celetuk gue.

Dimy dengan mukanya yang nggak santai, menoleh ke Arin, "Emang iya, Rin? Perasaan tadi dia ngomongnya nggak banyak-banyak, deh."

Oon. Gue menggeleng-gelengkan kepala sambil menaiki tangga menuju kamar atas. Gue senang ketika keadaan rumah seberisik ini. Biasanya cuma ada gue dan mami. Berisik juga, sih. Berisiknya sama teriakan mami karena gue isengin terus. Cuma lain lagi kalau ada Serigala Macan Tutul. Tapi besok mereka sudah akan pulang ke kandangnya masing-masing.

Di atas sofa yang menempel di jendela koridor lantai atas, gue melihat seseorang duduk. Gue sempat kaget sendiri sampai gue menyadari kalau sosok itu berambut pendek sebahu. Masih orang, kok. Masa iya, kuntilanak potong rambut.

 Masa iya, kuntilanak potong rambut

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SemestaWhere stories live. Discover now