Aku - II

44 3 0
                                    

Cinta.

Aku percaya akan cinta. Wujud tak kasat mata yang bisa dirasakan oleh manusia, seolah memberikan jiwa tersendiri untuk kehidupan. Mewarnai hidup dengan dentuman dan hentakan. Perjalanan cintaku mungkin tak seindah perjalanan cinta Kakakku. Kakakku sudah menjalani hubungan dengan pacarnya selama hampir 5 tahun dan belum menunjukkan tanda-tanda hubungan di antara mereka akan kandas, walaupun aku yakin mereka pernah mengalami masa - masa kelam.

Ku keringkan keringatku dengan handuk yang terletak di kamar mandi, dan membuka jendela kamar agar angin dapat mengeringkan badanku yang penuh akan keringat. Sinar matahari sesekali tertutup oleh awan yang bergerak di langit. Aku terdiam, melihat pemandangan bukit yang cukup menyejukkan hati dan pikiran. Suasana ini membawa ketenangan dalam hatiku. Perasaan tersebut seakan membuatku merasa lebih hidup.

Pohon-pohon yang bergoyang tak menentu karena hembusan angin, sudah cukup membuatku tersenyum dan merasakan indahnya dunia sekitarku.

Setelah beberapa waktu aku terdiam di kamar menikmati pemandangan dan bermain beberapa video-game, aku terkejut melihat waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Terkadang liburan dapat membuat diriku sangat produktif atau malah sebaliknya, yang kuisi dengan bermalas-malasan di kamar, bermain, melihat social media dan melakukan kegiatan yang tidak memberikan hasil apa-apa untuk kehidupanku. Tapi, aku selalu mencoba untuk tetap produktif dengan mencari pekerjaan yang bisa aku kerjakan di waktu liburku. Biasanya aku mengisi kekosongan waktuku dengan menulis cerita pendek yang ku simpan untuk diriku sendiri tanpa ada seorang pun yang tahu. Aku tidak pernah menunjukkan hasil karyaku pada siapa pun, bahkan keluargaku. Pernah satu kali aku memberitahu kerabatku, Zach, mengenai cerita-cerita yang kutulis dan berujung dengan diriku ditertawainya diikuti dengan panggilan 'Freak Boy' yang menjadi labelku di penjuru sekolah.

Brengsek!

Aku suka duniaku dan persetan dengan apa yang orang katakan terhadap diriku, walaupun terkadang kata-kata setajam pisau itu menghantui pikiranku dan menusuk hatiku secara perlahan-lahan.

Lantas tanpa memikirkan kekesalan hatiku di masa lalu, aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badanku dan bersiap-siap menghadiri pesta di rumah Gillbert.

Jika membandingkan diriku dengan saudari-saudariku dalam waktu bersiap-siap, tentu aku menempati urutan pertama dalam masalah siapa yang paling cepat. Kakakku dan Adikku akan menghabiskan waktu lama untuk mandi, bagaikan seorang putri yang setiap harinya disuguhkan air kembang 7 rupa oleh dayang-dayang kerajaan dan setelah itu, tentu saja mereka akan memakan waktu yang tidak sedikit pula untuk berhias. Kurang lebih 1 jam setengah mereka habiskan untuk merias wajah ketika hendak menghadiri pesta pernikahan teman Mama. Aku tidak tahu mengapa memakan waktu begitu lama bagi wanita untuk berdandan, tapi kukira itu merupakan hak sekaligus kebahagaiaan bagi mereka, sehingga aku tidak ingin banyak berkomentar akan hal itu.

Setelah mandi, Aku bergegas mengenakan pakaian yang telah kusiapkan sebelumnya, kemeja berwarna gelap dipadu jeans slim-fit sudah cukup membuat diriku tampil percaya diri untuk pesta yang akan kuhadiri. ketika semua sudah siap, aku turun ke bawah dan mengambil kunci mobil yang terletak di bar meja rumahku.

"Bi, abang pergi ya!!!"

Teriakku kepada Bibi yang mungkin tengah berada di kamarnya menonton drama. Tidak lama setelah aku berteriak, terdengar teriakan Bibi yang kuanggap sebagai balasannya. Ku nyalakan mobil sedanku dengan tampilan yang biasa-biasa saja dan tidak cukup menarik perhatian orang-orang. Mobilku cukup menggambarkan bagaimana aku berpenampilan terhadap lingkunganku. Tidak seperti sebagian teman-teman lelakiku yang membawa mobil-mobil kelas atas, yang akan membuat wanita jatuh hati akan penampilan tampak luar dari seorang lelaki, mungkin maksudku tertarik pada harta kedua orang tuanya. Sungguh Ironis...

Aku mulai menginjak pedal mobilku untuk berjalan menjauhi rumahku, perlahan..

Menyusuri jalanan, hingga mencapai tujuan.

Jalanan kotaku dapat dibilang sangat buruk. Aku bisa menghabiskan sebagian hariku hanya untuk berkendara menelusuri jalanan kota yang penuh akan cerita di setiap sudutnya. Suara deru mesin dari tiap mobil mewarnai suasana jalanan dengan berbagai bunyinya, aku bahkan bisa menilai seseorang dari suara mobilnya ketika berada dijalanan, memicu emosi yang membuat orang-orang menggila. Tapi itulah kenyataan yang harus dirasakan jika berada di kota di mana aku tinggal, bahkan jalanan akan membuatmu kelelahan tiada obat ketimbang lari marathon sejauh 4 Kilometer. Lampu merah yang terletak di setiap persimpangan membuatku membuka handphone untuk menghilangkan kebosanan di tengah jalan, apa yang kau harapkan ketika mengendarai mobil seorang diri tanpa ada seorang pun yang bisa kau ajak bercerita? Tentu, kebanyakan orang di tahun 2000-an sudah memiliki handphone yang kemungkinan menjadi teman perjalanan ketika duduk seorang diri di dalam mobil, berkendara tanpa ada percakapan nyata yang dapat dilakukan. Terkadang, aku menikmati jalanan tanpa harus membuka handphone untuk menemani waktu berkendara. Karena letak rumahku berada di perbukitan, butuh jalanan menurun dan berbelok untuk akhirnya dapat mencapai kota. Perjalananku ditemani dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi, dilengkapi dengan jarangnya lampu - lampu tinggi yang menerangi jalanan perbukitan. Pemandangan bukit menjadi latar yang dapat kunikmati sebelum akhirnya bertemu jalanan kota, di mana lampu-lampu dengan berbagai macam warna menghiasi tiap sudut bangunan dan banyaknya kendaraan yang melintas di setiap jalannya. Perlu kurang lebih setengah jam untuk dapat mencapai kota dari rumahku jika menggunakan mobil. Menariknya, tidak ada satu pun angkutan umum yang melintasi daerah rumahku, sehingga pilihan utama untuk mencapai kota hanya dengan mengendarai kendaraan pribadi. Ya, perbukitan hanya dihuni oleh beberapa orang yang masih ingin menikmati ketenangan di tengah kesunyiannya, dan keluargaku adalah salah satu di antaranya.

Aku berkendara di tengah matahari yang mulai mengucapkan selamat tinggal kepada dunia dan memanggil kerabat dekatnya untuk menemani dunia di kala malam. Aku melihat warna langit berubah secara perlahan dari terang menjadi gelap, dan kunyalakan lampu kendaraanku untuk membantuku melihat jalanan lebih jelas. Aku tiba di kota ketika waktu telah menunjukkan pukul 6 lebih 20 menit, dan aku perlu kurang lebih setengah jam lagi untuk mencapai rumah Gillbert, jika tidak ada hambatan tak terduga yang menungguku di perjalanan.

Gillbert yang terlahir dari keluarga konglomerat membuat dirinya dikenal oleh satu sekolah, bahkan guru-guru pun terlihat segan dengan keluarga Gillbert sehingga menjadikannya murid yang diagung-agungkan di sekolah. Aku salut dengan Gillbert karena kekayaannya tidak merubah sikapnya terhadap lingkungan di mana Ia berada, buktinya Ia masih ingin berteman dengan siapapun tanpa melihat kelasnya, bahkan Ia menjadikan diriku, yang terlahir dari keluarga sederhana, sebagai sahabat dekatnya. Sungguh langkamelihat seseorang dengan harta yang berlimpah dan tahta yang mungkin akan Ia dapatkan di masa mendatang, tetap memilih untuk bersikap low profile terhadap siapapun.

Mungkin, pesta ini akan menjadi momen terakhirku di masa SMP, karena hari esok adalah hari di mana orang-orang sebayaku mendapati dirinya di terima di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, hari pengumuman penerimaan siswa di Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku akan sangat merindukan dunia 3 tahun terakhirku ini, masa-masa yang membuatku mengenal kenakalan seorang remaja, cinta tanpa dasar yang jelas dan berbagai cerita lainnya.

Dan di pesta ini...

Akan tercipta lembaran baru, di mana kunyatakan perasaanku kepada seorang wanita yang ku suka..

- Clara Odellia Hudson -



**Vote-nya jangan lupa ya! Terimakasih untuk setiap support yang diberikan.**

p.s : tulisan masih berantakan tapi semoga menikmati cerita yang disuguhkan :)

JalanWhere stories live. Discover now