TABIR

9 2 0
                                    

Semakin sering Ragil dan Raffael datang di ke gubuk itu semakin terasa arti rumah baginya yang tak pernah dia rasakan sebelumnya selama hidup dalam perbudakan Sarmila yang dulu tempat di mana Martha menitipkannya untuk dirawat sebagai mana seorang putri mahkota.

Dulu dia sering datang untuk sekadar mengecup keningnya. Bercerita tentang kisah indah antara romeo dan juliette, namun tepat sebelum bagian terakhir dari kisah romantis nan naas itu Martha tak pernah kembali hingga akhirnya dia tahu bagaimana cinta itu berakhir.

Bayangan akan masa lalu terulang bagai mimpi buruk ditengah riuh tawa canda yang berangsur membisu seiring gulungan pita dari setiap adegan pilu masa lalu berputar.

Dia pernah melihat sosok itu dari dalam album kenangan milik Martha yang selalu dia ceritakan setiap usai kedatangan Lukas untuk menemui mereka di rumah tenang tempat mereka membangun biduk keluarga meski Lukas tak selalu hadir di setiap hari kala rindu menyingsing menanti pelukan hangat Lukas. Bagi Martha, dia adalah berlian yang telah lama dinanti untuk menyempurnakan cinta mereka yang telah lama terjalin. Usia Martha dulu sudah hampir setengah abad saat dia melahirkannya ke muka bumi bersama kebahagiaan di setiap harinya hingga saat seorang wanita itu datang dan yang terdengar hanyalah teriakan penuh amarah dari Martha untuk pertama kalinya semenjak dia terlahir.

Sejak saat itu, kasih sayang Martha terenggut darinya. Dan sejak saat itu pula Martha berganti menjadi sosok lelaki itu, lelaki yang seharusnya menjadi sosok ayah baginya malah menjadi sosok monster cabul yang pertama kali merebut keperawanannya, menaruh benih tak berdosa dalam tubuhnya hingga Sarmilapun ikut melacurkan tubuhnya pada setiap lelaki yang datang termasuk Brama yang tak mengenalnya. Tapi dia tahu siapa Brama dia tahu Beni dia mengenali siapa mereka dalam setiap rintihan yang terluap dalam haru biru tangis kepedihannya.

Bila ingin memilih dia hanya ingin satu hal dan itu dia dapat dari seorang pemuda tampan bernama Ferris.

"Ah, seandainya Martha dan Lukas masih hidup. Mungkin kita tak akan menikmati  mata hari terbenam itu." Tak sengaja kata-kata yang keluar dari rongga mulut Raffael itu menariknya kembali dari lamunan disertai gertakan pelan dari Ragil yang menyuruh Raffael untuk tutup mulut.

"Yang tahu masalah ini hanya kita! Jangan ungkit-ungkit lagi!" Bisikan lirih Ragil tak berhasil menutup kembali tabir rahasia yang sudah tak sengaja terdengar oleh Nanik yang duduk di samping Mira yang masih bermain dengan anak semata wayangnya.

"Iya benar kata Ragil. Biarkan itu menjadi abu. Aku sudah memiliki keluarga, aku tak mau lagi ada sisa drama dari masa lalu apa lagi yang berhubungan dengan Lukas." Balas Terra tak kalah lirih.

Terasa seperti sebilah parang menebas jantungnya saat dia mendengar setiap kalimat yang keluar dari tiga bibir lelaki itu. Tangannya tak sengaja merenggang dari genggamannya di gelas kaca.

"PRANG!!!!!!"

"Nanik???" Terra menoleh menatap heran ke arah wajah dan mulutnya yang menganga seperti pintu goa.

"Kau baik-baik saja?" Terra mengernyit heran.

"A... a... aku... aku tidak... tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Kalimatnya terbata-bata menjawab pertanyaan Terra dengan keringat sebesar biji jangungbyang tiba-tiba mengucur deras.

"Sudah berapa piring yang kau pecahkan di rumah ini?" Raffael terkekeh menggodanya sambil menggeleng-gelengkan kepala tak menyadari kilatan petir yang barusaja menyambar Nanik akibat kalimat yang keluar dari bibirnya.

Nanik hanya menyinggingkan senyum tipis sebelum berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka yang masih duduk berbincang masih tak menyadari akan apa yang baru saja terjadi.

Napasnya memburu mengingat setiap kata yang tadi dia dengar. Bukan kabar akan kematian Martha dan Lukas yang membuatnya gelisah dan gemetar, tapi kenyataan tentang bagaimana mereka bisa tahu tentang kematian mereka. Bahkan dia terkejut bagaimana mereka bisa mengenal dua nama yang dikeramatkannya baginya.

AKARSANA : Putri Tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang