"Eh bentar, ada yang kelupaan, kamu s sini dulu ya, Ibu mau beli titipannya Lek Sumi."
"Iya, Bu."
"Jangan ke mana-mana, Ibu nggak lama. Belanjaannya dijagain, ya!" kata Ibu sambil melangkah pergi.
Aku menunggu di emperan depan warung tegal, persis di sebelah pintu masuk utama pasar. Tempat parkir depan pasar hari itu penuh, meluber sampai ke jalan. Maklum, ini hari paing terakhir sebelum lebaran. Di tempat tinggalku, pasar paling ramai kalau hari pasaran ini.
Dalam tradisi Jawa, hari tidak hanya dibagi menjadi tujuh sebagaimana di dunia modern. Tapi dibagi juga menjadi lima hari pasaran: Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage. Sehingga, kalau dihitung totalnya ada tiga puluh lima kombinasi hari dan pasaran. Selang waktu selama itu disebut selapan.
Aku mengambil sesuatu di kantung celanaku. Permen kaki warna merah yang bungkusnya berwarna biru. Dari dulu, aku memang suka sesuatu yang manis. Permen, es krim, kue, jajanan tradisional, semuanya harus manis. Lidah kampung kalau kata pamanku yang di Jakarta. Dia bilang begitu karena waktu berkunjung ke rumah paman aku disuguhi kue keju, yang rasanya agak asin , kurang manis, jadi aku tidak suka.
"Kita tunggu papa di sini ya." Kata seorang ibu muda yang berhenti di dekatku. Dia bersama seorang anak perempuan. Jepit rambut kupu-kupu merah menghias kepalanya. Anak perempuan itu menatapku. Aku tersenyum. Dia tertawa.
"Ih, ompong," katanya.
"Sstt..., nggak boleh ngomong gitu, nggak sopan." Ibunya berkata sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulut.
Aku cuma tersenyum mendengar percakapan itu. Sedikit malu juga. Dua gigi depanku bagian atas masing-masing tinggal separuh. Berlubang karena terlalu sering makan permen dan susah kalau disuruh gosok gigi.
"Adek kok sendirian? Ibunya ke mana?" tanya si Ibu.
"Ke dalam," jawabku singkat.
Ibu sering berpesan, "Kalau ada orang asing yang ngajak ngobrol, ati-ati. Pokoknya kalau diajak kemana-mana sama orang yang ga kamu kenal jangan mau. Bisa jadi itu penculik. Kamu nanti dimasukin karung terus dibawa ke kota, terus dijual."
Ingat pesan itu, aku jadi khawatir. Jangan-jangan orang ini penculik. Aku mulai takut. Ibu yang tadi bilang cuma sebentar juga belum kembali. Aku gelisah. Permen kaki yang masih bersemayam dimulutku rasanya menjadi tidak manis.
"Maaf, ya, Ibu agak lama, di toko yang biasa nggak ada, jadi Ibu harus beli di toko pojok sana." Suara Ibu benar-benar membuatku lega. Aku bergerak pelan ke arah Ibu, tangan kananku langsung memegang lengannya. Ibu yang melihatku bertingkah tidak seperti biasa, memandangku agak keheranan.
"Wulan?" Tiba-tiba Ibu muda tadi memanggil nama ibuku.
"Eh... Santi?" Ibu menjawab dengan nada setengah tidak percaya, "kapan pulang?"
"Tadi subuh sampai sini."
"Oh gitu, udah lama banget ya kayaknya kamu nggak pulang kampung?"
"Iya, sudah tiga tahun lebih. Kamu belum banyak berubah, Wul?" Wanita itu berbincang pada Ibu dengan akrab sekali.
"Iyalah, hidup di kampung mah gini-gini aja, nggak banyak perubahan, hehe. Kamu tuh, udah kayak orang kota banget, sampe pangling aku."
"Apaan sih, Wul. Luarnya doang kayak kota, dalemnya masih ndeso kayak dulu, haha."
Aku masih sibuk menikmati permen kaki yang sudah habis jari-jemarinya. Lidahku pasti sudah berubah menjadi merah. Aku perhatikan anak perempuan itu. Dia sibuk mengedarkan pandangan, asyik melihat-lihat kondisi pasar tradisional yang pasti jarang dia lihat di kota. Kalau mendengar dari percakapan Ibu, mereka orang kota, jadi bisa diduga kalau jarang pergi ke pasar tradisional seperti ini. Sehingga, hal ini sangat menarik bagi si anak perempuan. Beda denganku yang memang sudah sering ke pasar. Tiap kali ibu mau ke pasar, hampir selalu ikut. Lumayan bisa minta dibeliin sate atau jajanan lain yang jarang ada di rumah.
Percakapan ibuku dan teman lamanya masih berlanjut. Langit semakin gelap. Permen di mulutku sudah tinggal tusuk. Lalu kubuang ke tempat sampah di pojok jalan masuk ke pasar.
Klakson mobil mengambil perhatian kami menuju arah datangnya suara.
"Itu papa. Eh, Wul, kalian udah mau pulang apa belum?"
"Sudah ini."
"Yaudah bareng kita aja, yuk?"
"Nanti ngrepotin, aku naik ojek aja deh."
"Halah, dah ayok bareng aja."
Ibuku mengiyakan ajakan Bu Santi. Begitu masuk ke mobil, hujan mulai turun. Pandangan kuarahkan keluar melewati kaca jendela. Kulihat bulir-bulir air mengalir, berpacu satu dengan yang lainnya. Mataku mulai berat, diiringi cerita pengantar tidur dari dua perempuan yang sudah lama tidak berjumpa, aku terpejam.
![](https://img.wattpad.com/cover/195174556-288-k494313.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen Hujan
Short Story"Kenangan itu menguap seiring waktu, dan dibawa kembali turun bersama rintik hujan." Disclaimer : bukan dimaksudkan untuk membentuk satu cerita utuh, hanya fragmen-fragmen dalam hidup "Aku" yang sering bersinggungan dengan hujan. semoga bisa di upda...