(BUKAN) SEBUAH KEBTULAN

10 2 0
                                    

Rembulan terlah dilahap oleh kepulan awan hitam, menyembunyikannya dari setiap mata yang mencoba berkedip genit menggodanya. Angin hanya bisa mendorong perlahan gumpalan mendung yang kembali mengijinkan bulan untuk kembali bertatapan dengan setiap mata yang berlalu lalang tanpa menyapanya. Cahaya keemasan menyentuh membelai tubuh perempuan yang dadanya tampak naik turun dengan cepat, dia masih saja mengendap memperhatikan dua sosok manusia yang sudah beberapa hari ini menyusuri setiap sudut kota untuk mencari sosok yang tanpa mereka ketahui sudah terbarung di bawah tanah yang mereka injak.

Nanik terkekeh pelan sambil memandang ke arah Terra dan Ragil yang mulai frustasi dari jauh. Dia sudah bisa menebak siapa yang sedang mereka berdua cari.

"Kalian tak akan pernah menemukannya!" Cibirnya dalam lirih malam yang dingin.

Matanya berbinar ddengan seringai menghiasi bibirnya, hatinya tertawa semakin keras saat melihat sosok Terra yang sudah mulai menggila meninju-nunju pick up tuanya sendiri. Bibirnya terasa gatal ingin terbahak dan mengeluarkan hinaan di depan wajah Terra dan Ragil. Rasanya nikmat menjalari tubuhnya setiap kali Terra menggila.

Matanya beralih sesaat untuk sekadar mengistirahatkan adrenalinnya yang sudah mulai menggila akibat perilaku Terra. Pandangannya merayapi setiap tembok tinggi bangunan-bangunan tua yang sebagian tampak terbengkalai di beberapa sisi. Tepat saat matanya menyentuh sebuah lantai di gedung kosong dia mendapati sesosok yang sedang duduk bersandar di kolom bangunan itu sambil sedikit menyembunyikan wajahnya di balik bayangan hitam. Melalui celah cahaya yang sedikit menyentuh sosok itu, dia bisa melihat rambut putih dari sosok siluet lelaki yang sedang bertatapan dengan bulan tanpa bergeming sedikitpun. Entah apa yang membuatnya seolah ingin tetap menatap sosok itu. Nanik yakin Tuhan telah menggariskan takdirnya untuk menatap ke arah lelaki itu dan dia sangat percaya bahwa Tuhan memiliki maksud tertentu, seperti bagaimana Tuhan mempertemukannya dengan Terra.

Sosok itu sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah luar gedung, dia melongok ke sebuah arah di bawah bangunan itu, entah apa yang dia cari namun Nanik mulai bisa sedikit mengenali sosok itu.

"Gigolo...?" Itulah bagaimana dia menyebut pemuda dulu dia lihat sedang dipaksa melayani dua lelaki di bar malam itu.

"Oh, jadi ini maksud Engkau." Nanik melirik ke arah langit seolah sedang berbicara pada Tuhan sambil tersenyum. Dia percaya betul akan takdir yang Tuhan berikan, dia tak pernah meyakini bahwa sebuah kebetulan itu ada dan nyata. Setiap yang manusia sebut kebetulan adalah takdir yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap insan di bumi tanpa harus berkompromi terlebih dahulu. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau bahkan masuk akal ataupun tidak Takdir adalah takdir, bukan sebuah kebetulan belaka. Dia tak pernah memandang takdir sebagai mitos.

Baru saja dia bermaksud untuk memalingkan pandangannya kembali ke arah Terra dan Ragil untuk kembali menikmati siksaan yang sedang mendera keduanya, khususnya Terra yang sepertinya hanya tinggal menunggu hitungan hari saja akan kehilangan akal sehatnya. Tiba-tiba wajah lelaki pirang itu berpaling ke arah dua sosok siluet yang muncul dari kegelapan. Mulutnya hampir menganga saat dari jauh saja dia bisa mengenali salah satu sosok yang berada jauh darinya itu, bersandingan dengan satu sosok lainnya yang terlihat mirip dengannya, bahkan si pemuda berambut putih itupun memang terlihat sangat mirip dengan keduanya.

"Ferris...?" Pekiknya pelan saat bisa mengenalinya seiring aliran darah yang mendidih di tubuhnya mengalir mengusap dan menggelitik setiap lubang di tubuhnya. Entah bagaimana tiba-tiba gairah itu kembali terbayang di kepalanya yang bercampur aduk dengan merah darah yang mengalir membanjiri seluruh tanah yang dia injak itu semakin membuatnya merasakan kembali gairah yang tiba-tiba sering muncul meletup-letup dalam dirinya.

Ada rasa dalam dirinya yang tak bisa diartikan saat melihat sosok Ferris dan dua sosok yang serupa dengannya itu, entah ada gairah apa yang timbul siring nafsunya yang ikut memompa adrenaline. Jantungnya tak berhenti berdetak meski matanya kini telah beralih menatap Terra dan Ragil yang termenung dirundung kemalangan yang tak mau pergi.

AKARSANA : Putri Tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang