Menghindari pertemuan? Boleh saja, tapi kita bisa apa jika Sang Pencipta sudah berkata 'bertemulah'?
***
"Aby, kamu yakin ngga mau aku temenin sampe depan gang?" tanya gadis berkacamata kepada temannya yang sedang duduk sambil memakai sepatu Converse hitam yang senada dengan warna jilbabnya.
Gadis bernama lengkap Abisha Maheera itu mendongak. "Yakin, Fitri," ucapnya sedikit jengkel karena sedari tadi teman dekatnya itu mempertanyakan hal yang sama.
"Gimana kalo kamu nginap di sini aja? Mau ya, please," bujuk Fitri.
Abisha menggeleng. "Nggak mau. Lagipula, pak Rahmat bentar lagi jemput."
"Ih kamu kan tau ini komplek sepi. Kamu ngga takut apa kalo nungguin pak Rahmat sendirian?" Fitri masih berusaha membujuk Abisha. Dia khawatir kalau terjadi apa-apa dengan temannya itu.
Abisha berdiri, dan memakai ranselnya, sebelum menatap jengah Fitri. "Nggak, Nur Safitri. Ada Allah yang temenin aku. Kenapa harus takut?"
Fitri menyerah. Sifat keras kepala temannya itu tidak bisa dilawan, apalagi jika Abisha sudah berkata demikian. Kalau dibantah, ujung-ujungnya Abisha akan menceramahinya.
Merasa dirinya tidak akan ditahan-tahan lagi, Abisha segera pamit. "Aku pulang, ya, Ri. W assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan, By," balas Fitri, dan mendapat acungan kedua jempol tangan Abisha yang kemudian berjalan menjauhi rumah minimalis Fitri.
Tak sampai tiga menit Abisha sudah keluar dari gang sempit. Kini dirinya sedang berdiri di pinggir jalan untuk menunggu supirnya datang menjemput.
Abisha memerhatikan sekitar. Dia sudah tahu jika komplek ini sepi, tapi tidak menyangka jika malam akan lebih terasa sepinya. Sepanjang perjalanan di gang sempit saja Abisha tidak melihat satu orang pun, apalagi di jalanan komplek yang benar-benar lengang ini, bahkan kendaraan-kendaraan belum ada yang lewat.
"Apa karena efek hujan deras tadi sore?" tanya Abisha pada dirinya, membayangkan semua orang memilih meringkuk di bawah selimut, daripada keluar rumah, karena udara dingin yang menusuk.
Selengang apapun keadaan di sekitarnya, nyatanya tidak membuat Abisha takut. Dia justru terlihat santuy. Bibirnya bergerak menyenandungkan shalawat sambil mendongak ke atas, memandang langit yang saat ini ramai dengan bintang-bintang yang menjadi benda langit kesukaannya. Jika tidak mengingat tempat dan waktu, gadis itu akan memilih duduk atau rebahan untuk menikmati keindahan langit saat ini juga.
Tin Tiinn.
Byurr.
Abisha reflek mundur saat mendengar bunyi klakson, tapi tidak berhasil menghindar dari cipratan air saat sebuah mobil sedan melaju melewati genangan air hujan. Alhasil, jilbab dan kamejanya basah. Beruntung gadis itu sempat mengangkat tangan menutupi wajahnya, sehingga tidak ikutan basah.
Kaget menguap, berganti dengan kekesalan. Banyak kata-kata yang sudah Abisha siapkan untuk menasihati pengemudi mobil yang seenaknya itu, tapi sayangnya hanya tertahan di tenggorokan. Siapa yang akan dia nasihati? Pengemudi mobil itu terus melaju, tidak berniat menepikan mobilnya, apalagi meminta maaf.
"Astagfirullahalazim, astaghfirullahalazim, astaghfirullahalazim." Abisha mengusap dadanya berulang kali untuk meredam kekesalannya.
Setelah cukup tenang, Abisha merogoh ponselnya menghubungi pak Rahmat untuk memastikan keberadaan supirnya itu saat ini. Belum sempat terhubung, ponselnya mati kehabisan daya.
YOU ARE READING
Another Feeling
Romance"Jika rasa itu hadir di antara kita, lantas akankah kita akan ditakdirkan oleh-Nya bersama?" Sebuah tanya yang terpatri dalam benak Abisha maupun Farras, diharapkan terjawab pada akhir kisah.