Part 6

7 1 0
                                    


Agam duduk terdiam sendirian. Ini sudah terhitung hari ke-lima Agam menghilang. Bukan tanpa sebab, menurutnya jalan yang ia ambil sudah terlalu jauh. Semuanya juga cukup beresiko. Cepat atau lambat, antara Ane dan juga Agam akan merasakan kehilangan. Entah Ane yang akan kehilangan Agam atau mungkin Agam yang kehilangan Ane, bahkan juga bisa dua-duanya saling kehilangan.

Sejak Awal, Agam sendiri yang mengawali kebohongan ini. Entah mengapa, semesta seakan mendukung kebohongannya. Bukan berniat sejak awal untuk memulai kebohongan. Semua mengalir begitu saja, begitu pula dengan perasaannya untuk Ane. Semua terjadi begitu cepat dan tanpa ia sadari.

Di sisi lain seorang gadis juga tengah terpuruk. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah ia harus kembali kehilangan. Tak ada bedanya antara Agam dan juga kisah lalunya. Keduanya sama-sama meninggalkan. Hanya bedanya Agam sempat berpamitan sebelum menghilang.

Seperti baru sejenak ia merasakan bahagia, kini ia harus kembali terluka. Tanpa pernah ia tahu alasan Agam menghilang. Meski begitu harusnya Ane paham jika ia terlalu cepat menaruh perasaan dan harapan kepada Agam.

Air matanya menetes. Bahkan hari ini ia memutuskan untuk tidak pergi ke kampus. Hatinya sudah cukup hancur untuk kembali patah di waktu yang hampir bersamaan. Sepertinya memang dia terlalu cepat mencari obat untuk sakit hantinya. Luka lama belum sepenuhnya sembuh, namun luka baru sudah tertanam dan berasal dari sesuatu yang ia harapkan sebagai penyembuh.

Drrtt drrtt.

Suara pesan masuk. Ane masih diam sejenak, tidak mencoba melihat pesan dari siapa yang masuk. Menurutnya tidak mungkin lagi untuk Agam menghubunginya. Bahkan sejak kepergiannya, nomornya tidak pernah aktif ketika dihubungi.

From : Agam Ganteng

Hai Ann, maafin aku.
Aku memutuskan pergi, karena aku merasa nggak pantes buat kamu.
Maaf aku udah bohong selama ini.
Aku cuma bisa nemuin kamu tiap sore bukan karena aku kerja.
Tapi karena aku masih sekolah, aku masih kelas 3 SMA Ann.
Maafkan aku udah bohong sama kamu, beneran aku ga niat.
Tapi serius buat perasaan aku ke kamu aku ga bohong.
Aku kira, aku cuma akan nemenin kamu sebentar.
Sampai pacar kamu balik lagi, tapi ternyata kita berlanjut sejauh ini.
Aku nyaman sama kamu dan sayang banget sama kamu.
Tapi aku tahu kalau kamu nggak mungkin bisa nerima aku yang kayak gini.
Jaga diri kamu baik-baik ya Ann, sekarang aku udah gabisa jaga kamu lagi.
Sekali lagi maaf, I love you so much.

Ane yang membaca pesan dari Agam tak bisa membendung air matanya. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka bahwa alasan Agam pergi sangat jauh dari prediksinya. Ia merasa sangat tidak mengenal sosok yang selama ini selalu menemani dan menjaganya. Sampai-sampai tentang kebenaran siapa dia saja Ane tidak tahu.

Pikirannya benar-benar kacau saat ini. Bukan karena ia tak bisa menerima kenyataan tentang Agam. Lebih kepada Agam memutuskan benar-benar pergi, ia sungguh tak sanggup kehilangan. Nomor Agam kembali tidak aktif ketika Ane mencoba menghubunginya. Bahkan Ane sampai mengirim banyak pesan, berharap Agam akan mengaktifkan kembali nomornya dan membaca pesan dari Ane.

Memang itu yang selama ini menjadi beban untuk Agam. Beban kebohongan yang secara rapat telah ia sembunyikan. Awalnya ia memilih untuk memendam sendiri, tapi tetap saja cepat atau lambat semuanya akan terbongkar. Cepat atau lambat Ane pasti akan tahu jika dirinya jauh lebih muda dari Ane dan bahkan masih duduk di bangku sekolah menengah.

Memang, postur tubuh Agam mendukung semua kebohongannya. Ia memang nampak lebih dewasa dari usianya, tetap dengan wajah tampan dan sorot mata tajamnya. Itu juga yang pasti membuat Ane tidak curiga apapun tentang Agam.

Tanpa berpikir lama, Ane bergegas mengambil kunci motornya dan mengunci pintu kos. Ia tahu kemana ia harus mencari Agam. Dulu Ane pernah sekali mengantarkan Agam pulang meskipun tidak sampai depan rumahnya karena Agam memilih berhenti di depan gang. Tapi setidaknya Ane sudah punya tujuan, selebihnya Ane mungkin bisa bertanya dengan orang-orang yang tinggal di sekitar gang tersebut.

Ane pun melajukan motornya cukup kencang. Mencoba mengingat-ingat setiap belokan yang pernah ia lewati. Akhirnya ia sampai di salah satu gang yang ia yakini adalah tempat Agam dulu ia antar. Sayangnya keadaan sangat sepi sekali, tidak ada orang dewasa yang berkeliaran. Yang ada hanyalah segerombolan anak kecil yang sedang bermain kelereng. Menurut Ane, hanya itu pilihan satu-satunya. Masih ada kemungkinan mereka mengenal siapa Agam.

“Permisi, adek. Ada yang kenal dan tahu rumahnya Agam nggak?” Ane mencoba bertanya kepada segerombolan anak-anak itu.

Anak-anak itu pun menghentikan aktifitasnya sejenak, menoleh ke arah Ane dengan tatapan acuh kemudian melanjutkan permainannya. Sungguh, itu membuat Ane ingin memakan mereka mentah-mentah. Bisa-bisanya ia dicuekin seperti itu.

“Dek? Kalian kenal Agam atau tidak?” tanya Ane lagi masih menahan emosinya.

“Mana ada disini Nabi Adam,” jawab seorang bocah lelaki yang masih tetap sibuk dengan kelerengnya, bahkan tidak melihat ke arah Ane sedikitpun. Tanpa rasa bersalah pula.

Sungguh Ane sangat emosi sekarang. Ia bertanya tentang Agam, kenapa jadinya ke Nabi Adam.

“Agam, dek. A-g-a-m, bukan Nabi Adam,” jawab Ane lagi dengan mencoba mengeja nama Agam.

“Ohh, Ko Agam. Bilang dong,” jawab bocah yang sama.

“Ko Agam yang tinggi dan suka usil itu kan? Tuh tanya aja sama adeknya,” ucap seorang bocah lagi sambil menunjuk ke arah gadis kecil yang sedang bermain boneka.

“Iya benar, makasih ya informasinya.” Ane pun segera menghampiri gadis kecil itu.

“Permisi, dek. Kamu adiknya Agam?” tanya Ane langsung kepada gadis kecil yang terlihat sangat kalem, berbeda sekali dengan Agam.

“Gurunya Ko Agam, ya? Tadi memang Ko Agam nggak masuk sekolah, katanya lagi sakit. Jangan hukum Ko Agam ya bu guru, kasihan.” Gadis kecil itu menjawab dengan polosnya.

“Enggak kok, saya nggak akan hukum kakak kamu. Sekarang anterin saya ketemu dia, ya? Ucap Ane sambil mengelus rambut gadis itu. Sungguh, sekarang rasanya ia ingin menangis lagi.

Gadis kecil itu menuntun Ane menuju rumahnya. Melewati gang sempit yang memang untuk dilewati motor saja akan sulit dan menyusahkan. Ane sudah tidak sabar ingin bertemu laki-lakinya, sangat tidak sabar.

“Koko,” teriak gadis kecil itu dari kejauhan. Membuat seseorang yang sedang bersandar di dinding rumahnya sambil menikmati sebatang rokok, menoleh.

Itu Agam, wajah pucat dengan rokok di tangannya. Ia sangat terkejut dengan sosok yang datang bersama adik kesayangannya. Bagaimana bisa?

“Ane?” ucap Agam masih tak percaya.

****

Hai hai, Agam dan Ane balik lagi nih. Khusus untuk cerita ini akan update setiap hari selasa ya, tapi bisa juga seminggu update lebih dari satu kali.
Jadi pantengi aja terus.
Jangab lupa juga untuk baca ceritaku yang lain 😘

Yukk komennya yukk 🥰

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GREYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang