Prolog

70 14 4
                                    

Anak laki-laki berusia sepuluh tahun berjalan menuju halaman rumah milik sahabat kedua orangtuanya. Dia tak ingin mengganggu acara perpisahan orang-orang dewasa, sehingga izin sebentar untuk mencari angin. Anggap saja ini suatu pemanjaan diri, sebelum dia meninggalkan kota yang menjadi tempat perantauan kedua orang tuanya.

Ya, anak laki-laki itu mau tidak mau harus mengikuti kedua orang tuanya yang akan pulang ke kampung halaman, mengikuti permintaan sang nenek yang ingin menikmati masa tuanya tinggal bersama anak dan cucu-cucunya. Walaupun hanya akan berbeda kota, orang tuanya merasa wajib untuk pamit langsung dengan sahabat mereka itu.

Langkah kakinya sampai di sebuah taman mini yang dipenuhi dengan berbagai jenis bunga mawar. Mawar kuning, merah muda, merah, putih, orens, bahkan ada yang berwarna hitam, ditata sedemikian rupa melingkari taman mini tersebut, menyisakan sebuah bangku panjang di tengah-tengahnya. Beberapa lampu taman terpasang saling berseberangan, sehingga memberikan penerangan yang cukup untuk mata menikmati keindahan yang ada.

Sesaat anak laki-laki itu berhenti ketika melihat ada anak kecil yang duduk di bangku taman tersebut, yang sepertinya belum menyadari kehadirannya.

"Mungkin anaknya om Ridwan dan tante Daliya," batinnya.

"Bintang kecil di langit yang bilu, amat banyak menghias angkasa. Aby ingin telbang dan menali, jauh tinggi ke tempat kau belada~." Gadis cilik bernama Aby itu bernyanyi dengan riang, dan menggerakkan tangan mungilnya seakan-akan sedang menari. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit malam penuh bintang dengan mata berbinar senang.

"Uhuk...uhuk." Anak laki-laki itu batuk sok cool untuk memberitahukan keberadaannya kepada gadis cilik yang menggemaskan itu. Sekarang dia sudah berdiri di depan bangku taman, berhadapan dengan Aby.

"Kakak siapa?" tanya Aby, sambil menatap penuh keingintahuan kepada anak laki-laki yang mengganggu kegiatan favoritnya, kala malam menyelimuti bumi.

Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan."Hai, adik manis! Namaku Aras," ucapnya memperkenalkan diri.

Aby menatap Aras dan tangannya bergantian. Sedetik kemudian, Aby menepis tangan Aras dengan kasar, membuat Aras terheran-heran, apa salahnya?

"Kata ayah, Aby nggak boleh belsentuhan dengan laki-laki. Bukan mahlom!" jelas Aby dengan jari telunjuk bergerak memperingati.

Aras mengangguk seakan-akan paham, dan tersenyum geli dengan sikap gadis cilik yang sudah dia tahu namanya ini, ditambah dengan penampilannya yang lucu. Aby memakai jilbab berwarna merah muda, tetapi poninya menjuntai menutupi dahi, terlihat seperti tokoh anak kecil dalam kartun Marsya and the Bear.

"Aby, aku boleh duduk di samping kamu?"

Aby perlahan bergeser, lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya.

"Sini duduk baleng Aby. Aby seneng, deh nggak sendili lagi liat bintang." Aby tersenyum lebar kepada Aras yang mengambil duduk di sebelahnya.

"Aby suka bintang?" tanya Aras yang tak berpaling menatap Aby.

Ditanya begitu, mata Aby kembali berbinar-binar.

"Huum. Suka banget, kak. Aby ingin belkelap-kelip sepelti bintang-bintang itu." Tunjuk Aby ke langit.

Aras semakin gemas dengan Aby yang cadel, mengingatkannya pada adiknya yang sudah lebih dulu berada di rumah neneknya.

Mengikuti arah telunjuk Aby, mereka berdua bersama-sama memandang langit.

"Kalo kakak sukanya apa?" Aby balik bertanya.

"Itu," Telunjuk Aras terangkat menunjuk bulan, "yang aku suka."

Aby mengerutkan alisnya, bingung. "Kenapa kakak suka bulan?" Aby mengikuti pertanyaan Aras sebelumnya.

Aras tampak berpikir sejenak. "Karena bulan dikelilingi oleh bintang-bintang, jadi punya banyak teman," jawab Aras sekenanya.

Sebenarnya Aras menyukai bulan, karena menurutnya bulan adalah benda langit yang percaya diri. Sekalipun cahaya yang dimiliki bulan hanya semu, dia tidak minder, dan tetap menjadi satu-satunya satelit alami bumi. Tentu ini tidak akan dimengerti Aby, jika Aras utarakan.

Aby bertepuk tangan senang. "Wah, kelen! Aby juga mau kayak bulan, deh. Bial punya banyak teman, atau...," Aby sedang berpikir keras.

"Atau apa, Aby?" tanya Aras, penasaran.

Kalau saja Aby tidak memperingatinya sebelumnya, dia dengan senang hati akan mencubit pipi tembem Aby. Ekspresinya itu, loh, buat orang gemas.

"kakak nikah aja sama Aby, supaya bisa temenin Aby liat bintang telus. Ya, ya, ya?" ujar Aby enteng.

Aras yang sudah  mengerti dengan makna 'nikah', hanya bisa melongo mendengar ajakan menikah dari seorang bocah.

"Ternyata kamu di sini, Nak. Mama cariin dari tadi." Suara wanita yang familiar bagi Aras menyadarkannya. Dia dan Aby kompak menoleh ke sumber suara.

"Tante Ayu mamanya kak Alas?" tanya Aby kepada wanita yang dia tahu dekat dengan kedua orang tuanya.

Wajar saja Aby bertanya begitu. Ini pertama kalinya dia melihat Aras, padahal Ayu dan suaminya sering berkunjung.

Ayu mendekat, dan sedikit menurunkan tubuhnya di depan Aby agar sejajar. "Iya, sayang," jawab Ayu lembut. "Tante ajak kak Aras pulang, ya. Buat siap-siap berangkat ke rumah neneknya," lanjutnya sambil merapikan rambut dan jilbab Aby.

Air muka Aby seketika berubah, yang tadinya berbinar-binar menjadi meredup. Dia memandang sedih Ayu dan Aras bergantian, tapi kemudian tersenyum lebar, dan mengangguk. "Iya, tante," ucapnya bersemangat.

Ayu mencubit pipi tembem Aby gemas, sebelum berdiri tegak dan menatap Aras.

"Ayo, Nak. Papa udah tungguin kita di depan," Panggil Ayu kepada Aras yang terlihat melamun.

Aras dengan berat hati beranjak dari duduknya. Dia merasa sedih, karena sebentar lagi akan berpisah dengan gadis kecil yang sudah dianggapnya sebagai adik keduanya itu.

"Tante dan kak Aras pulang dulu, ya, sayang. Dadah." Ayu merangkul pundak Aras. Keduanya melambaikan tangan, sebelum berjalan meninggalkan Aby sendirian.

"Ati-ati di jalan!" Aby balas melambaikan tangan mungilnya.

Setelah Ayu dan Aras menjauh, barulah Aby menunduk sedih. Baru saja dia mendapatkan teman 'memandang langit', kini temannya itu malah pergi. Aby kembali sendiri lagi.

"Semoga kita bisa bertemu lagi, adik manis," gumam Aras saat mobil yang dia dan orangtuanya naiki keluar dari pekarangan rumah.

Another FeelingWhere stories live. Discover now