kepastian masih ada, jujur

16 0 0
                                    

Dan kini, cukup untuk hati bicara lagi. Cukup untuk otak dipaksa bernyanyi lagi. Cukup untuk jiwa menangis lagi. Biarkan luka yang dulu pernah ada kini membekas dan kian beranjak lekas entah mau ke mana. Biarkan hati memantaskan dulu. Untuk cerita yang memantik nuansa sendu dalam rasa. Bukan lagi luka yang tumbuh dari derita. Tapi dari hikmah yang tumbuh dari seuah kisah.
Keserasian akan selalu didambakan. Walaupun nggak semua bisa dinyatakan dan jadi kepemilikan. Karena kalau penerimaan diciptakan lantas untuk apa memaksa diri mengalami penolakan. Akan sebuah pertanyaan pelik. Memilih bertahan atas kepalsuan atau pergi dan mencari pemberhentian.
Semua ada karena kita dulu yang mengakibatkan. Sebabnya kita lupa dulu apa. Tapi akibatnya kita nggak akan pernah tahu gimana cara ngadepinnya. Tanpa bantuan tangan-tangan yang tersembunyi itu, bagaimana mungkin, sebuah hati yang sedang terluka kembali pulih dengan jeritan gelora lara yang dipaksa tertahan, hanya untuk seseorang yang belum tentu akan dimenangkan.
Mungkin akan lebih baik untuk diam. Iya, diam. Jangan dikira selagi diam dia akan mengantam. Justru titik baliknya itu. Kalau kita diam hasilnya pasti bakal memuaskan. Cukup nunggu waktunya aja. Masalah hati pasti nggak akan bisa buat satu orang saja. Karena saat perasaan diciptakan, nggak pernah kita merasa sama satu orang saja. Kita pasti pernah ada di fase dimana rasa kita udah duluan diambil orang, tapi tiba-tiba muncul seseorang yang entah berantah, dan tanpa sadar muncul rasa yang sama.
Perkara jujur sama nggak jujur tuh sebenernya musti diselesaikan. Ada yang jujur tapi nyakitin orang lain, ada yang nggak jujur tapi malah nyakitin diri sendiri. Stigma jujur sekarang udah banyak yang ninggalin. Sampai-sampai buat jujur sama diri sendiri tuh susah. Apalagi buat jujur sama perasaan. Nggak ada yang bener-bener. Karena sebenernya nggak ada yang bener. Kalau kita berusaha memendam lama-lama yang penuh akan tumpah, kalau kita berusaha nggak menyampaikan lama-lama yang lurus bisa belok. Bingung deh kalau kaya gini. Perasaan, perasaan. Emang gini ya yang namanya suka tapi bukan pada tempatnya.
Aku udah jatuh di hati yang salah. Membohongi hati sendiri demi menyenangkan hati orang lain. Dengan berusaha membenarkan stigma dan pendapat yang terus bergeming di dalam hati. Otak pun seakan lelah untuk menyanyikan lagu pendamainya. Hanya gara-gara kebohongan kecil tapi berakibat besar.
Sekarang sudah jelas semuanya. Alhasil perpisahan adalah jawabannya. Dan pembiasaan adalah perilakunya. Dimana satu hati yang terjebak satu sama lain. Berusaha untuk bertahan walau tahu nanti bakalan pisah juga. Bukan pada tempatnya. Tempatnya tuh udah salah. Mau gimana lagi ya? Soalnya waktunya mendadak. Dianya agresif juga. Jadinya agak parno kalau mau nyampeinnya.
Semoga nanti akan ada waktu dimana aku bisa mengeluarkan yang sebenarnya. Tanpa harus menyakiti perasaan satu sama lain. Dan tanpa harus membuat bingung satu sama lain. Perkara sederhana jangan dipersulit hanya karena pendapat yang diperumit ego. Coba turunin dikit supaya keputusan nggak cuman digantung atau dianggurin. Tapi supaya keputusan bisa dibuat dengan seadil-adilnya dan dengan pendapat yang sejujurnya dari hati yang paling dalam. Dan setelahnya supaya nggak ada lagi yang namanya musuhan dan nggak ada lagi yang namanya ketidakpastian.
Karena luka bisa tercipta karena kecurangan. Dimana jujur telah terbengkalai oleh ego, dan perasaan telah dibohongi oleh waktu yang memaksa untuk terus bertahan dan tanpa ada kepastian.
Semesta, semoga ini semua lekas pulih. Yang semu jadi menyatu padu. Yang marah jadi semakin indah. Dan yang mengganjal bisa semakin dilepas supaya kepastian mendapat kejujuran yang berdasarkan penciptaan.
Salam ^_^

PILU KLASIKWhere stories live. Discover now