INTERMEZZO : RASA

6 2 0
                                    

Mereka saling mengobati luka di kulit masing-masing membiarkan tubuh Nanik yang terikat di tiang besi dengan tali melilit seluruh tubuhnya. Mata Maliq dan Farres bertemu sesaat saat dia membantu membalut luka di tubuhnya.

"Ma... maafkan aku..." pekik Maliq lirih.

"Sudahlah aku tak mau mengingat hal itu lagi. Itu terlalu menjijikkan bagiku." Balas Farres.

"Tapi aku tak menganggap itu menjijikkan..."

Kalimat yang keluar dari bibir Maliq membuat Farres menekuk kulit keningnya. Dia tak mengerti apa sebenarnya maksud kalimat yang keluar dari bibir Maliq barusan. Entah maksudnya adalah dia tak merasa jijik akan diri Farres atau dia sama sekali tak merasa jijik dengan apa yang telah mereka lakukan meski terpaksa itu.

"Mungkin aku memang memiliki darah Lukas juga darah Errik, dan tak hanya darah mungkin... mungkin juga apa yang mereka miliki dalam bati mereka..." Kalimat Maliq sama sekai tak berhasil Farres terjemahkan dengan logikanya.

"Aku... aku mungkin seorang homoseksual... dan aku menyadari itu sejak pertama kali bertemu denganmu." Tambahnya menjelaskan.

"Hentikan!"

Maliq terdiam, dia tahu betul bahwa  itu sangat beresiko untuk mengungkapkan perasaannya pada Farres atau siapapun itu yang memang tak bisa memahami orang seperti dirinya.

"Cukup, kau bantu saja yang lain aku sudah tidak apa-apa. Terima kasih." Farres mengangkat tubuhnya sekuat tenaga dan meninggalkan Maliq yang termenung menatap nanar ke arah lantai membuarkan Farres yang berlalu sambil menahan sakit di tubuhnya. Dari matanya merambat setetes air mata yang merayap jatuh ke pipinya. Hatinya bergumam tak menentu mencoba menolak pikirannya yang sejak dulu dia pernah miliki, isi kepala yang sejak dulu dia berlari darinya, sudah sejak lama dia hindari karena itu tak mungkin.

'Aku juga sama bedanya sepertimu, tapi itu tak mungkin.' Tolaknya dalam hati.

Nanik masih tak sadarkan diri menski tubuhnya yang tersalib terus saja meneteskan darah segar yang jatuh merambati tali di tubuhnya. Ferris menatapnya iba meski dia sangat membencinya. Ada perasaan yang sebenarnya dia juga tak bisa menolak sejak pertama kali dia mendapatkan kenikmatan pertamanya dari tubuh Nanik dulu. Perasaan yang tak wajar namun juga tak layak untuk diperjuangkan apa lagi setelah apa yang sudah dia lakukan pada keluarganya itu.

'Seandainya dulu kau berbohong kalau kau mengandung anakku, mungkin kini kita sudah bersama dan aku tak akan membiarkannmu menjadi iblis seperti sekarang ini Nanik.' Gumamnya dalam hati.

"Kau baik-baik saja?" Tiba-tiba Farris sudah berdiri di sampingnya.

"Iya, aku baik-baik saja."

"Bagaimana keadaan Eleanor?!"

"Dia masih belum siuman." Dia merasa menyesal akan apa yang terjadi pada Yang lainnya. Terlebih pada kedua saudara kembarnya bahkan pada Eleanor yang secara diam-diam dia sudah tahu menjalin hubungan dengan Farris.

Meski rasanya sedikit aneh dna tak wajar kalau sepasang kekasih itu berasal dari satu garis keturunan yang sama. Mungkin dia bisa menerima hubungan Valerie dan Aruna, setidaknya mereka belum tentu berasal dari darah yang sama tapi Farris dan Eleanor sudah pasti adalah dua sejoli dari satu aliran darah yang sama, darah Akarsana murni. Tapi peduli apa dia tentang Akarsana. Dosa? Menjadi keturunan Akarsana saja sudah menjadi dosa yang mereka tanggung sejak awal jadi persetan dnegan dosa, pikir Ferris.

"Aku menyesal kalian harus menderita seperti ini."

"Sudahlah ini bukan salahmu!" Balas Farris yang merangkul pundah saudara kembarnya itu.

"Lagi pula dia bukan siapa-siapamu."

"Kalau dia anak Lukas dan Martha, itu berarti dia adalah Akarsana, sama seperti kita." Balas Farris.

"Ya, kau benar juga. Itu berarti dia masih kerabat kita, dan kau baru saja bersetubuh dnegan tantemu sendiri!" Olok Farris.

"Ah hentikan! Lagipula itu bukan kemauanku. Setidaknya aku tak seperti mu. Kau tahu Eleanor adalah cucu Gio adik Lukas kakek biologis kita dan kau masuh saja mengencaninya." Balas Ferris.

"Persetan dengan Akarsana! Aku tak pernah melihat diriku sebagai Akarsana dan tak akan pernah mau menjadi seorang Akarsana. Jadi sah saja kalau aku mengawini Eleanor!" Elak Farris.

"Ya kalau begitu aku dan Nanik juga tak masalah kalau bersetubuh. Hahahahah." Di sela tragedi menyempatkan untuk sekadar menertawakan diri sendiri adalah obat paling mujarab untuk setidaknya menambal segala luka yang bersarang jauh di dalam benak.

***

AKARSANA : Putri Tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang