Bagian Sembilan

856 83 3
                                    

Sepekan telah berlalu semenjak pengeluaran surat peringatan tagihan sekolah untuk Nayra. Beranda rumah minimalis milik Rio telah disulap menjadi tempat servis elektronik dadakan. Alat-alat yang dibeli menggunakan uang tabungan pun hanya seadanya, bekas pula. Rio berani nekat, tak berpikir panjang apakah ia akan mendapatkan balik modal, atau bahkan hanya secuil keuntungan.

Surat tagihan yang diberikan Hilda seperti menjadi bom atom bagi Rio sebagai kepala keluarga. Rio paham, keputusannya selama lima bulan memang tak akan menguntungkan bila dilihat dari sisi mana pun. Keputusannya untuk tidak bekerja lagi memang membuat orang-orang di sekitarnya akan merasa kesusahan. Tapi apa boleh buat, rasa gengsi serta ocehan-ocehan Hilda setiap waktu membuatnya semakin malas untuk menjemput rezeki.

"Sekarang kamu mau ngapain lagi? Uang tabungan sudah hampir habis untuk modal usaha kamu. Sekarang, usaha kamu ini gak jalan, kamu hanya dapat dua puluh lima ribu selama satu minggu. Dengan keahlian kamu masa hanya dapat uang segitu?" Hilda mengerutkan kening, beban pikirannya semakin bertambah karena uang tabungan mereka terkuras habis untuk modal usaha.

"Bahan-bahan di dapur semuanya sudah hampir habis, sisa beras untuk satu kali masak. Uang tabungan sisa seratus ribu, bisa bertahan sampai kapan dengan uang segitu?" lanjut Hilda.

Rio mengacak rambutnya yang kian menipis dengan kasar, ia frustrasi, pun tak tahu apa yang akan ia gunakan sebagai jawaban tepat untuk pertanyaan istrinya. Dua puluh lima ribu yang ia dapatkan pun hanya bisa ia terima dengan lapang dada, itu juga karena ada tetangga yang kasihan melihat keluarganya. Kipas angin yang sebenarnya hanya sedikit macet menjadi alasan untuk tetangganya tersebut membawa ke tempat servis milik Rio. Rio yang selalu mementingkan gengsi, berusaha untuk tebal muka. Ia sadar, keluarganya tak akan makan kalau ia terus mengedepankan egonya.

"Ini semua karena kamu, Mas. Coba aja kalau kamu gak punya pikiran untuk kayak gini, pasti uang tabungan masih ada, dan aku bisa beli bahan masakan untuk makan malam. Kalau begini ceritanya gimana? Kita gak makan lagi setelah dari tadi pagi kita berpuasa? Puasa Ramadhan aja kita gak menjalankan, sekarang malah mau puasa di bulan biasa."

Hilda mulai menyinyir. Membuat suasana yang mulanya adem, menjadi kian memanas. Rio yang sedang berpikir untuk mencari jalan keluar menjadi terpancing karena ucapan Hilda.

"Kamu bisa gak sih gak usah ngeluh setiap saat? Aku diam, kamu ngoceh. Aku usaha, kamu juga ngoceh. Kamu pikir kamu sudah berkontribusi banyak untuk keluarga ini?"

Hilda menegapkan tubuh, matanya memelototi suaminya yang juga sedang menatapnya. "Oh, jadi sekarang kamu mulai perhitungan lagi, ya. Terus, kamu pikir kamu juga udah melakukan banyak hal untuk keluarga ini? Dari dulu keluarga kita hanya hidup pas-pasan, gak pernah aku merasakan hidup kita yang benar-benar kaya karena hasil kerja keras kamu. Terus, apa wajar kalau sekarang kamu mau hitung-hitungan?"

"Pas-pasan kamu bilang? Dulu kamu selalu bisa membeli barang-barang yang kamu mau. Aku selalu mengalah agar kamu bahagia dan mau mengurus Nayra dengan sepenuh hati. Karena aku tahu banget, kalau kemauan kamu gak dituruti, kamu malah setengah hati dalam merawat Nayra. Kamu itu udah jadi Ibu, tapi masih kekanak-kanakan." Rio naik pitam, urat di lehernya pun ikut menegang.

"Siapa suruh kamu menikahi aku saat aku masih berusia delapan belas tahun? Wajar kalau sifat aku masih kekanak-kanakan saat aku merawat Nayra pas kecil. Yang penting saat Nayra masuk sekolah, aku sudah merawatnya dengan sepenuh hati."

Suasana semakin memanas karena mereka sibuk mengungkit kejadian-kejadian masa lalu yang sebenarnya tak akan ada faedahnya. Mereka tak sadar, bahkan Nayra sudah hadir di antaranya. Nayra baru tahu, bahkan dari kecil saja keadaannya sudah tak diinginkan. Ibu kandungnya bahkan enggan merawatnya dengan baik.

180 DAYS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang