Binar
Anggota geng Serigala Macan Tutul minus Sada sudah duduk manis di ketinggian 50.000 kaki menuju Bandung. Lewat jendela pesawat bisa kulihat matahari senja di atas pantai Kuta. Sudah lama sekali aku nggak memandangi matahari terbenam dengan tujuan hanya untuk memandangi. Biasanya sinar keemasan itu jatuh di atas dasbor mobil, menemani aku melewati jembatan Pasupati sepulang kantor. Kecuali kemacetan, kayaknya nggak ada yang bisa aku jadikan bahan karya sastra dari momen-momen itu.
Di sebelahku ada Sém yang tertidur pulas, berselimutkan kain Bali yang tadinya mau ia hadiahkan untuk maminya sebagai oleh-oleh. Wajahnya terpapar sisa sinar matahari, sebagian tertutupi oleh rambutnya yang sudah memanjang. Sém tampak seperti manusia pada umumnya kalau sedang tidur. Biasanya dia kayak toa.
Aku masih ingat pagi hari di bulan September 2013. Hari pertama dimana Sém mulai menginjakkan kakinya di garis kehidupanku, dan sejak saat itu sepertinya hidupku nggak ada rapi-rapinya.
Pagi itu aku berdiri di depan rumah kost di Jalan Bagus Rangin sendirian, memastikan berkali-kali apakah aku memang berada di alamat yang sama dengan yang tertera di layar handphone-ku. Di bawah alamat itu tertera tulisan; Sém 2013 0812122534**
Dari dalam rumah kost keluar seorang lelaki yang sepertinya beberapa tahun lebih tua dariku, membawa ember dan seperangkat alat cuci mobil.
"'Misi, a," panggilku setengah berteriak dari balik pintu pagar, "Tau yang namanya Sém, nggak?"
Laki-laki tersebut mendekat dan membuka pintu pagar, "Sém? Mahasiswa baru?"
"Saya?"
"Bukan, si Sém, dia mahasiswa baru, bukan?"
"Harusnya iya."
"Oh, masuk. Ke atas aja. Kamar pertama di kanan."
Aku menelan ludah. Yang bener aja. "Nggak apa-apa? Saya udah telepon, tapi nggak diangkat-angkat."
"Nggak apa-apa. Gedor aja pintunya. Berisik banget dia tadi malem."
Di depan pintu kamar kost nomor 21 aku mematung lagi. Ini semua gara-gara hari Jumat kemarin aku melewati kelas mata kuliah Kewirausahaan karena harus melaksanakan tugas untuk membeli printilan ospek fakultas. Ternyata di pertemuan pertama mata kuliah itu mahasiswa diharuskan membuat kelompok proyek satu semester. Karena isi kelasnya bercampur dengan mahasiswa baru fakultas lain, kelompoknya juga diacak. Nah, sisa kerjaan yang belum selesai ini akhirnya dilimpahkan kepada aku dan Sém, yang ternyata juga nggak masuk kelas Kewirausahaan di pertemuan pertama.
Aku sama sekali nggak tahu bentukan Sém-Sém ini seperti apa. Di grup chat, Sém pasang foto kuda lagi nyengir. Aku juga nggak tau nama aslinya Sém. Aku cuma tahu namanya Sém, anak SBM 2013, temannya Sada yang ada di grup dan ketika itu sama-sama nggak aku ketahui bentukannya seperti apa.
"'Misi." Tok, tok, tok.
Nggak ada jawaban.
"Permisi!" Panggilku lebih keras. Kali ini suara ketukannya; Jedug, jedug, jedug.
Nggak ada jawaban juga.
"Permisi, PAKEEET!" JEDUG, JEDUG, JEDUG.
Terdengar suara furnitur berbenturan dan barang-barang jatuh dari dalam. Semoga kamar nomor 21 ini memang benar kamar Sém, karena kalau enggak berarti aku malu-maluin.
Pintu kamar kost terbuka. Dari dalam muncul laki-laki dengan rambut hitam pendek yang berantakan. Matanya masih setengah terbuka, kayaknya sisanya tertinggal di mimpi. Sambil memperhatikan mukaku, dia menjulurkan tangan, "Bola... mbak?"
YOU ARE READING
Semesta
FanfictionBanyak hal yang berada di luar kendali manusia. Semesta, salah satunya.