Jam 4 sore di hari terakhir Ramadhan tahun ini, aku sedang mempersiapkan alat tempur nanti malam. Sebuah korek, dua bungkus petasan Double Tank, rokok Wismilak, dan beberapa dosin petasan korek. Ada juga beberapa jenis kembang api: kupu-kupu, gasing, juga air mancur. Tapi itu bukan alat tempur, hanya sebagai pemeriah di akhir perayaan perang nanti.
Rokok merupakan hal yang lumrah bagi seorang lelaki di desa. Bahkan, kalau kau seorang lelaki tidak merokok, justru akan diejek "Wes, kathoke copot, nganggo sayak wae." Bapak juga perokok, meskipun bukan perokok berat. Beliau merokok hanya sebagai simbol keakraban ketika berkumpul dengan anggota masyarakat yang lain atau saat dia suntuk dengan pekerjaannya. Setiap hari terakhir ramadhan, beliau akan pergi ke pasar membeli rokok dan juga beberapa keperluan lain. Aku selalu ikut.
Sebagai anak laki-laki, aku juga ingin terlihat keren dengan merokok. Walaupun, bapak selalu berpesan begini, "Kalau kamu mau ngerokok, silakan, tapi kalau sudah bisa cari duit sendiri. Bapak nggak mau kasih kamu duit kalau cuma mau beli rokok." Namun, khusus selama seminggu lebaran, aku, dan juga anak-anak lain di desa mendapat keistimewaan, yaitu kami diperbolehkan untuk merokok. Jadi, saat malam takbiran nanti, tidak usah heran kalau akan ada banyak anak kecil yang merokok dan semacam dibiarkan oleh orang tua mereka.
Secara umum, lelaki di desa mulai merokok setelah dikhitan. Ada semacam aturan tidak tertulis bahwa laki-laki yang tidak merokok itu tidak laki. Aku juga yakin kalau hal ini tidak cuma ada di sini, tapi di tempat lain juga, terutama di desa. Padahal, merokok itu tidak enak, mulut jadi pahit, aku tidak suka. Akan tetapi, demi menjaga martabat dan harga diri, juga sebagai cara bergaul di masyarakat, hal ini harus dilakukan juga. Satu hal lagi kenapa sebaiknya merokok malam ini, untuk memudahkan kami para prajurit menyalakan petasan sewaktu perang. Angin bertiup kencang ketika malam. Kalau harus selalu menggunakan korek, keburu diserang oleh kelompok lain nanti.
***
Tepat setelah buka puasa, aku langsung menuju masjid. Sesampainya di sana, teman-teman sudah berkumpul. Ada Nyoto, Yudi, Yadi, Kusmi, Tejo, Nurlampong, dan beberapa teman yang lain. Masing-masing dari kami memamerkan apa yang dibawa.
"Liat nih, amunisiku hari ini banyak," kata Yadi sembari memamerkan dua bungkus Double Tank nya.
"Aku cuma bawa sebungkus, dirumah masih ada dua. Tapi aku bawa banyak mercon korek nya," sahut Yudi tidak mau kalah. Yudi sama Yadi ini bukan saudara, apalagi kembar, dan selalu bersaing satu sama lain.
"Liat nih!" Aku memamerkan rokok Wismilak yang tadi siang dibelikan bapak.
"Halah, gaya kau. Paling sekali sedot juga batuk-batuk, hahaha ...," sahut Nyoto
Ah, aku tidak terima. kujawab saja sembari membusungkan dada, "Nggak papa, yang penting udah siap tempur."
Wak Juned yang sedari tadi bertakbir menyambut Idul Fitri seketika berhenti. Mbah Min sudah datang. Iqomah dikumandangkan. Waktunya sholat magrib.
***
Jarum pendek jam dinding sudah mendekati angka delapan. Pertempuran tahun ini akan segera dimulai. Tim sudah dibagi setelah magrib tadi. Pembagian dilakukan dengan hom-pim-pah. Tahun ini aku satu tim bersama Nyoto, Yadi , Nur, Sueb, Tejo, Penda, Dadang, dan Yunci. Tim musuh tidak usah dikenalkan, tidak penting, nanti mereka gedhe ndase. Yanci menjadi satu-satunya anak perempuan di tim kami. Namun, jangan pernah menganggap remeh dia. Meskipun cewek, Yanci dikenal sebagai anak yang paling jago memanjat pohon.
Lokasi pertempuran sudah ditetapkan. Tim lawan mendapat markas di halaman masjid. Sedangkan tim kami mendapat markas di rumah kosong yang berada persis di depan masjid. Kedua markas ini dipisahkan oleh jalan besar dan tanaman teh-tehan yang biasa ditanam sebagai pagar alami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragmen Hujan
Short Story"Kenangan itu menguap seiring waktu, dan dibawa kembali turun bersama rintik hujan." Disclaimer : bukan dimaksudkan untuk membentuk satu cerita utuh, hanya fragmen-fragmen dalam hidup "Aku" yang sering bersinggungan dengan hujan. semoga bisa di upda...