RIDLOMU "IBU"

11 1 0
                                    



Dia seorang anak laki-laki yang sekolah di Pondok Pesantren, ketika menghadapi detik-detik kelulusan ia mempersiapkan dirinya dengan belajar agar dalam ujian nanti ia bisa mengerjakannya. Setelah kelulusan tiba Iwan tersenyum bahagia karena dirinya lulus dengan nilai yang memuaskan sehingga dirinya berniatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, Iwan sangat menginginkan menjadi dokter sehingga suatu hari ia haturkan keinginannya pada sang Ibu. Sang Ibu dengan wibawanya menerima dengan baik.


"Ibu....., saya ingin kuliah?"


"Memangnya kamu inginkuliah dimana?"


"Saya ingin kuliah difakultas kedokteran Bu....."


Ibunya tersenyum mendengar penuturan anaknya. Sang Ibu menyetuui dan ia mempersiapkan semuanya. Yang pertama ia sowan kepada pak Kyai di Pondok Pesantren untuk boyong dengan alasan mengejar pendidikan. Sang Kyai mengijinkannya, sehingga ia pergi mendaftarkan diri di fakultas kedokteran, walaupun Iwan Aliyahnya jurusan Syari'ah Islam ia paksakan untuk masuk, kegiatan tes pun berlangsung berbagai peyunjuk Iwan lakukan, tapi sayang Iwan tidak lulus dalam ujiannya, tapi Iwan tidak patah semangat dan terus mencari suatu pendidikan yang disenanginya. Pada suatu hari ia berkeinginan ke fakultas hukum, sebagai seorang anak Iwan musyawarahkan keinginannya kepada sang Ibu.


"Ibu, sekarang saya menginginkan untuk kuliah di Fakultas Hukum."


"Kenapa harus Fakultas Hukum nak....?"


"Saya ingin sekali dibidang ini Bu......"


Mendengar keinginan putranya sang Ibu menghela napas, pikirannya memikirkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh putranya.


"Ibu sarankan jangan ke Fakultas Hukum."


"Kenapa Bu.....?"


"Jika kamu masuk Fakultas Hukum dan kamu menjadi pengacara."


"Tapi kenapa Bu.....? dan apa alasannya?"


"Kekhawatiran Ibu sangat beralasan nak... ia kalau dirimu kuat itu tidak akan terjadi apa-apa, tapi kalau dirimu tidak kuat apa yang akan terjadi"


".............."


"Anakku, ketika pengacara ada dalam suatu masalah dan dirinya hanya pandang uang yang salah dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan." Sejenak sang Ibu berhenti dan meneruskan perkataannya setelah melihat Iwan yang diam mendengarkannya.


"Iwan, bukan hanya pengacara jadi kekhawatiran Ibu, hakim pun sama, Ibu takut tidak bisa berbuat adil, karena hukum bisa dibeli."


Iwan hanya menganggukkan kepala tanda mengerti, walaupun begitu ia tetap bermusyawarah dengan Ibunya jurusan apa yang pantas dan sesuai dengan dirinya dan juga bakatnya.


"Terus sekarang saya ambil jurusan apa Bu....?"


"Ambillah Tarbiyah." Sahut Ibunya.


"Maaf Bu...., saya tidak suka jurusan itu." Keluh Iwan.


"Anakku, semua keinginanmu adalah harapanmu, itu semua langkahmu untuk menjadi orang yang sukses, Ibu tidak melarangmu nak...., tapi Ibu hanya memilih yang terbaik untukmu."


"Saya akan mengambil jurusan Ekonomi."


"terserah kamu Iwan, tapi Ibu masih menghawatirkanmu." Iwan diam tidak menjawab, melihat raut wajah Ibunya yang khawatir ia bertanya.


"Ada apa Bu.....?"


"Tidak apa-apa anakku."


"Kenapa Ibu khawatir?"


"Pilihanmu adalah yang terbaik untukmu selama niatmu baik."


Dengan keyakinannya akhirnya Iwan memutuskan untuk kuliah ambil jurusan Ekonomi Syariah di Malang menjadi mahasiswa, dengan berbagai kegiatan ia ikuti dengan senang hati. Melihat kesenangan dan kabar kegembiraan Iwan Ibunya hanya mendoakannya dari rumahnya di Lumajang, tapi hati sang Ibu masih khawatir atas apa yang di terjuni oleh anaknya. Iwan menyadari kkeadaannya, ia bukan anak orang kaya yang tinggal nelfon orang tuanya apa yang dipinta mudah di Lumajang, ia banyak melakukan hal untuk mendapatkan uang.


Iwan melakukan pekerjaan mengambil sandal dari toko sandal dengan jumlah yang cukup banyak, sandal tersebut di taruh ke pertoko dan warung-warung, dari hasil penjualan sandal inlah ia bisa meringankan beban kuliahnya. Beberapa tahun ia menggelayutinya menjual sandal iwan juga mengajar di SMP 1 Malang, rata-rata muridnya kebanyakan anak pejabat yang aman uang SPP nya perbulan Rp. 100,000. Sampai Rp. 200,000. Ia jalani pengajaran disana sehingga terbesit dalam benaknya ia tidak begitu menyukai sekolah tersebut entah apa alasannya. Iwan mengundurkan diri dari SMP 1 Malang dan bekerja di Perbankan Malang. Ketika kerja disana ia teringat pesan Ibunya.


"Anakku, Ibu sayang kamu nak, jika kamu kuliah ambil jurusan Ekonomi, setelah selesai pendidikan tidak mustahil perginya ke perbankan, Ibu khawatir kamu tidak kuat disana."


"Tidak kuat bagaimana Bu.....?"


"Disana kamu akan menghitung uang banyak, melihat uang banyak, kalau kamu tidak kuat apa yang akan terjadi anakku....." jelas sang Ibu. Iwan hanya diam termangu melihat nilai jumlah uang yang begitu banyak.


"Benar kata Ibu, seandainya aku tidak kuat mungkin kecurangan akan ada." Gumam dalam hatinya.


"Ya...Allah....sabarkanlah hamba-Mu ini, tolonglah hamba, jauhkanlah dari bisikan-bisikan syaithan." Ia berdoa atas semua apa yang ada dihadapannya, tidak beberapa lama kerja di Perbankan Malang ia merasa tidak nyaman sehingga ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya, walaupun pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliahnya ia merasakan ketidak nyamanan dalam hatinya, kini Iwan lulus dari kuliahnya dan menyandang gelar S1 Ekonomi Syari'ah Malang. Setelah menyelesaikan studinya dan wisudanya ia kembali pulang ke Lumajang, sampai diLumajang ia terpanggil mengajar di Madrasah Aliyah di Pondok Pesantren tempat ia mondok dulu. kesempatan baik ini ia tidak buang dengan sia-sia. Iwan menerima panggilan itu dengan senang hati, sebagai seorang sarjana ilmunya tidak boleh dibekam dalam dirinya, Iwan ingin membagi ilmu yang pernah didapatnya baik ketika mondok ataupun di Malang dan ia rasa inilah kesempatannya mengambil barakah, tabarrukan pada Kyai yang telah memberinya ilmu.


Selama mengajar MA di Pesantren Iwan tidak pernah merasakan ketidak nyamanan, ia hanya merasakan kedamaian, enjoy dan nyantai dalam mengajar, walaupun sarana prasarananya di MA tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi, ini bukan suatu kekurangan yang dirasakan Iwan, tapi suatu hal yang harus disyukuri. Iwan selalu ingat kata-kata Ibunya.


"Ambillah Tarbiyah."


Kini provesinya sesuai dengan ucapan Ibunya, Iwan menjadi seorang guru, kekhawatiran Ibunya dulu membuatnya selalu tidak nyaman walaupun honor gaji perbulannya tinggi. Ketika mendengar Iwan akan mengajar Ibunya sangat senang sekali, senyumannya menandakan keridloannya. Melihat senyum kebahagiaan Ibunya, Iwan menyadari bahwa "Ridlo Allah tergantung ridlo orang tua". Jika Allah sudah meridloi rintangan sebesar apapun tidak akan pernah menjadi penghalang untuk menjadi orang sukses. Sejak hari itu Iwan tidak kerja di Perbankan, akutansi ataupun lainnya, ia menetap mengabdi ke Pondok Pesantren tempat dulu ia mondok sampai sekarang ia aktif menjadi guru yang disiplin disana.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNTAIAN PENATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang