KEDAI 1. Till We ain't Stranger Anymore

12.7K 765 135
                                    

Gadis berambut keriting itu menenggak segelas minuman dalam gelas tinggi berhias buah zaitun. Cairan bening itu tandas seketika. Mukanya yang putih pucat, memerah. Alisnya mengernyit, matanya memejam tersiksa, dan lidahnya menjulur-julur.

Jelas sekali dia tidak bisa minum.

"Kamu nggak apa-apa?" bartender bertanya, sambil mengeringkan gelas bir sebesar lengannya.

Bibir bartender itu tersenyum melihat reaksi gadis keriting setelah menghabiskan minuman. Tadi dia tiba-tiba duduk dengan ragu-ragu di hadapannya, wajahnya kusut masai. Saat bartender bertanya apa maunya, dia memesan asal saja, "berikan yang biasanya diminum cewek-cewek!" katanya.

"Apa itu tadi?" bisik si gadis, merasa lidahnya seolah terbakar. Rasa manis yang tergulung dalam sensasi pahit, kemudian menyeruak panas saat mengalir di tenggorokan membuatnya syok berat, "Cewek macam apa yang minum racun begini?!"

Si bartender tertawa, "Makan buahnya. Bikin lidahmu lebih baik sedikit."

Gadis itu, yang bernama Teri, menurut. Diaduknya dasar gelas dengan jari, dan ditangkapnya sebutir buah zaitun.

"Eh! Pakai ini!" bartender memberikan kotak tusuk gigi, tapi terlambat. Teri sudah menggulung buah itu ke dalam lidahnya. Lagi-lagi si bartender tertawa.

"Kamu kelihatannya senang," kata Teri sengit, "apa kalian selalu menertawakan wanita yang tidak bisa minum?"

Bartender itu kembali mengeringkan gelas bir kesekian, tanpa menjawab.

Malam memang sudah larut, pekerjaan pun sudah menyurut. Sebagian orang sudah meninggalkan kedai, hanya tersisa beberapa kelompok yang terlalu mabuk untuk pergi. Terdapat beberapa gelintir orang yang mungkin tengah merenungi hidup dengan segelas minuman, dan beberapa pemuda yang berbincang bincang menghabiskan bergelas-gelas bir.

Bartender itu cukup tampan. Kepalanya berhias ikat kepala hitam dengan sulaman nama kedai yang menutup bagian atas rambutnya, sebaagai seragam pekerja pria. Rambutnya pendek, sebagaimana rambut kebanyakan pemuda. Kemeja putihnya dilapisi celemek sewarna ikat kepala. Lengannya yang bergerak-gerak saat mengeringkan gelas bir kelihatan berotot meski terbungkus lengan baju.

"Jarang sekali ada perempuan yang nggak bisa minum di sini, " katanya sambil melempar kerlingan sopan pada Teri, "apalagi duduk di meja bar. Kalau tidak terpisah dari kelompok, kamu pasti sedang kacau berat sampai memutuskan masuk ke sini sendirian di malam selarut ini. Berani bertaruh, sebentar lagi anak-anak yang duduk duduk minum bir di sudut sana itu salah satunya pasti mengajakmu bicara. Atau laki-laki yang sedang sendirian di kananku ini. Apa pun yang mereka katakan, jangan mau kalau mereka mengajakmu keluar."

Teri menoleh melewati bahunya untuk memeriksa kelompok pemuda yang dimaksud si bartender, kemudian menoleh ke kiri dan mendapati pria yang tengah sendirian.

"Aku tidak pernah melihatmu di sini," ucap bartender itu lagi. "Mau aku bikinin sesuatu lagi?"

"Apa kalian punya milkshake?" Teri berbisik.

"Coca cola saja ya?" tawarnya, balas berbisik. "Itu akan menyelamatkan harga dirimu." Dia bercanda.

Teri setuju. Si bartender, bernama Andre, mengambil gelas kosong, mengisinya dengan cairan berwarna coklat segar dari keran. Kemudian sebelum menyajikan ke hadapan pelanggannya, dia letakkan tatakan kertas di bawah gelas, dan dia beri sebuah sedotan berwarna hitam.

Teri menyambut kolanya dengan suka cita.

"Andre, tolong ambilkan jeruk." Seorang karyawan lain, yang juga bartender, berbisik di telinga Andre.

KEDAI [REPOST]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang