Bagian Lima

1.1K 100 40
                                    

Dengan mata yang masih setengah terpejam, Nayra terbangun dari tempat tidurnya. Nayra ingat bahwa hari ini ia harus kembali ke sekolah, tetapi hatinya itu tak sepenuhnya ingin pergi. Ia benar-benar tak ingin kembali ke sekolah.

Orang bilang, masa-masa SMA itu adalah masa paling indah di fase kehidupan. Katanya, kita dapat mempunyai teman yang banyak, juga terlibat cinta monyet yang memabukkan.

Namun, Nayra bahkan tidak mengalami salah satunya.

Boro-boro terlibat cinta monyet. Aku saja gak pernah lihat monyet.

Begitu pemikiran Nayra yang masih polos dan jauh dari pengalaman. Ia seperti manusia purba, yang jauh dari abad kehidupan.

"Nayra! Cepat keluar! Jangan berani-beraninya kamu bolos lagi, ya!"

Teriakan nyaring itu berasal dari Hilda, membuat mata Nayra terbuka seutuhnya. Ia mendengus, sampai kapan ia harus terus-menerus mendengarkan dan mengalah pada orang tuanya?

Nayra keluar sembari memasang wajah masam, kemudian melangkah ke kamar mandi dengan setengah hati.

Melihat Nayra yang sangat aneh itu memancing Rio untuk berkomentar. "Dia benar-benar mau berhenti sekolah? Tumben banget dia males berangkat."

"Mungkin karena lihat kamu yang males-malesan, jadi dia termotivasi untuk ngikutin jejak ayahnya," sarkas Hilda.

Dan hal itu kembali memancing keributan antara mereka berdua. "Kamu bisa gak untuk gak cari ribut sehari aja? Aku lagi malas ribut hari ini, Hilda."

Sontak ucapan Rio membuat Hilda tertawa, "Hebat kamu, Mas. Ribut aja malas, gimana ngelakuin yang lain?"

Keributan mereka terus berlangsung bahkan sampai Nayra berangkat ke sekolah. Benar kata Nayra, orang tuanya itu tak akan sadar walaupun Nayra sudah berangkat.

Dengan langkah yang berat, Nayra terpaksa untuk berangkat ke sekolah. Hatinya masih terpaut di rumah. Entah kenapa, dia sangat bosan menjalani rutinitasnya yang hanya itu-itu saja.

Nayra ingin mengubahnya, setidaknya jalan awalnya adalah bolos sekolah, tetapi lagi-lagi ia harus mendengarkan ucapan orang tuanya.

"Empat enam, empat enam."

Empat enam-empat enam adalah suara khas dari sopir atau kernet angkot yang berusaha menarik penumpang. Itu menandakan bahwa angkotnya masih belum penuh -- walaupun tak jarang juga yang suka memaksa bahkan sampai berdempet-dempet.

"Gak, Bang, itu udah penuh," tolak Nayra ketika ia mengintip ke dalam angkot dan ternyata di dalamnya sudah sumpek.

"Nggak, Neng, masih bisa digeser, kok," ucap abang angkot yang sedikit memaksa.

"Geser apanya, Bang? Udah, saya mau tunggu angkot lain aja."

"Nanti telat loh sekolahnya. Mending naik aja, masih bisa digeser, kok."

"Saya bilang gak mau, Bang. Saya mau tunggu angkot lain aja," kekeh Nayra yang akhirnya membuat abang angkot itu menyerah dan melajukan mobilnya.

Dan benar saja, Nayra menjadi telat sekolah hanya karena menunggu angkot yang sepi. Entah kenapa pagi itu angkutan umum sangat diminati banyak orang, sehingga Nayra harus menunggu sampai setengah jam demi kenyamanannya.

Keterlambatan Nayra yang memang sudah sering itu tak lagi membuat satpam penjaga gerbang terkejut. Dengan santai satpam itu membukakan pintu untuk Nayra. Sebab, guru-guru selalu mengecualikan hukuman untuk Nayra. Alasan 'saya harus belajar dulu sebelum berangkat' membuatnya bebas dari hukuman. Guru-guru pun tahu, itu memang alasan yang sesungguhnya. Kepintarannya yang terkadang di luar nalar membuatnya sering mengikuti olimpiade ataupun sekedar  dipanggil ke depan kelas untuk mengerjakan soal.

180 DAYS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang