Hujan Toko Roti

172 15 23
                                    

Ada yang bilang, hujan itu berkah, tiap tetes airnya dijaga oleh satu malaikat. Katanya begitu, tapi faktanya kadang berbeda. Karena banyak juga yang justru mengeluh ketika hujan turun. Aku juga. Terkadang hujan suka sekali turun di waktu yang tidak tepat. Misalnya, ketika selesai mencuci motor, atau di perjalanan ke Jogja bersama Intan sekarang ini. Alhasil kami harus berteduh di emperan toko. Di dalam jok motor tidak ada jas hujan. Pikirku, karena ini sudah bulan Juni, maka musim kemarau. Jadi, menurut perkiraanku semestinya tidak hujan. Namun, awan sudah terlanjur rindu, sehingga menjelma air dan menghujam jatuh ke bumi.

"Hujan Bulan Juni." Intan berbicara sambil melihat ke seberang jalan sambil tersenyum.

"Iya, kayak puisinya Mbah Sapardi ya," sahutku.

Dia pun menoleh ke arahku, "Ih, sok akrab banget panggil Mbah," ucapnya sembari tersenyum mengejek. Manis sekali.

"Kamu udah nonton filmnya?" tanyaku.

"Hujan Bulan Juni? Belum dan nggak pengin nonton. Aku nggak mau bayanganku tentang Sarwono sama Pingkan rusak."

"Sama."

"Ih nyama-nyamain, nggak kreatif," ejeknya.

Banyak orang kecewa ketika menonton film adaptasi buku, apapun jenis buku maupun filmnya. Mungkin karena ekspektasi mereka yang terlalu tinggi, atau tokoh-tokoh yang pasti tidak sama dengan imajinasi masing-masing orang. Bagi kami lebih baik tidak menontonya daripada kecewa lalu menghujat.

Sudah lebih dari sepuluh menit, tetapi hujan masih belum juga kelihatan surut. Banyak orang yang ikut berteduh bersama kami, kukira mereka juga tidak mempersiapkan jas hujan di jok motor mereka. 'Pauline Bakery', nama toko yang kami jadikan tempat berteduh. Toko ini sudah berdiri sejak tahun tujuh  puluhan, setidaknya itu yang aku dengar dari mbahku yang asli Ambarawa. Saking melegendanya tempat ini, sampai dijadikan nama tempat mangkal mini bus yang posisinya memang persis di depan toko.

"Kamu tahu nggak, kenapa kalau hujan biasanya pada galau?" tanya Intan tiba-tiba.

"Enggak, kenapa?"

"Aku kira, itu karena kenangan menguap seiring waktu, dan dibawa kembali turun bersama rintik hujan."

"Eh? Bisa romantis juga? Kirain cuma bisa bego doang," sahutku.

"Iih ...." Dia mencubit gemas lenganku. Sakit, tapi aku suka.

"Padahal, aku mulai suka sama kamu karena 'kebegoanmu' lho," ucapku pelan.

"Hah? Apa? Ga denger."

"Kubilang, kamu bego."

Mungkin dia tidak dengar, mungkin juga sekadar pura-pura. Aku memang sengaja menyembunyikan kalimatku di antara derasnya suara hujan tadi yang kini mulai reda. Kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan, mampir dahulu ke mini market untuk membeli jas hujan plastik, satunya sepuluh ribu. Ketika Intan berusaha memakai jas hujan, helm nya masih dipakai, alhasil gagal sekali. Lalu dia coba lagi, kepalanya masuk lubang lengan, gagal dua kali. Sebagai lelaki yang bertanggung jawab, tentu aku tertawa dulu melihat kejadian itu, baru kutolong.

"Gini aja nggak bisa, astaga." Aku membantunya sembari tertawa.

"Bantu daritadi kek, malah ngetawain doang, huu ...."

Dia lantas naik ke motor sebelum aku persilakan. Aku kaget, belum siap, hampir jatuh karena tidak seimbang. Untung aku bisa menahan, mengendalikan situasi, sehingga motor tetap bisa berdiri.

Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di hidungku. Aku berkaca di spion kiri, terlihat warna merah, darah. Lalu dunia serasa berputar, lirih kudengar Intan memanggil namaku, kemudian gelap.

Fragmen HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang