Selain Gajah Sumatra, ada satu lagi yang juga terancam punah yaitu kebaikan tanpa pamrih.
***
Abisha berusaha tetap tenang saat tatapan yang tersirat prihatin dan menyemangati dilayangkan teman-teman sekelasnya. Pasti karena masalah itu.
Tanpa menanggapi, gadis itu berjalan menuju tempat duduknya yang berada di urutan terakhir barisan sebelah kiri.
"By, apa perlu gue buat perhitungan sama si songong itu? Dia anak IPA, kan?"
Belum sampai pada tempat duduknya, Abisha mendapat pertanyaan dari Damar, 'jagoan' kelas XII IPS 1.
Abisha bergeleng cepat, "Ngga perlu. Kamu fokus jadi anak teladan saja. Jangan membuat keributan apapun lagi!"
Damar memberengut mendengar ucapan Abisha yang dia artikan sebagai sindiran.
"Dengerin tuh, Mar. Kau, kan udah insyaf. Ngapain coba mau lawan Nares? Malu, dong sama kopiahmu itu," ucap Boni, siswa bertubuh bongsor. Dia menunjuk kepala Damar.
Kelas kembali riuh, karena kelakar Boni yang renyah itu.
"Woy, ini snapback! Dih, gue lagi serius malah dibecandain. By, gue rasa Nares itu harus dibuat kapok supaya berhenti gangguin lo." Damar kembali fokus pada Abisha yang sudah duduk pada tempatnya.
"Bener, tuh! Kita juga bakalan bantu Damar." tambah siswa lainnya.
Gadis itu mengembuskan napas berat sebelum membalas ucapan teman-temannya, "Aku yang akan buat dia kapok dengan caraku sendiri, bukan dengan cara kalian." Abisha berharap teman-teman sekelasnya itu bisa mengerti apa maksudnya.
Bukan tanpa alasan Abisha menolak bantuan mereka. Selain karena cara yang akan mereka pakai pasti berbentuk kekerasan, dia juga tidak ingin kelas IPS, khususnya kelasnya terlihat semakin buruk.
Entah dimulai sejak kapan, kelas IPS menjadi sorotan para guru. Bukan karena prestasi yang diraih, melainkan mereka telanjur dianggap sebagai perusuh dibandingkan dengan kelas IPA yang selalu menyandang predikat kelas terkalem. Stigma tersebut yang menyebabkan para guru yang masih subjektif pemikirannya sering bertindak terlalu keras terhadap kelas IPS.
"Udahlah, Mar. Biarin Abisha yang atasi masalahnya. Tugas kita hanya percaya dan dukung dia aja."
Kalau Levin-Si ketua kelas-sudah bersuara seperti itu, maka Damar hanya bisa melengos sambil menelan bulat-bulat keinginannya untuk baku hantam dengan Nares. Senakal-nakalnya Damar, dia masih punya setitik rasa segan kepada pemimpin.
Terbebas dari desakan Damar, Abisha melirik teman perempuannya yang sedari tadi duduk diam. Aneh saja melihat Fitri yang sehari-harinya cerewet jadi pendiam begitu.
"Kamu masih kepikiran soal yang tadi, Ri? Maaf, ya." Abisha berusaha menarik atensi Fitri. Dia merasa tak enak hati dengan temannya itu.
Fitri menoleh sesaat, memperlihatkan matanya yang sembap sebelum kembali melemparkan pandangan keluar jendela.
"Kata maafmu ngga bisa memperbaiki imageku."
Abisha tertegun mendengar ucapan Fitri yang lirih itu. Ucapan yang menegaskan bahwa Abisha yang bersalah di sini. Gadis itu sudah sadar diri, tetapi apakah hanya Fitri yang dirugikan di sini?
Menghela napas, lalu diam tanpa merespon ucapan Fitri. Itulah yang bisa Abisha lakukan saat ini. Jika emosi dibalas emosi, pasti tidak akan berakhir baik. Biarkan Fitri menenangkan dirinya dulu.
YOU ARE READING
Another Feeling
Romance"Jika rasa itu hadir di antara kita, lantas akankah kita akan ditakdirkan oleh-Nya bersama?" Sebuah tanya yang terpatri dalam benak Abisha maupun Farras, diharapkan terjawab pada akhir kisah.