Ch. 1 : Kehilangan

21 1 2
                                    

GALTER VILLAGE TAHUN PERTAMA

Desa Galter berada di bagian barat di Provinsi Treencher. Desa ini dikenal dengan desa yang paling damai diantara desa lain. Kebanyakan penduduknya berkegiatan bercocok tanam dan berkebun. Ada juga yang beternak, namun jumlahnya tak banyak. Di desa itu terdapat sebuah padang rumput yang membentang luas. Hanya ada 1 pohon yang tumbuh disana. Pohon sakura besar yang tumbuh. Di bawah pohon itu seorang pemuda terkapar dengan zirahnya yang berlumur darah. Kulit putihnya disinari cahaya matahari. Namun matanya tak terbuka meskipun cahaya matahari langsung mengarah wajahnya.

Melihat pemuda yang terkapar itu, seorang gadis berambut merah menghampirinya. Hembusan angin membelai rambutnya. Dia membawa keranjang dengan roti di dalamnya. Dia duduk manis di sebelah pemuda yang terkapar. Melihat darah berlumuran pad zirahnya, gadis itu memegang dada pemuda itu. Mata gadis itu terbuka lebar setelah memegang dadanya. Dalam hati gadis itu berkata "Jantungnya masih berdetak." Setelah memegang dada pemuda itu, gadis itu melanjutkan lagi memeriksa nadi pemuda itu. Karena sentuhan gadis itu, mata pemuda itu perlahan terbuka.

"A-ah dimana aku? Apa ini di surga." Pemuda itu berkata dengan terengah-engah

"Ah kamu sudah bangun." Gadis itu tersenyum melihat mata pemuda itu terbuka.

"Ternyata wanita di surga sangat cantik." Pemuda itu tersenyum hangat ketika melihat paras gadis tersebut.

"A-apa katamu?" Pipi gadis itu memerah mendengar perkataanya. Gadis itu begitu tersipu sampai menutup mukanya dan mengalihkan pandangannya.

"Wahai wanita surga aku butuh pelukan hangatmu." Tangan pemuda itu terbuka lebar siap untung menangkap gadis itu.

"AH AKU BUKAN WANITA SURGA." Gadis itu bereaksi dengan mendorong kencang pemuda itu hingga kesadaran pemuda itu kembali.

"Ah dimana aku? Apa aku masih hidup? Siapa kamu?" Pemuda itu memegangi badannya. Memastikan bahwa dirinya belum menjadi ruh.

"Oh kamu ada di desa Galter. Namaku Akagami Kuchiri." Gadis itu tersenyum hangat.

"Normalnya orang akan membalas memberitahu namanya. Karena aku orang normal aku akan membalas seperti itu. Namaku Ginmaru Luna salam kenal." Pemuda itu membalas dengan senyuman juga.

"Kau Ginmaru Luna. Masa sih? Bukannya kerajaan Shiroi sudah musnah." Ekspresi Akagami berubah 180 derajat. Matanya terbelengkak.

"Apa kau tahu kerajaanku?" Ginmaru menatap mata Akagami dengan penuh tanda tanya.

"Entah kenapa dulu kerajaan itu begitu terkenal namun sekarang nama itu memudar di masyarakat. Hampir tak ada sedikitpun yang tahu. Dan aku juga bingung mengapa aku masih mengingat nama kerajaan itu. Apa yang terjadi dengan kerajaanmu?"

"Aku tidak mau membahasnya." Ginmaru membuang pandangannya. Sorot matanya berubah seperti tak ada tujuan hidup.

"Maafkan aku. Aku tahu itu sangat berat untukmu." Akagami menepuk pundak Ginamaru dan mengusapnya. Ginmaru menatap dirinya dengan tatapan tajam. "Ma-maafkan aku. Orang rendahan sepertiku tidak berhak menyentuhmu." Akagami menunduk.

"Tidak apa-apa aku senang kok." Ginmaru tersenyum setelah menatap tajam dirinya. Mendengar perkataan itu Akagami tersipu malu. Pipinya memerah. "Ada apa kenapa kau menunduk?" Ginmaru menaikkan dagu Akagami supaya dia bisa melihat  wajahnya.

"A-ah ti-tidak kok." Akagami hanya mematung menatap Ginmaru. Dia membiarkan dirinya teggelam dalam waktu saling menatap. "Ohiya aku membawa roti untuk para petani disini. Apa kamu mau makan 1. Aku ada banyak kok." Akagami melanjutkan.

"Terima kasih." Ginmaru mengambil sepotong roti dari keranjang rotannya dan melahapnya. Akagami memerhatikan Ginmaru dengan senang.

"Maukah kamu berkunjung ke rumahku? Mungkin kamu bisa beristirahat juga." Akagami menutup kembali keranjang rotannya dan menggandengnya dilengan.

"Bolehkah? Aku sungguh lelah. Sangat lelah." Ginmaru mengelap sisa roti yang menempel dibibirnya.

"Iya boleh. Kalau begitu ayo kita ke rumahku." Akagami kembali tersenyum hangat.

Keduanya berdiri. Melangkah meninggalkan pohon sakura tersebut untuk kembali ke tempat dimana dia harus berpulang sementara.

*******

Rumah Akagami terletak di bagian barat Desa Galter. Rumah sederhana miliknya. Tak begitu besar namun sudah mencukupi semuanya.

"Maafkan aku. Kamu pasti nggak terbiasa dengan rumah seperti ini." Akagami menggaruk kepalanya dan menunduk.

"Sudahlah. Nggak apa-apa kok. Ngomong-ngomong yang lain pada kemana?" Ginmaru melihat kiri-kanan memerhatikan rumah Akagami.

"Aku hanya tinggal sendiri." Akagami memasang senyum palsu. Senyum yang membuatnya seolah tegar padahal tidak.

"Maaf. Aku nggak tahu. Ini pasti lebih berat daripada hal yang aku alami. Tapi aku suka dengan kau yang selalu ceria." Ginmaru mengusap kepala Akagami. Hal itu membuat dirinya kembali tersipu.

"Terima kasih ya. Kamu bisa pakai kamar disana. Ada baju bekas ayahku. Semoga saja cukup nanti aku bawakan ke kamar." Akagami menunjuk ruangan di dekat dapur. Sebuah kamar kecil yang sudah lama tak terpakai.

Ginmaru mengangguk dan berterima kasih lalu berjalan menuju ruangan tersebut. Dia duduk di kasur. Memegangi kepalanya. Rasa sakit menyayat hatinya. Mengganggu pikirannya. Sekuat apapun dirinya. Akan kalah oleh kesombongannya. Kalah oleh ego. Waktu terus berjalan. Memutar ulang waktu hanyalah mitos dalam dirinya.

Setelah merenung cukup lama. Akagami datang membawa pakaian putih dan celana yang sudah dilipat. Pakain putih itu terlihat kumel. Warnanya sudah memudar. Ginmaru mengambil pakaian itu. Melepas zirah yang berlumuran darah lalu memakai pakaian itu. Pakaian ini lebih enak dipandang Meskipun pakaian ini kumel dan warnanya pudar, daripada zirahnya yang berlumuran darah.

Akagami meninggalkan Ginmaru di kamar tersebut. Dia mengerti bahwa Ginmaru membutuhkan waktu menyendiri. Walaupun sejujurnya dirinya sangat ingin menemani Ginmaru. Ingin menjadi penyemangatnya. Menjadi cahaya dibalik kegelapan. Petunjuk ketika tersesat. Namun apalah daya. Dia yang menganggap dirinya orang rendahan tak pantas sedekat ini dengan Ginmaru. Sang ksatria putih yang dahulu terkenal ke seluruh Treencher.

Sementara Ginmaru masih mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Dan setelah merenung yang lama dia baru menyadari bahwa pedang Shiroi tidak ada pada dirinya dari semenjak dia terkapar di padang rumput Desa Galter. Namun dirinya belum tahu apa yang terjadi pada pedang itu. Ada dimana pedang itu. Dan yang paling penting adalah apa yang terjadi selama dia pingsan di kerajaan Shiroi. Mengapa nama itu pudar dari ingatan masyarakat.

Setelah berdiam cukup lama Ginmaru keluar dari kamar. Dia melihat ke ruang makan. Disana Akagami sedang membaca buku. Entah buku apa itu. Ginmaru terus memerhatikan Akagami yang sedang membaca. Merasa dirinya diperhatikan, dia menatap Ginmaru lalu tersenyum hangat lagi. Melihat reaksi Akagami, Ginmaru merasakan ada api yang menyala pada hatinya. Sudah lama dia tak merasa sehangat ini. Kali ini dia sadar. Dia tak mau lagi kehilangan.

"Ternyata kehilangan itu sesakit ini. Namun layaknya pelangi. Kau tak bisa melihatnya jika tidak ada hujan." Ginmaru berkata pada dirinya sendiri.

" Aku senang bisa dekat dengannya. Walaupun aku hanya angin yang tak bisa kau genggam atau kau lihat. Tapi kau bisa merasakannya. Aku sudah senang "
-Akagami Kuchiri-

BERSAMBUNG....

White Knight of Treencher (Shiroi Kishi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang