Bagian Tujuh Belas

590 64 0
                                    

Tiga hari sudah berlalu semenjak Nayra dipindahkan dari sekolahnya. Suasana sedih kemarin sudah tergantikan oleh teriakan nyaring Hilda yang tak henti-hentinya menyuruh Nayra mencari kerja. Keluarganya sudah kembali seperti semula. Hilda dan Rio yang masih sering adu mulut, dan Nayra yang sering berdiam diri di kamar. Nayra salah besar karena telah mengira bahwa insiden di sekolahnya itu dapat memberikan dampak besar untuk keluarganya. Senyum tawarnya keluar, bukannya memang ia tidak sepenting itu di keluarganya?

Tapi sampai saat ini, Hilda dan Rio tak tahu hal apa yang sampai membuat Nayra dipindahkan dari sekolahnya. Padahal, ia adalah anak yang selalu membawa piala ketika mengikuti lomba mewakilkan sekolah.

"Nayra! Sampai kapan kamu mau di kamar terus? Kucing jalanan aja mencari makanan di luar, eh, kamu malah diem di sini. Berharap pekerjaan akan datang dengan sendirinya? Setidaknya bantu Ibu bersihkan rumah, atau membantu menyebar brosur untuk promosi usaha Ayahmu itu." Hilda yang sedang memegang sapu di ambang pintu itu merusak keheningan yang didambakan Nayra.

"Ibu gak akan mengurus administrasi kamu. Kamu juga gak akan melanjutkan sekolah di SMA lain karena itu butuh biaya yang banyak. Biar kamu kerja dan menanggung masalah yang sudah kamu buat. Jadi, carilah kerja yang setidaknya menerima ijazah SMP," lanjut Hilda.

Nayra tak bergeming, ia langsung berjalan mendekati Hilda. "Terserah, aku memang gak butuh sekolah lagi, aku juga gak butuh cari kerja." ucapnya ketika berada di samping kuping Hilda, kemudian ia langsung berjalan ke ruang TV untuk menaikkan mood-nya.

"Nayra! Bicara apa kamu barusan? Bisa kamu berpikiran seperti itu di saat orang tuamu benar-benar kesulitan mencari uang? Lihat ayahmu di depan! Dia mendatangi rumah tetangga satu-satu untuk menanyakan apa barang elektronik mereka ada yang rusak atau tidak. Ayahmu yang egonya tinggi sampai harus merendahkan diri seperti itu!" Kesabaran Hilda semakin menipis ketika melihat Nayra yang malah ongkang-ongkang di depan TV.

Hilda mengambil remote control TV yang berada di genggaman Nayra kemudian mematikan televisinya. "Bu! Ngapain pake dimatiin segala, sih!" protes Nayra yang merasa sangat terganggu.

"Cepat kamu siap-siap, lalu cari kerja! Setidaknya kamu harus bantuin keluarga kita, Nayra!"

Nayra tertawa pahit. "Aku masih dianggap keluarga? Aku kira aku hanya anak yang numpang hidup di sini sementara."

"Cukup, Nayra!"

Rio tiba-tiba menyambar dengan nada emosi. Wajahnya memerah dan ada keringat yang mengalir di dahinya. Bajunya sampai basah karena matahari di luar benar-benar menyengat, membuat tubuhnya mereproduksi keringat yang banyak. Namun, itu menjadi salah satu bukti bahwa Rio telah bekerja keras barusan.

"Ada apa? Omonganku benar, kan? Selama ini aku tak merasa kalau kita adalah keluarga. Terlalu banyak rasa masam dan pahit di rumah ini, membuat aku muak."

"Kalau kamu muak di rumah ini, ya kamu ke luar sana, cari pekerjaan! Masalah kita hanyalah ekonomi. Kalau kamu bisa membantunya, Ibu yakin keluarga kita akan baik-baik saja," kata Hilda kemudian menghentikan aktivitas menyapunya.

"Coba aja kalau Ayah gak di-PHK, dan Ibu punya kerjaan selain ngomel-ngomel di rumah, pastinya keadaan ekonomi kita akan membaik. Aku juga gak perlu susah-susah untuk mencari kerja sekarang, karena pasti aku masih belajar di sekolahku dengan tenang tanpa adanya tunggakan."

"Seorang anak tak perlu bersusah payah demi menanggung beban yang dibuat orang tuanya."

Dan pernyataan Nayra membuat emosi Hilda kembali bergejolak. Pada dasarnya, Hilda memanglah seseorang yang temperamen. Mudah sekali membuatnya marah dengan apa pun itu. "Kamu itu benar-benar anak gak tahu diuntung. Kamu hanya bisa menyalahkan keadaan, menyalahkan Ibu dan Ayah yang sudah membesarkan kamu sampai sekarang."

"Menurut Ibu, Ibu gak sama sepertiku? Ibu juga hanya bisa menyalahkan Ayah, memaksa Ayah dan menuntut Ayah melakukan ini-itu. Coba tanyakan pada Ayah, apa yang aku katakan ini benar atau tidak."

Rio memutuskan untuk duduk di kursi rotan sembari memijat pelipisnya perlahan. Ia jengah melihat adu mulut yang semakin memanas antara istri dan anaknya. Ternyata, menjadi pengamat antara orang yang sedang melakukan keributan sangat menjengkelkan.

"Wajar Ibu menyuruh Ayah kerja terus selama ini, agar keadaan keluarga kita membaik, kita bisa makan, pakai air dan listrik. Juga bisa menyicil bayaran sekolahmu yang sekarang hanyalah jadi perbuatan sia-sia. Kamu sadar kan sekarang? Kamu yang sudah membuang-buang uang dalam jumlah banyak karena kamu malah melakukan suatu kesalahan fatal hingga tak bisa sekolah lagi."

Nayra langsung berdiri, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah Hilda. "Ibu gak tahu apa yang sudah aku alami sampai-sampai aku berakhir seperti ini. Lebih baik Ibu diam saja dan jangan berkomentar kalau Ibu tak tahu apa yang telah terjadi."

"Ibu juga gak mau tahu, itu gak penting bagi Ibu. Yang penting sekarang adalah, kamu siap-siap untuk cari kerja. Bantu ekonomi keluarga kita. Setidaknya jadilah anak yang berguna, Nayra!"

Perkataan Hilda cukup membuat Nayra tersentak. Ia menatap Hilda dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya ia berkata, "Baik, aku akan cari kerja sekarang, tapi jangan harap aku akan kembali ke rumah ini ketika aku sudah mendapatkan gaji pertamaku."

"Aku akan menggunakan uang itu untuk hidup berpisah dari kalian."

Nayra bergegas kembali ke kamarnya setelah mengucapkan kalimat penutupnya, membuat Hilda dan Rio yang masih berada di ruang itu terdiam. Terutama Hilda yang merasa jarak antara dirinya dan anaknya semakin membentang. Walaupun dari dulu memang mereka tidak sedekat keluarga pada umumnya, tapi Hilda merasa bahwa kali ini keadaannya lebih parah. Hilda menghela napasnya kasar kemudian berusaha merilekskan diri.

"Tenang, dia pasti hanya main-main dengan ucapannya," kata Rio yang merasakan kecemasan di hati Hilda. Hilda melirik ke arahnya, kemudian mengangguk pelan. Walau belakangan ini waktu mereka hanya dihabiskan untuk bertengkar, tapi tak dapat dipungkiri bahwa mereka masih saling mengerti satu sama lain.

Mereka terdiam, memutuskan akan mengikuti jalan cerita yang telah dibuat anak satu-satunya.


Bersambung ....

180 DAYS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang