Part 2

34 7 0
                                    

Sore ini, Ane terlihat nampak gelisah. Beberapa kali melihat ponselnya seolah sedang menunggu seseorang menghubunginya. Namun ia mencoba untuk menyamarkan itu dengan fokus pada laptop yang ada di depannya.

Sedang di sisi lain nampak lelaki yang baru saja memasuki kafe yang juga tempat Ane berada.  Mencoba melihat seisi kafe dan mencari tempat kosong, namun nihil. Kafe sedang penuh sore ini. Tapi tak mungkin ia pergi begitu saja, karena disini ada vanila latte kesukaannya. Menurutnya belum ada yg bisa menandingi vanila latte yang ada di kafe ini.

Lelaki itu pun memutuskan untuk memesan terlebih dahulu. Masalah tempat, ia bisa bergabung dengan orang lain yang memang di tempatnya masih ada kursi kosong. Tak masalah baginya, yang penting ia bisa menikmati latte sore ini. Ia merasa hatinya bisa sedikit tenang dengan itu.

Setelah memesan ia kembali mencari celah, tentu saja kursi kosong. Dan dia melihat ada beberapa kursi kosong dalam satu meja. Hanya saja ada satu wanita disitu.

"Duduk disitu dulu aja kali ya,  kalo nanti temen-temen dia dateng baru aku pergi." batin si lelaki sambil berjalan menuju meja paling pojok di kafe itu.

"Permisi, mbak boleh duduk disini? Soalnya udah full semua." tanya si lelaki.

"oh iya boleh, kebetulan emang kosong," jawab wanita itu yang ternyata adalah Ane sambil menoleh ke arah si lelaki.

"kamu!" ucap si lelaki.

"kamu lagi?!" jawab Ane lagi.

Hhh. Lelaki itu menarik nafas panjang. Ia hanya tidak menyangka jika akan dipertemukan dengan wanita itu lagi.  Ya, lelaki itu adalah Agam. Lelaki yang pernah Ane tabrak beberapa hari yang lalu.

Kini keduanya hanya diam. Agam fokus dengan ponsel dan juga vanila latte di mejanya, sambil sesekali menikmati  pemandangan di depannya. Tentu saja pemandangan itu bukan Ane, tapi pemandangan yang ada di luar kafe. Suasana jalanan kota menjelang senja.

Sedang Ane masih tetap fokus dengan laptop di depannya. Meski sebenarnya ia sedang tidak bisa fokus. Entah kenapa hatinya kembali bergejolak saat ada lelaki itu di depannya. Ingin sekali dia bercakap dengan lelaki di depannya itu, tapi semua itu ia urungkan karena lelaki itu nampak sangat dingin.

"kamu sendirian?" tanya Ane akhirnya mencoba memberanikan diri.

"hmm" jawab Agam.

"huhh, gimana luka kamu? Udah baikan" tanya Ane lagi.

Agam tak menjawab apa-apa, hanya menunjukkan beberapa luka yang sudah mulai kering kepada Ane. Ane mencoba tersenyum. Keinginannya untuk mencairkan suasana sia-sia. Karena bahkan Agam tak memberikan jawaban apa-apa. Sampai pada akhirnya Ane memutuskan untuk kembali diam.

Tak lama kemudian ponsel Ane berbunyi, tanda ada pensan masuk. Dengan semangatnya Ane mengambil ponselnya dan membaca pesan yang masuk.  Namun setelah itu raut wajahnya berubah. Nampak ada kesedihan, pandangannya kosong dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Agam sempat mengamati perubahan raut wajah Ane.

"Kamu nggak papa? " tanya Agam karena takut terjadi apa-apa dengan wanita di depannya.

Tak ada jawaban dari Ane. Ia malah sibuk dengan ponselnya, seperti mencoba menghubungi seseorang. Tapi tak ada jawaban.

Ia masih saja mencoba menghubungi. Namun kali ini ia tak kuasa menahan air matanya. Cairan bening itu mulai menetes,  sampai akhirnya ia menyerah. Ia merasa tak ada gunanya menghubungi orang tersebut, karena tak akan pernah mendapat jawaban.

"Lah nangis. Eh?" Agam mulai bingung.

"sorry." ucap Ane sambil mengusap air matanya dan dilanjutkan dengan memasukkan laptopnya ke dalam tas. Ia bersiap-siap pergi.

"Hmm. Mau pergi? " tanya Agam lagi.

Ane tak menjawab apapun. Hanya tersenyum ke arah Agam. Mencoba tersenyum tepatnya, mencoba meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Kemudian melangkah pergi keluar dari kafe.

Ane menyusuri jalanan sore itu, sembari menjemput senja yang sudah mulai ditenggelamkan malam. Untuk kali ini perasaannya sedikit hancur.

"Ayo naik." tiba-tiba ada motor yg berhenti di sebelah Ane. Ya, tentu saja itu adalah Agam.

Ane masih saja berdiam diri, tak tahu apa yang harus ia lakukan. Bahkan dirinya juga heran kenapa lelaki itu menjadi tak dingin lagi.

"buruan naik, aku antar pulang. Begal biasanya lebih suka sama cewek yang kelihatannya sedih dan habis nangis. " ucap Agam lagi.

Tanpa pikir panjang Ane langsung naik ke atas motor Agam. Dan Agam pun langsung melajukan motornya.

"pegangan, meluk juga boleh. Aku tahu kamu lagi butuh sandaran." ucap Agam dengan wajah datarnya.

Dengan ragu Ane pun menyandarkan kepala pada punggung Agam. Menenggelamkan kepalanya dan juga kesedihannya dibalik badan pria yang baru saja ia kenal itu. Air matanya tumpah.  Dan ia pun seperti tak peduli lagi mau dianggap wanita murahan atau apa, tapi untuk saat ini ia nyaman dengan posisi seperti itu.

***

Hai gaiss
Entah yaa aku ini nulis apa. Acak2an banget yaa?
Plis komen, kasih saran aku harus bawa cerita ini kemana :(

GREYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang