Suara langkah kaki. Jenis itu yang paling sering aku dengar setelah dipaksa memasuki sel yang dingin dan gelap. Aku terpisah dari adikku ketika itu dan hilang kabarnya sampai detik ini. Usiaku mungkin masih tergolong anak-anak, namun dunia di mana aku hidup menuntutku berperilaku layaknya orang dewasa.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, aku memikirkan berbagai cara untuk kabur, namun semuanya terasa tidak mungkin. Aku mulai berpikir bahwa menyerah juga bagian dari kehidupan orang dewasa. Lubang makanan terlalu sempit untuk kepalaku, ventilasi terlalu tinggi untuk kugapai, pintu terlalu kuat untuk kuhantam.
Daripada menyerah, keadaan mungkin lebih menuntutku untuk menerima kenyataan. Orang-orang di luar sana bicara soal menjadikanku budak atau pekerja seks di bawah umur. Aku sendiri tidak tahu definisi dua hal itu, tapi semuanya pasti bukan hal yang mengenakkan.
Melihat bagaimana mereka memperlakukanku, sepertinya aku bukan barang berharga. Pakaianku tidak pernah berganti dan makananku terasa tidak enak sampai aku terbiasa dengan muntah. Untung mereka hanya memberinya sehari sekali.
Tapi semua perlakuan itu membuat kedua tungkaiku sangat kurus. Aku bahkan tidak yakin dapat berjalan menggapai pintu. Mungkin tak lama lagi aku akan mati, begitu pikirku.
Suara ledakan terdengar dari luar. Aku tidak tahu apa yang membuatku mendengarnya. Mungkin sebuah bom benar-benar meledak. Dan kalau bisa aku ingin bom lainnya meledak di dekat sel ini.
Aku tidak dapat hidup lagi, sebuah pikiran anak sekecil diriku.
Tapi aku bahkan tidak mendapatkan permintaan itu. Sebuah bom meledak di dekatku, merusak pintu sel yang menghalangi usaha kaburku. Langit-langit di atasku sebentar lagi akan runtuh dan membunuhku. Aku bahagia bisa kabur dari hidup menyedihkan ini, namun seseorang membuatku hidup lagi.
Seorang pria memeluk tubuhku dengan erat dan membiarkan reruntuhan bangunan melukai kepalanya. Darah menetes membasahi pakaianku. Aku membuka mataku yang sedari tadi terpejam karena takut dan melihat ekspresi yang ditunjukkan pria itu.
Ia menangis. Aku tidak tahu apakah baik bagi seorang pria untuk menangis, tapi aku bisa membayangkan betapa sakitnya tertimpa reruntuhan bangunan.
Terakhir, aku mendengar satu kalimat terlontar dari mulutnya sebelum pria itu tidak sadarkan diri.
"Maafkan aku, Chuuya, Atsushi."
.
.
.
Aku membuka mataku dan tubuhku sudah berada di tempat lain, sebuah kompleks makam tempat pria itu dikuburkan. Mungkin. Aku melihat beberapa orang berbaris saat sebuah peti dimasukkan ke dalam lubang tanah.
Pria yang menyelamatkanku beberapa hari lalu membuatku tertolong. Aku bebas dari tempat yang akan menjadi calon kuburanku. Mereka merawatku, memberiku makanan dan pakaian baru. Saat ini aku mengenakan setelan hitam secara cuma-cuma. Tapi mereka menyuruhku pergi ke tempat ini.
Setelah kupikir-pikir, aku memang perlu berterimakasih pada pria itu. Entah siapapun namanya, dia telah membuatku hidup lebih baik.
Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku, tentang kalimat terakhirnya saat menolongku. Aku mengingat dua nama yang disebutnya, dua orang itu pasti sangat berharga. Kalau aku mati, aku pasti akan menyebut nama adikku dan permohonan maaf karena gagal melindungi sebagai seorang kakak.
Bagaimana dengan pria itu? Mengapa dia meminta maaf?
Tiba-tiba pundakku ditepuk. Aku terkejut dan menoleh ke belakang, menemukan lelaki berambut jingga tengah menatapku. Kedua matanya terlihat seperti baru saja menangis. Dia pasti sedih karena pria itu telah meninggal. Dia datang ke makam ini dengan alasan yang sama denganku.
Pasti dia mengenal pria itu, juga mungkin dua nama itu.
"Permisi, apa oji-san mengenal Chuuya dan Atsushi? Pria itu ingin meminta maaf pada mereka berdua."
Ucapanku barusan dibalas sebuah pelukan hangat. Lelaki itu mengusap kepalaku dan tersenyum lirih. Aku pasti baru saja membuatnya sedih.
"Apa kau sudah baikan?" dia bertanya padaku dan aku balas mengangguk. Dengan makanan enak dan pakaian baru, mustahil aku tidak lebih baik.
"Bolehkah aku tahu namamu?"
"Ryuunosuke," jawabku cepat, lagi-lagi dibalas dengan senyuman.
"Aku ingin menjaga apa yang sudah pria itu lindungi," lelaki itu memegang tanganku erat-erat.
"Apakah kau mau tinggal bersamaku?"
.
.
.
The End
Yang di media itu lagunya Yuki Kajiura, judulnya "Somewhere I Belong", selama bikin epilog aku dengerin lagu itu terus, berulang-ulang hehe
Di chapter sebelumnya aku harus tenggelam dalam OST drakor karena yaaa biar dapet aja. Kalau kepo, aku dengerin OST Mr. Sunshine. semuanya. Itu drama korea favorit Pitik. Ceritanya rumit soalnya. Saya suka kerumitan!!
Karena ff ini sudah berakhir, Pitik ucapkan sampai jumpa di work sebelah.

KAMU SEDANG MEMBACA
[√] kyrie eleison | soukoku
FanficThis world seems truly awful. Including life which has been given by God himself. [ dachuu, bxb, romance-angst ] pitike17©2019