005. Tambahan jawaban

466 22 3
                                    

Saya pernah jadi partisipan pratikum angkatannya 2016. Dari sekian banyak pertanyaan, mungkin memang nggak semua yang saya jawab secara lengkap, karena buat percaya sama orang emang sesusah itu, meskipun udah dibilang "Jawaban saudara akan dijamin kerahasiaannya".

Pengujinya nanya, "Apakah saudara memiliki pasangan?"

Saya ngegeleng, "Nggak." Mana jawabnya spontan lagi.

"Kenapa?" Penguji nanya lagi.

Lagi, saya geleng, "Nggak aja."

"Nggak kepikiran buat pacaran?"

"Enggak."

"Pacaran juga ada positifnya kan, kayak bantu belajar, ngasih motivasi, semangat." Si penguji ngecoba ngegali data saya, di sini saya ngangguk, "Iya sih." Ini jawaban ragu-ragu.

"Tapi kalau orang yang disuka ada nggak?" oke dipertanyaan ini saya malu sumpah, biasa lah yaa cewek (atau mungkin cuma saya) nemu yang tampang bagus langsung dah tu hm. Dan mau nggak mau saya jujur.

"Saudara boleh tulis namanya di kertas atau di tangan saudara juga boleh." Di sini ragu, kasih tahu nggak ya, mana si penguji sering kumpul sama si onoh lagi, ck. Akhirnya saya nulis di telapak tangan:

NAMA ORANG YANG KATANYA SAYA SUKA DI SEMESTER SATU

Si pengujinya ngangguk, liat itu saya ngebatin "Mampus, An! Ketahuan! Dasar bego bego bego!!!" dan setelahnya pertanyaan beralih tentang keluarga.

...

"Bang sebenernya jawaban tentang pacaran masih panjang. Kenapa saya nggak pacaran, saya pernah punya pengalaman buruk yang cukup berpengaruh sampai nggak mau berurusan sama laki-laki, abang tahu waktu itu bahkan saya sampai ngejauhin adik cuma gara-gara dia laki-laki, aneh nggak sih, tapi emang gitu, tapi tenang sekarang lagi rawat jalan kok jadi udah mendingan walaupun kadang kambuh.

Terus kebetulan sebelum abang wawancarai saya, seminggu sebelumnya adik saya yang satu lagi abis berantem sama pacarnya, saya cuma sakit hati liat adik saya jadi murung dan nangis, belum lagi di SMA saya pernah di situasi cewek cowok berantem saling nunjuk-nunjuk, sahut-sahutan, teriak-teriak, nangis, histeris (ngeliat mereka saya sampai gemetar dan milih keluar kelas takut bablas nangis, sangking takutnya).

I just scared. Saya takut sakit, walaupun saya tahu konsekuensi kalau yang namanya cinta itu patah hati, saya cuma waspada. Sampai sekarang pun kalau bahas tentang komitmen saya pasti malas, terlalu banyak negative thingking, nggak bagus emang tapi mau gimana lagi.

Bahkan kalau di semester besok ditanya lagi tentang pacaran saya mungkin masih jawab 'Enggak.' Hh, kadang laki-laki memang semenakutkan itu bagi saya, dan patut dijauhi. Tapi sebanyak apa pun godaan "Pacaran, pacaran, pacaran." Semua kalah sama negative thingking tadi.

Lagi pula kalau pacaran sekalipun kayaknya enggak deh, pacaran musti banyak uang. Telepon, sms/chatting yang perlu biar saling komunikasi, belum lagi kalau ketemuan dan jalan-jalan semua itu perlu duit kan? Jangan bilang mentang-mentang punya cowok jadi apa-apa yang bayar cowok, please ego saya kesentil tapi ya bukan berarti si cewek juga yang dominan, harus imbang." (saya pelit btw, sangat pelit)

Dan ya, pengujinya cowok, dan lagi-lagi saya baru tahu kalau ini (cewek-cowok) nggak boleh, udah lewat, percuma, saya tahunya baru pas semester tiga, juga. Padahal dalam hati waktu pengujinya cowok, "Sial, kenapa cowok mulu sih_-."

Buat masalah saya, emang nggak seharusnya saya menyamaratakan semua cowok kurang ajar hanya karena saya nemu yang begitu. Hah, udahlah ya nasib saya gini mau gimana lagi.

Saya tahu gimana penyelesaiannya, tapi saya terlalu 'malas' buat gerak.

Jadi, Bang, ini tambahan jawabannya wkwkwk ditambahin ke laporan lagi, silakan.

Si MahasiswaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang